18. Terjebak di Kenangan

2216 Words
Bagas terbangun dan melihat dirinya sudah sendirian di atas ranjang. Bagas lalu menuju ke luar dan mendapati Nayla sudah lebih dulu bangun dan sedang bermain dengan Bene di teras depan. Bagas melirik jam dan tersenyum, masih pukul enam sehingga masih sangat awal untuk mulai beraktivitas. Bagas menghampiri dua orang terpenting dalam hidupnya itu dan bergabung dengan mereka. “Selamat pagi,” sapa Bagas ceria, dia tersenyum lebar pada Bene membuat bayi itu langsung melompat kegirangan. Bagas mengulurkan tangannya dan langsung mengambil Bene dari pelukan ibunya. Bagas langsung menyerang Bene dengan ciuman di pipi bayi itu sehingga membuat Bene tertawa karena geli. “Kamu pegang dia sebentar biar aku siapin sarapan,” ujar Nayla yang lalu bangkit dan pergi menuju dapur meninggalkan Bagas yang masih bermain dengan Bene. Bagas memutuskan untuk membawa Bene berjalan-jalan di sekitar rumah sambil menikmati suasana pagi yang segar dan juga tenang. Beberapa orang langsung menyapa Bene yang berbeda secara tampilan dari bayi-bayi lainnya. Setelah puas, Bagas dan Bene lalu pulang dan menemukan Nayla sudah selesai menyiapkan sarapan untuk mereka. “Kalian dari mana?” tanya Nayla sambil meletakkan teko berisi teh di atas meja. “Dari jalan-jalan pagi,” jawab Bagas. Nayla lalu mengambil Bene dari Bagas dan meletakkan bayi itu di kursi bayi. “Senang kamu jalan-jalan pagi?” Nayla bertanya pada Bene membuat bayi itu tersenyum lebar. “Nay,” panggil Bagas membuat Nayla menengok ke arahnya. “Aku berangkat sebulan lagi,” ujar Bagas membuat sendok berisi makanan untuk Bene yang dipegang Nayla berhenti di udara. Nayla tertegun sebentar. “Nay,” panggil Bagas lagi. “Kita kan sudah bicara soal ini,” sambung Bagas. “Iya ... aku tahu ... tapi,” Nayla lalu menghela nafas panjang. “Kita akan baik-baik saja, Nay. Kamu tahu kita tidak mungkin menikah sekarang, yang ada nanti kamu yang susah. Aku juga ingin sekali menikah dengan kamu, Nay ... tapi kedaan tidak bisa dipaksakan. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya bertahan,” ucap Bagas. “Tapi ... bagaimana kalau kamu berubah di sana?” tanya Nayla. Bagas mengusap wajahnya lalu berjalan menuju ke arah Nayla dan berlutut di hadapn wanita itu. “Aku pergi bukan berarti aku meninggalkan kamu Nay, aku pergi karena aku sedang menyiapkan masa depan untuk kita. Untuk kamu, untuk aku dan untuk Bene.” Bagas memandang Bene yang sedang asik bermain sendiri. Bagas tersenyum, “Lagian susah nyari yang modelannya kayak kamu.” Bagas kembali menggenggam tangan Nayla, “Kamu percaya sama aku?” Nayla memandang Bagas lagi, pria itu menatap Nayla tepat di matanya. Nayla dapat melihat kesungguhan di mata Bagas. Dia mengangguk setuju. *** Hari ini hari minggu, saat yang paling tepat untuk berkumpul bersama dengan keluarga. Karena itulah Bagas memborong Nayla dan juga Bene untuk pergi menginap di sebuah hotel yang mempunyai pemandangan laut yang indah. Saat kemarin ke pantai, ternyata Bene sangat menyukai bermain di pantai. Saat bayi lain takut pada pasir pantai, Bene malah tidak mau beranjak dari sana. Bagas mengemudikan mobilnya sambil sesekali melirik Bene yang sedang duduk di kursi khusus bayi di belakang. Dia lalu tersenyum melihat bayi itu juga ikut melihat pemadangan di luar dan seolah sedang menikmatinya. Kakinya terlipat dan tangan yang menopang dagu membuat dia terlihat sangat menggemaskan. “Kenapa?” tanya Nayla. “Tuh.” Bagas menunjuk dengan bibirnya membuat Nayla menoleh ke belakang dan ikut terkekeh melihat pose anaknya. “Udah badan