17. Pertemuan dan Perpisahan

2174 Words
Bayi kecil itu masih tertidur dengan nyaman dalam dekapan Bagas. Sementara Bennett tertidur, Nayla memanfaatkan waktunya untuk mandi, makan dan juga istirahat. Bayi itu jarang sekali mau dengan orang lain bahkan Bagas sekalipun. “Pengkhianat! Padahal waktu masih dalam perut mama kamu, kamu aku temani terus.” Bagas memainkan jarinya pada hidung Ben sehingga membuatnya menggeliat. Nayla tertawa melihat itu, dalam hati dia sangat bersyukur bisa bertemu dengan Bagas. Orang yang menerimanya apa adanya bahkan bersedia untuk mengurusinya saat Nayla tidak punya apa pun di dunia ini. “Kamu sebaiknya tidur juga, Nay. Manfaatkan waktumu untuk istirahat yang cukup,” ujar Bagas. Nayla mengangguk dan kemudian merebahkan dirinya di kasur dan tidak berapa lama kemudian dia sudah terlelap. Bagas memandangi Nayla yang tampaknya sudah tertidur dengan damai, dia lalu melihat Ben yang ada dalam dekapannya melalui kaca. “Kamu pasti mirip Ayahmu,” ucap Bagas. Bayi Bene tidaklah mirip dengan Nayla, matanya biru dan berambut coklat. Berbanding terbalik dengan Nayla yang punya rambut gelap dan mata hitam. Bagas pikir mungkin saja ayah kandung Ben adalah orang asing. “Di mana Mama kamu ketemu dengan Papa kamu?” Bagas penasaran. Dia masih memandang Ben yang masih terlelap. “Tapi mau siapa pun Papa kamu, aku yang akan menjaga kamu dan menggantikan dia. Kita sama-sama jaga Mama ya?” Bagas mengecup kepala Ben lagi. Bayi itu, membuat Bagas bisa membuat Bagas mencintainya hanya dengan melihat wajahnya. Bau bayi yang sangat khas membuat Bagas betah berjam-jam menciuminya. Bagas bahkan menikmati waktu tidurnya terpotong untuk bangun tengah malam dan mengurusi Ben. *** (Sepuluh bulan kemudian) Calvin segera menuju lokasi perekaman musik video dari salah satu artis solo prianya. Penyanyi yang terkenal karena karya-karyanya yang selalu punya ciri khas esentrik itu menginginkan untuk perekaman musik videonya terletak di kota dengan pantai terbaik ini. Karena itulah sekarang Calvin datang untuk melihat proses rekaman yang memakan biaya banyak ini. Kesibukan Calvin semakin bertambah seiring dengan penyakitnya yang semakin bertambah parah. Kini dia sudah mulai mimisan dan harus pergi ke rumah sakit minimal satu kali seminggu karena kondisi tubuhnya yang tidak bisa tidur. Tapi itu tidak membuatnya menyerah mencari Andrea. Di kota ini dulu dia mendapatkan info bahwa Andrea ada di sini, hal itu membuat Calvin memperbanyak orang untuk mencari Andrea. “Kita akan segera sampai, Pak. Tampaknya juga ada wartawan di sana.” Calvin memandang ke arah Bunga, sekretaris barunya yang baru saja bekerja padanya tiga bulan ini karena Dian dan Widia yang sudah berhenti bekerja. Calvin mengangguk lalu kembali memeriksa perkerjaannya di tablet. Tidak lama kemudian mobil mereka berhenti, membuat Calvin segera turun dan disambut oleh kru. Dia langsung dibawa menuju ke tenda tunggu untuk menemui si solois pria itu. Calvin menunggu di tenda itu sambil ditunjukkan beberapa hasil dari perekaman kemarin. Calvin memperhatikan hasil itu dengan saksama, beberapa kali dia memberi komentar pada hasil itu memberitahu mana yang bagus dan yang jeleek dari hasil perekaman para kru. Calvin sedang asyik memperhatikan sampai telinganya menangkap suara tertawa anak kecil yang membuatnya langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang bayi yang sedang merangkak ke arahnya itu membuatnya kaget. Bayi itu malah tersenyum karena wajah kaget Calvin. “Bene!!” Suara seorang pria membuat Calvin mengadahkan pandangannya pada pria itu. Pria itu langsung sadar bahwa anaknya itu sudah salah masuk tenda. “Ma-maaf. Anak saya mengganggu,” ujar lelaki itu sambil membungkukkan badannya berjalan menuju bayi itu dan mengambilnya. “Sini kamu. Kan udah Papa bilang, jangan main jauh-jauh. Kalau Mama tahu, habis kita, Nak.” Pria itu mengambil bayi itu dan berjalan keluar. “Siapa dia?” tanya Calvin. “Dia Pak Bagas. Pemilik sanggar tari yang jadi penari latar kita,” ucap sang sutradara. Calvin mengangguk, dia hendak menanyakan mengenai bayi itu yang agak sedikit berbeda dengan bapaknya namun Calvin mengabaikan itu semua lalu mulai kembali membahas hasil kerja dari timnya. *** “Dia ke mana?” tanya Nayla sambil mengambil Bene dari gendongan Bagas. “Masuk ke tenda kru,” jawab Bagas. “Bene, gak boleh gitu ya. Kalau hilang gimana?” omel Nayla pada anaknya itu namun Bene malah memberikannya senyum lebar yang mau tidak mau menguapkan marahnya. Anak itu tampak semakin berbeda dari Nayla, karena semakin besar wajah bulenya malah semakin kentara. Rambut coklat muda dan mata birunya semakin membuatnya terlihat berbeda dari bayi lokal pada umumnya. Semakin Nayla memandang Bene, semakin dia tidak mendapatkan bayangan mengenai lelaki yang sudah menghamilinya itu. Kata Bagas dan orang-orang, Bene sama sekali tidak mirip dengan Nayla. Maka kalau begitu Bene pasti mirip Ayahnya namun Nayla sama sekali tidak memiliki bayangan seperti apa Ayah dari Bene itu, dia juga tidak berniat mencarinya. Nayla malah bersyukur lelaki itu sudah menghilang dari kehidupannya dan Bene. Dia pasti lelaki yang tidak bertanggung jawab karena buktinya dia bahkan tidak pernah mencari Nayla apalagi Bene. Lagi pula sekarang Nayla sudah memiliki Bagas yang menerimanya apa adanya dan selalu ada untuk dia dan Bene. “Oke kita istirahat dulu, ya.” Suara salah satu kru membuat para kru yang lain berserta dengan talent yang ada beranjak dari posisi mereka menuju ke arah tenda yang biasa membagikan makanan. Calvin meminta untuk ditinggalkan sendiri, dia beristirahat sejenak dari lelahnya. Sebelum terbang ke kota ini dia baru saja menyelesaikan rapat panjang sehingga dia malah baru bisa istirahat sekarang karena dia sudah tidak punya agenda lagi setelah ini. “Makannya di sini atau kita pergi makan di tempat lain?” Mata Calvin yang baru saja terpejam itu langsung terbuka lebar saat dia mendengar suara yang sangat familier baginya, suara yang sangat dia rindukan, suara Andrea. Calvin dengan cepat menuju ke luar tenda sayangnya dia tidak melihat sosok Andrea di sana. Matanya mencari ke sana-kemari namun dia tidak melihat Andrea, padahal dia yakin sekali dia mendengar suara Andreanya. “Bapak cari sesuatu?” tanya Bunga yang datang menghampiri Calvin. “Apa tadi ada orang yang lewat sini?” tanya Calvin. Bunga berpikir sebentar lalu menggeleng. Calvin menghela nafas pasrah, mengangguk lalu berjalan kembali ke tenda. “Bapak sudah mau makan siang? Biar saya siapkan,” tanya Bunga. Calvin menggeleng lalu masuk. Dia mengambil obatnya dan menegaknya kembali sambil merebahkan dirinya di sofa. Dia mungkin terlalu lelah, atau mungkin terlalu rindu. “Pak Calvin tanya apa?” tanya seorang kru pada Bunga saat wanita itu kembali bergabung dengan para kru lainnya. “Dia tanya kalau ada orang yang lewat gak di sekitar tendanya,” jawab Bunga. “Terus Lo jawab apa?” “Gue jawab aja gak ada. Itu pasti si pasutri yang lewat tadi. Daripada kita disuruh cari mereka, paling mau dimarahin lagi. Tahu sendiri gimana galaknya dia kalau ada yang ganggu tidur dia,” ujar Bunga santai. “Iya juga sih.” Si kru membenarkan. Mereka semua tahu betapa galaknya Calvin jika ada yang berani mengganggunya saat dia sedang istirahat. Sudah rahasia umum bahwa Calvin memiliki gangguan tidur yang membautnya susah tidur. *** Nayla tengah membersihkan tangan Bene dengan tisu basah karena ketiganya kini sudah berada di sebuah restoran seafood yang berada tidak jauh dari lokasi perekaman video klip itu. Mereka sebenarnya disediakan makanan di sana namun Nayla tiba-tiba ingin makan seafood maka ketiganya pergi makan di sini. “Kamu lihat direktur utama mereka tadi gak?” tanya Nayla. Bagas yang tengah memainkan ponselnya menatap Nayla dan mengangguk. “Tadi ketemu pas Bene masuk ke dalam tenda. Orangnya agak ... seram,” ujar Bagas. “Oh ya? Aku gak terlalu lihat mukanya sih tadi. Aku Cuma lihat pas dia turun dari mobil. Orang bule ya ternyata?” ujar Nayla. “Katanya Mamanya yang orang Bule, Papanya orang sini,” ujar Bagas. Nayla mengangguk paham kemudian kembali membersihkan Bene dengan tisu basah. "Nay," panggil Bags. Nayla menatap wajah Bagas yang terlihat sangat serius sekarang. “Kamu kenapa?” tanya Nayla curiga. “Ada yang pengen aku omongin,” ujar Bagas. “Ya udah, ngomong aja,” jawab Nayla. Bagas terdiam sebentar, lalu menghela nafas panjang. “Nay, aku ... ingin kamu ngurus sanggar,” ucap Bagas yang tentu saja membuat Nayla kaget. “Kenapa?” tanya Nayla. “Aku ... aku mau pergi sekolah lagi,” jawab Bagas. Nayla tertunduk sebentar. “Aku dapat beasiswa untuk S2 di New Zealand,” sambung Bagas. Obrolan mereka terputus karena makanan mereka sudah siap disajikan. “Makan dulu,” ujar Bagas. Keduanya lalu melanjutkan makan siang mereka karena waktu mereka terbatas. Keadaan menjadi canggung sekarang karena baik Bagas maupun Bagas tidak lagi bicara satu sama lain sampai makanan mereka habis. “Gas, aku pulang duluan, ya. Bene badannya panas nih,” ucap Nayla. Bagas menghampiri bayi itu dan memegang dahinya yang ternyata memang terasa hangat. Pantas saja bayi yang biasanya aktif itu diam saja dari tadi. “Mending bawa ke dokter aja,” ucap Bagas. “Gak apa-apa. Paling minum obat penurun panas aja udah sembuh,” ujar Nayla. “Ya sudah. Kamu bawa mobil nanti aku minta tolong kru biar jemput aku di sini.” Bagas lalu menunduk ke arah Bene yang duduk di kursi khusus bayi itu. “Kamu istirahat ya, Jagoan. Papa pulang nanti, udah harus sembuh. Biar kita bisa main-main lagi,” ucap Bagas lalu mengecup kepala Bene. “Kamu hati-hati,” ucap Bagas, dia memeluk Nayla sebentar. Setelah itu Nayla langsung membawa Bene ke mobil dan pergi kembali ke rumah mereka. Sementara Bagas menunggu sekitar sepuluh menit sampai seorang kru datang menjemputnya dan membawanya kembali ke lokasi perekaman musik video itu. “Mas Bagas, diminta bertemu sama Pak Calvin,” ujar seorang kru begitu Bagas sampai. Bagas terkejut dan segera merapikan diri karena dia akan bertemu petinggi tertinggi dari perusahaan itu. Bagas mengikuti kru itu dan masuk ke dalam tenda si penyanyi itu. Bagas dapat menangkap sosok berkarisma yang tengah menatapnya itu. Bagas lalu menunduk untuk memberi hormat pada pria itu. “Silakan duduk,” ujar pria itu. Bagas lalu duduk di hadapan pria itu. Pria itu tampak menoleh ke arah pintu sebelum kembali memandang Bagas. “Katanya ada Istri dan anaknya,” ujar pria itu. “Ah, itu. Anaknya kebetulan tiba-tiba panas jadi dibawa pulang sama Mamanya,” jawab Bagas. Pria itu mengangguk sebentar, dia lalu mengarahkan tangannya pada Bagas. “Calvin, Calvin Anggara.” Pria itu menyebutkan namanya. Bagas menyambut tangan Calvin dan keduanya bersalaman. “Bagas, Bagas Baskara,” balas Bagas. “Saya tadi lihat penari dari sanggar, Pak Bagas dan saya kagum sekali dengan mereka. Masih kecil tapi gerakan mereka apik dan rapi,” puji Calvin. Bagas tersenyum bangga, “Terima kasih.” “Baik sekali Pak Bagas melatih mereka. Saya dengar sanggar tarinya sudah ada sejak lama ya?” tanya Calvin. “Iya, kebetulan sanggar didirikan oleh Kakek dan Nenek saya dan dilanjutkan oleh generasi seterusnya sampai ke saya,” jelas Bagas. Calvin dan Bagas lalu banyak mengobrol soal kesenian dan daerah yang ada di sanggar milik Bagas dan Calvin sangat kagum dan tertarik dengan itu semua. *** Bagas sampai ke rumah sudah sangat malam, karena sudah malam Bagas memilih untuk mengantarkan anak-anak sanggarnya pulang satu per satu. Dia lalu menuju rumah Nayla dan Bene dulu sebelum pulang ke rumahnya. Hubungan mereka memang belum resmi karena masih ditentang oleh keluarga Bagas. Meski begitu, hubungan Bagas dan Nayla tetap berjalan malah semakin mesra setiap harinya apalagi sejak ada Bene. “Kenapa malam sekali?” tanya Nayla yang membukakan pintu untuk Bagas. “Aku nganterin anak-anak dulu,” jawab Bagas. Dia lalu duduk di sofa untuk melepas lelahnya. “Aku bikinin teh dulu sebentar.” Nayla lalu menuju dapur dan tidak lama kemudian dia kembali dengan secangkir teh di tangannya. “Minum dulu tehnya,” ucap Nayla. Bagas membuka matanya lalu menyesap tehnya. “Bene gimana?” tanya Bagas. “Sudah lebih baik. Panasnya udah turun, tadi juga udah aktif lagi,” jawab Nayla membuat hati Bagas lega. Keduanya terdiam sejenak, masing-masing dengan pikiran mereka masing-masing. “Nay,” panggil Bagas. Nayla tidak menatap Bagas, dia tahu arah pembicaraan Bagas. “Aku Cuma akan kuliah dua tahun, Nay. Setelah itu aku akan pulang, dan kita akan menikah nanti,” ujar Bagas. Nayla terdiam. “Aku tahu ini mungkin berat buat kamu. Tapi ini juga berat buat aku, Nay. Aku juga berat ninggalin kamu dan Bene. Tapi ini demi masa depan kita juga,” ujar Bagas lagi. “Dua tahun, Nay. Dua tahun saja.” Bagas berpindah duduk di samping Nayla, tangannya menggenggam tangan Nayla. “Lalu sanggar bagaimana? Anak-anak sanggar juga harus kamu pikirkan,” ucap Nayla yang sudah mulai terisak. Bagas mengangkat dagu Nayla sehingga kini wanita itu dapat melihat Bagas tengah tersenyum ke arahnya. “Aku tahu kamu bisa mengurus mereka karena itu ada berani pergi dan meninggalkan mereka,” ucap Bagas lagi. Nayla kini tidak kuasa lagi menahan tangisnya, tangisnya pecah. Bagas meraih tubuh Nayla dan kini memeluknya erat. “Dua tahun itu bukan waktu yang lama, Nay. Lagi pula sekarang teknologi sudah sangat maju. Kita bisa melakukan panggilan video setiap saat,” ucap Bagas lagi. Bagas kembali meraih wajah Nayla, mendekatkan wajahnya dan membuat bibir mereka bertemu. Kecupan lembut yang lama-lama menjadi ciuman panas yang menuntun keduanya berpindah dari sofa menuju kamar tidur untuk berbagi kenikmatan yang kedepannya mungkin akan jarang mereka dapatkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD