“Kami sudah melakukan pencarian ke seluruh kota, Bos. Tidak ada tanda-tanda dari wanita itu. Mungkin dia sudah pergi lagi karena menghindari pencarian begini,” lapor kepala lapangan yang ditugaskan oleh Calvin untuk mencari Andrea.
Calvin mendesah berat saat mendengar laporan itu, gagal lagi usahanya untuk mencari Andrea.
“Kami akan coba memperlebar pencarian kami di kota sekitar kota ini.”
“Ya, cari dengan benar. Pastikan wanita itu bisa ditemukan. Ingat kalau kalian bertemu dengan dia, katakan bahwa kalian adalah orangku dan bukan Mamiku,” ucap Calvin mengingatkan lagi sebelum menutup panggilannya.
Calvin kembali duduk di kursinya dan menatap foto Andrea yang dia pasang di ponselnya yang lain. Foto yang Calvin ambil secara sembunyi-sembunyi itu begitu memancarkan kecantikan dari Andrea. Hatinya yang lembut dan kepribadiannya yang tegas namun hangat itulah yang membuat Calvin luluh.
Calvin memegang perutnya yang akhirnya kembali normal setelah beberapa bulan ini selalu sakit dan juga mual-mual. Dia juga heran kenapa dia bisa begitu, bahkan pihak dokter mengatakan bahwa perut Calvin baik-baik saja.
***
Katakan Bagas aneh namun dia memilih mengabaikan semua larangan dan petuah dari orang-orang yang selama ini dia kenal. Keputusan Bagas untuk membantu Nayla tentu saja mendapatkan banyak penolakan apalagi dari keluarga-keluarga Bagas yang lain.
Bagas yang adalah anak penurut kali ini berani menyatakan pendapat dan pandangannya tentang Nayla. Bagas bahkan memasang badannya untuk melindungi Nayla agar tidak tersentuh oleh keluarganya dengan membawa Nayla pergi liburan berdua ke area pegunungan.
Bagas tidak pernah begini sebelumnya, tentu saja dia khawatir dan deg-degan tapi demi Nayla dia pasti bisa mengatasi ini semua. Nayla, wanita itu bisa mengubah hidup Bagas yang awalnya hitam-putih menjadi berwarna kembali.
“Kamu yang menghamili anak itu?” tanya Om Bagas, Kakak dari Ayahnya.
Bagas berpikir sebentar dan dia mengangguk membuat seisi ruangan yang penuh dengan keluarganya itu berteriak kaget dan kemudian riuh.
“Bagas! Sejak kapan kamu seperti ini? Coba kamu ingat lagi, mungkin saja dia hamil dengan lelaki lain. Bisa saja dia wanita yang tidak ba—“
“Aku yang melakukannya, tentu saja aku ingat.” Bagas memotong perkataan Tante-Adik dari Ibunya.
“Lalu? Kamu mau bertanggung jawab? Kalau memang begitu adanya, kami akan segera melamarnya. Di mana orang tuanya?” tanya Om Bagas lagi.
Bagas menggigit bibir bawahnya karena pertanyaan ini belum dia pikirkan.
“Soal itu, aku yang akan mengurusnya. Kalian hanya perlu menunggu kapan kalian akan datang melamarnya. Aku pergi dulu,” ujar Bagas sambil bangkit dan berjalan pergi dari rumah itu.
***
“Belum sampai ya?” Nayla yang baru terbangun itu bertanya pada Bagas yang sedang fokus menyetir.
“Sebentar lagi, mungkin lima belas menit lagi,” ucap Bagas.
Nayla merentangkan badannya sebentar lalu ikut menatap jalanan yang basah karena hujan. Di sisi-sisi jalan hanya ada pepohonan hijau dan berkabut karena bekas hujan. Nayla mengelus perutnya pelan sambil memandangi pemandangan di sepanjang jalan.
“Kamu yakin mereka mau pakai anak-anak sanggar? Gak lucu nih kalau kita udah pergi jauh-jauh dan ternyata malah gak jadi,” ucap Nayla.
Bagas tersenyum, dia tidak sepenuhnya berbohong. Selain karena permintaan klien, Nayla juga Bagas ajak untuk menghindarkan wanita itu bertemu dengan keluarganya. Bagas mempunyai niat bahwa dia akan mempertemukan Nayla dan keluarganya jika keduanya sudah benar-benar ada ikatan.
“Kamu mau makan bakso gak?” tanya Bagas.
“Bakso??” Nayla berteriak antusias. Dia sudah ngiler duluan membayangkan kuah bakso panas yang akan menghangatkan badannya di tengah udara dingin seperti ini.
“Oke, bos. Dekat sini ada tempat bakso yang enak banget,” ujar Bagas bersemangat.
Bagas lalu membelokkan mobilnya di sebuah perempatan dan lalu menepi di sebuah tempat makan yang sangat ramai.
“Pasti enak ya? Rame banget,” ucap Nayla.
“Ayo!” Bagas keluar dari mobil dan menuju ke dalam restoran kecil itu. Bagas dan Nayla menuju ke sebuah meja kosong dan duduk di sana.
“Untung aja masih ada tempat kosong,” ujar Nayla.
Bagas mengangguk membenarkan. Tidak lama kemudian pelayan datang dan keduanya mulai memesan pesanan mereka masing-masing.
“Aku ke toilet sebentar,” ucap Bagas yang lalu bangkit dan berlalu menuju kamar mandi.
Nayla lalu membuka ponselnya dan melihat foto-foto yang ia tangkap dengan ponselnya tadi. Dia tersenyum melihat banyak foto bagus yang berhasil dia tangkap.
“Permisi?”
Suara seorang pria membuat Nayla mengalihkan pandangannya dari ponsel ke wajah pria itu.
“Apa Nona bernama Andrea? Saya Lukman, saya orang Pak Calvin bukan orang Ibu Laura,” ujar lelaki itu.
Nayla kebingungan dengan lelaki yang berpakaian serba hitam itu, tiba-tiba saja dia merasa takut karena pernah melihat tayangan berita di mana orang sering melakukan modus kejahatan dengan hipnotis.
“Saya bukan Andrea!” Nayla menutup wajahnya membuat lelaki itu kebingungan dan panik karena orang-orang mulai melihatinya.
“Nayla!” Bagas berjalan cepat menghampiri Nayla. Bagas berdiri di depan Nayla untuk melindungi wanita itu.
“Anda siapa ya?” tanya Bagas.
“Ah itu.” Lelaki itu hendak meluruskan kesalahpahaman yang terjadi dengan mengeluarkan foto yang dia dapat dari atasannya tentang wanita yang mirip dengan wanita yang dia hampiri itu.
“Ada perlu apa dengan istri saya?” tanya Bagas lagi.
Lelaki itu berhenti dan menatap Bagas dengan tatapan bingung, “Istri?”
“Iya. Anda gak lihat istri saya sedang hamil?”
Lelaki itu kembali memandang wanita yang masih menutup wajahnya itu, dia lalu melihat kembali foto wanita yang dia cari.
“Maaf, boleh saya tahu nama istri Anda?” tanya lelaki itu.
Bagas menatapnya heran, “Nayla. Nama istri saya, Nayla. Sebenarnya Anda ada perlu apa sih?”
Lelaki itu kaget lalu kemudian dia mulai menunduk.
“Maaf, kalau begitu saya salah orang. Saya sedang mencari orang, tapi sepertinya saya salah. Mohon maaf sebelumnya, saya bukan orang jahat. Permisi.” Lelaki itu kembali mengucapkan kata maaf lalu berjalan keluar dari tempat makan itu.
“Nayla,” panggil Bagas.
“Dia sudah pergi,” ujar Bagas.
Nayla secara refleks memeluk Bagas karena rasa takutnya, “Aku belum dia hipnotis kok, Gas. Aku masih Nayla.”
Bagas tertawa kecil melihat tingkah Nayla, “Iya aku tahu ini masih kamu.”
Keduanya lalu melanjutkan makan bakso mereka yang sesuai dugaan Bagas, Nayla sangat menyukai bakso dari tempat ini. Dia bahkan tambah hingga dua mangkuk saking enaknya. Bagas tersenyum melihat Nayla yang sangat menikmati makanannya, dia bahagia ketika Nayla bahagia.
Setelah itu keduanya pergi meneruskan perjalanan ke vila mereka dan sampai ketika hari sudah gelap. Nayla memilih beristirahat sementara Bagas pergi menemui kliennya sebentar. Ketika Bagas kembali, dia malah mengajak Nayla keluar menikmati suasana alam sambil makan jagung bakar.
Jadi kini keduanya ada di sebuah restoran terbuka di mana suasananya tidak terlalu ramai. Keduanya menikmati wedang jahe dengan jagung mereka dengan baik. Hari yang sangat menyenangkan bagi Nayla mengingat selama ini dia hanya terkurung di sanggar.
“Gas. Kamu punya cita-cita gak? Yang lain selain meneruskan sanggar?” tanya Nayla tiba-tiba.
Bagas yang tengah menyesap wedang jahenya tersenyum mendengar pertanyaan Nayla.
“Punya,” jawab Bagas.
“Oh ya?”
Bagas mengangguk, “Aku dulu ingin kerja jadi web desainer gitu. Kerjanya di Amerika dan pulang ke sini setahun sekali.”
Nayla tertawa mendengar jawaban Bagas.
“Tapi sekarang ada satu hal yang aku inginkan,” ucap Bagas sambil menatap Nayla.
“Apa?” Nayla bertanya namun matanya memandang ke arah pengunjung lain yang ramai di bagian bawah.
Tangan Bagas terlulur untuk memperbaiki syal yang dipakai Nayla membuat Nayla menatap Bagas yang berada dekat dengannya.
“Aku ... ingin menjadi Ayah dari anak kamu,” ucap Bagas.
Nayla yang awalnya tegang lalu mencebik.
“Aku serius, Nay.”
Nayla kembali kaget mendengarnya.
“Aku ... ingin menjadi orang dengan nama belakangnya sama dengan si bayi,” ucap Bagas.
Nayla terdiam. Bohong kalau dia mengatakan dia juga tidak menyukai lelaki ini. Sikapnya yang lembut dan konyol serta perhatiannya membuat Nayla luluh. Hanya saja, Nayla tahu bahwa dirinya bukanlah pasangan yang pantas untuk Bagas.
“Tapi Gas, aku ....” Nayla mengelus perutnya.
“Anggap saja aku dapat bonus,” ujar Bagas.
“Aku tidak mau hanya menjadi teman kamu, Nay. Aku ingin jadi teman hidup kamu, yang selalu sama kamu. Boleh?”
Bagas menahan nafasnya menunggu Nay menjawab pernyataan cintanya.
Nayla mengangguk membuat ledakan kembang api di d**a Bagas meledak dengan indah dan meriah.
Bagas tersenyum, dia menarik wajah Nayla dan mendekatkannya sebelum dengan lembut mengecup bibir itu. Bibir yang sudah lama ia idam-idamkan.
“Aku cinta kamu, Nay.”
***
Hari ini merupakan hari yang paling mendebarkan untuk Nayla dan juga Bagas. Keduanya kini berada dalam perjalanan menuju ke rumah sakit karena hari ini adalah Hari Perkiraan Lahir untuk Nayla.
Persiapan keduanya sudah sangat siap sebenarnya hanya saja tetap saja ini adalah pengalaman pertama untuk Nayla dan juga untuk Bagas, itu tetaplah hal yang menegangkan untuk keduanya.
Setelah menemui administrasi, Bagas dan Nayla diantar menuju ke kamar mereka. Nayla sebenarnya tidak ingin ada di kamar begini karena harganya yang mahal tapi Bagas bersikeras bahwa dia ingin Nayla melahirkan dengan nyaman. Nayla tentu saja merasa tidak nyaman karena bagaimanapun Bagas bukanlah orang yang harus bertanggung jawab untuk hal ini.
Hubungan keduanya masih ditentang oleh keluarga Bagas yang lain, tentu saja karena keadaan Nayla. Nayla paham bahwa pasti susah untuk menerima seorang wanita hamil yang bahkan tidak ingat siapa namanya. Hal itu membuat keduanya harus menunggu sampai waktu yang pas walaupun Bagas sudah berkali-kali mengajak Nayla menikah.
Perut Nayla kembali tegang membuatnya mengaduh dan hal itu membuat Bagas yang sedang memainkan ponselnya di sofa langsung meloncat dan menuju ke tempat tidur. Bagas langsung berlutut untuk menanyakan keadaan Nayla.
“Sakit sekali? Apa perlu aku panggilkan dokter?” tanya Bagas.
Nayla menggeleng sambil mengatur pernafasannya. Kontraksi dari perutnya memang sudah lumayan sering terjadi namun kata dokter yang memeriksanya dia masih belum siap untuk melahirkan.
Bagas berdiri membuat Nayla langsung menyandarkan kepalanya di tubuh Bagas. Tangan Bagas menggenggam tangan Nayla sembari tangan yang satunya mengelus kepala Nayla lembut. Keduanya berbagi kekuatan yang sama untuk menghadapi waktu persalinan ini.
“Kata dokter kamu harus banyak gerak, gimana kalau kita main bola besar itu?” Bagas menunjuk sebuah bola gym berwarna ungu metalik yang ada di kamar itu.
Nayla mengangguk setuju, dengan berjalan dipegangi Bagas dia berhasil menuju ke bola itu dan duduk di atasnya. Genggaman Bagas tidak terlepas dan terus menemani Nayla melakukan gerakan naik turun di atas bola itu.
“Tarik nafas, hembuskan.” Bagas memberi aba-aba pada Nayla.
Bagas dapat melihat wajah Nayla yang menahan kesakitan. Wajah cantiknya penuh dengan keringat. Bagas bahkan tahu kapan gelombang cinta itu datang karena setiap kali itu terjadi, Nayla secara otomatis akan meremas tangan Bagas.
Bagas tentu saja merasakan perih ketika tangannya diremas bahkan terkadang kuat sekali namun dia menahan itu semua, demi Nayla dan juga bayinya. Bagas belum pernah melihat orang melahirkan sebelumnya namun dia mencoba segalanya untuk bisa menemani Nayla. Tangan Bagas beberapa kali juga terulur untuk mengelap keringat Nayla.
“Kamu pasti bisa, Nay. Ingat, sebentar lagi kita ketemu dengan Bayi,” ucap Bagas yang disambut dengan anggukan kepala oleh Nayla.
Hanya berselang beberapa jam, Nayla kembali mengadu dan kali ini Bagas panik karena melihat darah. Dia segera menekan tombol darurat yang ada di samping ranjang Nayla sehingga tidak berapa lama kemudian tim dokter dan perawat sudah datang dan memeriksa keadaan Nayla.
“Wah ini sudah waktunya,” ujar dokter yang akan membantu Nayla dan melakukan persalinan.
Dokter itu mengadakan pandangannya ke arah Bagas yang terlihat kacau tidak seperti dia yang sebelumnya.
“Pak?” panggil dokter itu.
Bagas menoleh namun terlihat jelas dia tidak fokus, bahkan dia tidak mau melihat Nayla.
“Bapak takut darah ya?” tanya dokter itu.
Bagas menelan ludahnya susah payah dan mengangguk. Dia melihat sendiri bagaimana keadaan Ayah dan Ibunya yang sudah meninggal dengan bersimbah darah, itu cukup membuatnya trauma dengan darah.
“Kalau begitu, Bapak bisa tunggu di luar saja,” ujar dokter itu lagi.
“Ta-tapi....”
“Gak apa-apa, Gas. Aku bisa sendiri, kok.” Bagas langsung menatap Nayla yang tengah tersenyum ke arahnya.
Bagas menghampiri Nayla, “Gak, aku mau temani kamu.”
Tangan Nayla meraih tangan Bagas dan tersenyum, “Kamu sudah banyak bantu. Jangan paksakan diri kamu, Gas. Aku akan baik-baik saja, dokter ini kan dokter terbaik kata kamu.”
Bagas ingin membantah tapi dia kembali melihat darah sehingga dia kembali memejamkan matanya. Akhirnya Bagas diantar keluar dari ruangan itu dan kini dia menunggu di depan kamar dengan perasaan kalut.
Bagas ingin masuk dan melihat proses persalinan Nayla namun di satu sisi dia tidak sanggup untuk melihat banyaknya darah saat proses persalinan itu.
Waktu berlalu dengan lambat, membuat Bagas semakin gelisah. Dia menunggu sambil bolak-balik di depan pintu kamar, terkadang dia duduk namun tidak berapa lama kemudian dia kembali bangkit dan mencoba masuk ke dalam ruangan namun kembali mengurungkan niatnya. Saat Bagas bangkit dan memutuskan untuk masuk, seorang perawat keluar dan tersenyum ke arah Bagas.
“Bayinya sudah lahir, Pak. Laki-laki, selamat,” ujar suster itu.
Bagas terdiam sebentar, rasa haru memenuhi hatinya. Ketika dia masuk, dia langsung menuju ke arah Nayla yang sedang menyusuii bayi itu. Bagas menghampiri Nayla lalu mencium puncak kepala Nayla, tidak terasa dia juga ikut meneteskan air mata.
Bagas menatap bayi kecil dalam dekapan Nayla, matanya terpejam dengan kulit putih dan tubuh yang terlihat ringkih. Bagas begitu bahagia melihat bayi itu akhirnya lahir dengan selamat. Dia ingat betul perjuangannya dengan Nayla yang harus menaikkan berat badan bayi itu setelah dokter mengatakan bahwa berat badannya di bawah standar.
“Halo, Bennett ” sapa Bagas memanggil nama yang memang sudah dia siapkan bersama Nayla sambil mengelus lembut jemari kecil. Nama Bennett yang artinya adalah orang yang diberkati.
Nayla tersenyum melihat Bagas lalu kembali melihat bayi kecil itu.
“Halo, Bennett Baskara.”
Kali ini Bagas yang terkejut karena dia tidak menyangka Nayla yang dari awal menolak usulan Bagas untuk memakaikan nama Baskara sebagai nama belakangnya kini sudah berubah pikiran.