bongsor, kelakuannya juga tua banget,” ucap Nayla. “Iya, sekarang udah gak mau lagi dipegang kalau lagi main. Gak mau dipangku, maunya duduk sendiri," tambah Bagas. Keduanya lalu tertawa membuat Bene mengalihkan perhatiannya dari pemandangan di luar jendela ke Papa Mamanya yang sedang tertawa. “Kenapa? Kamu udah selesai melihat pemandangan?” tanya Nayla. Bene menggeleng membuat keduanya kembali tertawa. “Ya udah, silakan nikmati lagi pemandangannya, bos.” Nayla kembali menatap ke arah depan dengan tertawa. “Kemarin imunisasi pas imunisasi dia dikira udah umur setahun lebih karena badan bongsornya itu,” ucap Nayla. Bagas terkekeh, “Kalau ingat dulu pas awal USG dokter bilang kalau dia kekecilan, pasti sekarang dokternya gak bakal percaya kalau sekarang dia segede ini.” Keduanya lalu kembali tertawa. “Ma.” Suara itu langsung membuat Bagas dan Nayla terdiam saling berpandangan lalu menghadap belakang menatap Bene yang juga menatap mereka. “Bene ngomong?” tanya Nayla pada Bene. “Ma.” Bene kembali berbicara membuat Nayla dan Bagas heboh. “Ben, coba ngomong, Pa.” Bagas mencoba untuk membuat Bene mengucapkan kata Papa. “Ma.” Bene berbicara kembali. Nayla tertawa lagi, “Bene anak Mama ya?” “Ma.” Bene kembali bicara. “Kenapa sayang? Bene mau apa?” tanya Nayla. Bene lalu menunjuk kotak bekalnya. “Dia tahu aja di mana makanan berada,” ujar Bagas membuat Nayla terkekeh. Nayla langsung mengambil kotak itu dan mengambil botol sussu yang ada di dalamnya dan memberikan botol itu pada Bene. Bene menerimanya dengan wajah sumringah, dia langsung memasukkan botol sussu itu ke mulutnya dan mulai menghisapnya. Dia kembali dengan posisinya yang memangku kaki dan tangannya yang diletakkan disisi-sisi kursinya. Nayla dan Bagas kembali tertawa pelan karena tidak ingin mengganggu bos cilik mereka yang sedang mengagumi pemandangan sepanjang jalan itu. “Kelakuannya kayak bos,” ucap Bagas membuat Nayla kembali tertawa. *** Ulang tahun Laura-Mami Calvin kembali digelar dengan megah. Seperti biasa hanya orang-orang kelas atas yang diundang sehingga mereka bisa membuat bisnis di sana. Pada dasarnya acara itu hanyalah kedok untuk para orang kaya agar dapat bertemu dan menjalin kerja sama dengan orang kaya lainnya. Acara sudah berlangsung setengahnya dan Calvin malah memilih untuk pergi ke balkon dan merokok di sana. Tangannya mengenggam gelas berisi alkohol yang sudah ditenggak hampir setengah botol. Dia teringat peristiwa setahun lalu, di mana dari tempat inilah semuanya berawal. Penyesalan seolah tidak mau meninggalkan Calvin, setiap hari dia merasa terbebani dengan perasaan bersalah atas hilangnya Andrea. Semilir angin malam menerpa rambut Calvin membuatnya terangkat sedikit. Sinar bulan menyinari wajah tampan Calvin yang sekarang terlihat sangat kacau dan berantakan. Calvin kembali menenggak alkohol dari gelasnya yang sisa sedikit sampai habis. Dari tempat inilah semuanya berawal. Seharusnya waktu itu dia mengejar Andrea, dan menjelaskan semuanya. Harusnya dia tidak bilang bahwa Andrea tidak penting baginya, bahwa dia mengajak Andrea karena dia ingin mengenalkan Andrea secara resmi pada Maminya tapi tidak jadi karena ternyata Maminya sudah lebih dulu menolak Andrea. “Kamu di mana, Rea?” lirih Calvin. Dia rindu wanita itu. Sangat rindu. “Apa kau tidak merindukanku?” Calvin menghisap rokoknya lagi dan menghembuskan asapnya. “Ternyata di sini kamu.” Suara Mami Calvin membuat Calvin menengok ke belakang dan mendapti wanita itu berjalan mendekat ke arahnya. “Mami dan orang-orang mencarimu,” ujar Laura. Calvin langsung mematikan rokoknya dan kembali menatap ke langit malam yang cerah. “Calvin. Sudah lama sekali kamu menderita hanya karena wanita itu. Sekarang sudah saatnya kamu untuk bangkit dan kembali menjadi Calvin yang dulu,” ujar Laura. Calvin tersenyum miring lalu melirik Maminya, “Memangnya seperti apa aku yang dulu?” Laura terdiam. Dia tahu seperti apa Calvin yang dulu. Berhati dingin, egois dan juga kejam. Laura juga tidak tahu kapan putranya itu berubah yang jelas Laura tahu bahwa putranya itu mengalami sebuah perubahan yang signifikan. “Apa Mami tahu? Andrea memasukkan surat pengunduran dirinya tepat di saat hari ulang tahun Mami tahun lalu.” Calvin kembali melirik Maminya. “Lalu?” Laura bingung. “Dia mengajukan surat pengunduran dirinya karena dia mendengar percakapan aku dan Mami di balkon ini setahun lalu. Kita merendahkan dia, membuatnya sakit hati, dan ... pergi meninggalkanku,” ucap Calvin dengan nada lirih. “Calvin,” panggil Laura. “Harusnya waktu itu aku bantah semua kata-kata Mami karena sejujurnya aku sudah tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpa Andrea saat itu,” ujar Calvin. Calvin kembali menarik nafasnya, “Hanya saja keegoisanku membuat aku tidak melakukannya. Sungguh bodoh!” “Lalu, kamu mau sampai kapan begini? Menangisi wanita itu setiap hari? Kamu harus move on, Calvin. Hidup kamu harus terus berjalan. Pergi ke bawah dan kamu akan menemukan begitu banyak wanita yang memuja kamu dan bersedia melakukan apa saja untuk kamu,” ucap Laura. “Memuja dan bersedia melakukan apa saja?” Calvin mencebik. “Tapi mereka bukan Andrea. Aku tidak ingin wanita lain, Mi. Jika itu bukan Andrea maka aku tidak ingin. Dan kalau Mami tanya akan sampai kapan? Aku juga tidak tahu. Jadi sebaiknya Mami mempersiapkan diri kembali, siapa tahu Mami akan kembali mengurusi perusahaan.” Calvin tersenyum miring lalu bergegas pergi. “Calvin!!” Laura emosi mendengar anaknya yang berkata seperti orang tidak punya masa depan. “Kamu pikir selama ini Mami diam saja? Mami juga sudah menyuruh orang untuk mencari Andrea!” Laura meledak. “Kamu pikir Mami melakukan itu untuk siapa? Untuk kamu! Anak satu-satunya Mami. Dan kalau wanita itu juga tidak diketemukan sampai saat ini, kita harus apa?” Laura mencoba mengatur nafasnya. Calvin tersenyum namun dia tidak membalikkan badannya. “Lihatkan? Lebih gampang untuk tidak mengusir Rea daripada mencarinya. Harusnya Mami pikirkan itu sejak awal.” Lalu dia meneruskan langkahnya pergi melewati para tamu undangan, masuk ke mobilnya dan pergi ke tempat di mana seharusnya dia berada. Sudah setahun ini Calvin membayar tempat tinggal Andrea yang dulu. Membiarkannya sama seperti terakhir kali ditinggal, membayar sewa dan juga untuk jasa pembersihannya. Sudah setahun ini juga, jika Calvin tidak bisa tidur maka dia akan pergi ke tempat ini, mengingat kenangannya bersama Rea di sana, menangis sampai tertidur. Ini adalah tempat ternyamannya saat ini, tempatnya yang bisa membuatnya lebih tenang dan mengobati sedikit kerinduannya pada wanita itu. Calvin tahu bahwa suatu saat ketika Andrea merindukannya, dia akan kembali ke tempat itu dan akan mendapati Calvin yang masih menunggunya. Tangan Calvin terulur dan mengambil parfum milik Andrea yang sudah dia beli baru dan menyemprotkannya ke udara. Seketika wangi Rea memenuhi ruangan itu membuat Calvin lebih tenang dan kini membaringkan tubuhnya ke ranjang Andrea. Calvin menyentuh ranjang dingin yang dulu selalu dia dan Andrea hangatkan. Tangan Calvin terulur mengambil boneka unicorn yang sengaja dia dapatkan karena dia tahu Andrea mencintai karakter fiksi itu. “Apa kamu tidak rindu unicorn ini?” Calvin bertanya sendiri. Dia lalu memeluk boneka itu dan mulai memejamkan matanya, membayangkan Andrea yang ada di sampingnya. Membayangkan wanita mengelus lembut rambut Calvin, memainkannya dan menciumnya sesekali dan berkata bahwa rambut Calvin sangat harum baunya. “Aku rindu kamu. Aku cinta kamu, Rea. Aku mohon, kembalilah.” Setetes air mata kembali keluar membasahi pipi Calvin. Lelaki itu tidak bisa beranjak dari kenangannya bersama Andrea. Dia terjebak dalam kenangan-kenangan mereka. *** Calvin terbangun dengan tiba-tiba dan menyadari bahwa dia tidak seharusnya tidur di tempat Andrea karena Maminya pasti akan tahu tempat ini ada mungkin akan menghancurkannya. Calvin tidak bisa membiarkan itu, tempat ini adalah satu-satunya tempat di mana Calvin dapat merasakan kehadiran Andrea. Dia kembali meletakkan boneka unicorn yang dari tadi dia peluk itu ke tempatnya. “Kau! Jaga tempat ini. Aku mengandalkanmu!” Calvin berbicara sambil menunjuk ke arah boneka itu. Selain itu, dia punya rapat penting besok pagi dan dia tidak punya persiapan apa-apa. Jadi di tengah malam menuju subuh itu, Calvin kembali menuju rumah Maminya. Tentu saja begitu dia sampai, Maminya sudah menunggu kepulangan Calvin. “Kamu dari mana?” tanya Laura begitu dia melihat batang hidung Calvin. “Aku pergi ke mana-mana untuk menenangkan pikiranku,” jawab Calvin yang lalu berjalan pergi. “Calvin!” panggil Laura. Dia berjalan mendekat ke arah Calvin. “Kamu pergi bersama wanita?” tanya Laura. Calvin tersenyum miring, “Mana mungkin?” “Kamu punya bau parfum perempuan.” Laura kembali mengendus bau dari Calvin. Dalam hati Calvin memaki dirinya sendiri, dia lalu mundur beberapa langkah. “Kamu berbau seperti—“ “Aku mau istirahat saja. Mami juga harus istirahat,” ujar Calvin yang lalu menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. *** Bagas dan Nayla berada dalam kantor di sanggar, keduanya sedang berbicara mengenai operasional dan juga jadwal latihan yang akan dijalankan selagi Bagas pergi. Bagas memberi Nayla beberapa daftar klien yang biasanya memakai jasa mereka untuk tampil di acara mereka. Nayla mencatat beberapa hal penting yang belum dia ketahui dari operasional sanggar itu. Bagas juga memberinya beberapa kontak orang yang mungkin bisa menolong Nayla saat dia dan Bene kesulitan. Nayla bahkan sudah dikenalkan secara langsung pada orang-orang itu. Bagas ingin memastikan bahwa Nayla dan Bene tidak akan mengalami kesulitan saat dia tidak ada. “Ini ada klien yang potensial,” ujar Bagas sambil memberikan sebuah map yang di dalamnya ada tawaran kerja sama. Nayla meraih map itu dan mulai membaca pelan-pelan isi kerja samanya. “Katanya mereka akan mengadakan audisi untuk pencarian bakat mereka dan mereka mengundang kita. Jadi kemungkinan kita diterima masuk lumayan besar,” ujar Bagas. Nayla mengangguk, “Kapan itu?” “Sekitar dua bulan lagi. Aku berniat untuk memajukan kelompok B. Mereka masih anak-anak tapi mereka sangat kompak dan selalu memuaskan ketika tampil,” jelas Bagas. “Aku yang anter mereka?” tanya Nayla. Bagas tertawa, “Tentu saja, Nay. Memangnya mereka bisa pergi sendiri?” Nayla kembali melihat tawaran itu dan pada bagian akhir dokumen itu ada nama direktur utama dari perusahaan itu. “Calvin Anggara?” ucap Nayla. “Iya. Itu direktur bule itu,” jawab Bagas. Bagas kembali melihat Nayla yang seperti sedang mengingat sesuatu, “Kenapa?” Nayla memandang Bagas, “Nama ini familier.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD