19. Semakin Dekat

2171 Words
“Calvin Anggara?” Bagas berbalik menatap Nayla yang sedang menggigit bibirnya, sedang berpikir. “Iya, direktur bule itu. Kenapa memangnya?” tanya Bagas. “Nama ini familier,” jawab Nayla. Bagas terkekeh, menaruh kertas-kertas yang dari tadi dia sortir dan menuju ke arah Nayla. “Tentu saja familier, kan kita sudah pernah kerja sama dengan dia sebelumnya,” ujar Bagas. “Tapi waktu yang kemarin aku gak tahu namanya. Kan kamu yang baca kontrak dan tanda tangan,” ucap Nayla. Bagas mengangguk, “Lalu? Kamu kenal dia begitu?” Nayla menggeleng, dia memang sudah pernah melihat orang itu namun hanya sepintas saja, dan dia bahkan tidak mengenal orang itu. Bagas tertawa melihat reaksi Nayla, “Ya sudah, ayo selesaikan ini semua. Aku masih harus pergi untuk wawancara beasiswa.” Bagas lalu kembali ke mejanya dan mulai menyortir lagi dokumen-dokumen yang perlu dia jelaskan pada Nayla. Bagas dan Nayla menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat, Bagas harus berterima kasih pada Nayla yang sangat mahir dalam urusan atur-mengatur ini. “Kamu tuh jago banget ya kalau urusan mengatur begini, kerja kamu tuh rapi banget kayak udah profesional aja,” ucap Bagas sambil meletakkan map terakhir ke rak. Nayla mengangkat bahu, “Gak tahu juga, aku kayak udah terbiasa aja melihat banyak dokumen, mengatur itu, baca data dan kontrak juga.” Bagas terdiam sebentar, “Kamu benar-benar belum ingat apa pun soal masa lalu kamu?” Nayla memandang Bagas sebentar lalu menunduk dan menggeleng. Bagas tahu dia sudah membuat Nayla sedih jadi dia pergi mendekati Nayla dan memeluknya erat. “Ya sudah, jangan diingat kalau begitu. Fokus saja sama masa kini dan masa depan kita.” Nayla membalas pelukan Bagas. “Kamu siap-siap kalau begitu. Nanti telat,” ucap Nayla. Bagas menepuk jidatnya, “Kamu sih bikin lupa waktu.” Sebelum Nayla melayangkan tamparan kecil kepadanya, Bagas sudah lebih dulu lari sambil tertawa membuat Nayla juga ikut tertawa. Nayla akhirnya keluar untuk menemui Bene yang sedang bermain dengan anak-anak sanggar yang lain. Bayi itu tidak terlalu suka dengan orang baru makanya dia susah sekali untuk dititipkan pada orang dewasa lain. Dengan anak panti pun bayi itu memilih untuk bermain dengan sebagian anak saja. Nayla juga tidak tahu kenapa anaknya punya sikap yang seperti itu. “Bene!!” Nayla berteriak heboh saat melihat Bene yang sedang fokus bermain dengan mainan mobilnya. Bene yang melihat Mamanya itu langsung kehilangan fokusnya dari mainannya itu dan langsung mengulurkan tangannya minta digendong dan dipeluk. Bayi yang unik memang, dia bisa terlihat sangat dingin dan tidak ramah dari luar namun begitu dia berada di orang yang dia suka seperti Nayla atau Bagas, bayi itu bersikap sangat manja. Nayla mengangkat Bene dan memeluknya erat, dia baru meninggalkan anak itu sejam saja tapi dia sudah sangat rindu padanya. “Bene rindu Mama ya?” tanya Nayla. “Ma,” jawab Bene yang memang sudah bisa mengoceh. Nayla lalu bergabung dengan anak sanggar yang mulai menceritakan padanya tentang kelakuan lucu Bene yang sangat menghibur mereka. Bagi Nayla, sangat menyenangkan mendengarkan cerita dari anak-anak panti itu. “Nay!” Nayla menoleh ke arah sumber suara dan menemukan Bagas sedang berdiri di depan pintu dengan penampilan rapi lengkap dengan menggunakan jas. Nayla dan anak-anak sanggar yang lain terpukau melihat penampilan Bagas yang sangat rapi itu berbanding terbalik dengan penampilan Bagas sehari-hari yang sangat santai dengan kaos dan celana pendek. “Wih, Mas Bagas ternyata. Aku pikir James Bond.” Seorang anak sanggar mulai menggoda Bagas. “Mas Bagas rupanya. Aku pikir direktur,” tambah yang lain. Bagas memutar bola matanya, malas untuk menanggapi godaan para anak sanggar itu. “Nayla, sini sebentar,” panggil Bagas. Nayla yang masih menahan senyumnya bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti Bagas. “Buruan Kak Nay, dipanggil direktur tuh.” Lalu terdengar riuh tawa dari mereka membuat Nayla berbalik dan membuat tanda diam namun dia juga tertawa. “Kenapa?” tanya Nayla. Bagas sementara berdiri di depan cermin dengan frustrasi. “Kamu bisa pasang dasi gak? Aku udah nonton tutorialnya di internet tapi malah makin gak bisa,” ujar Bagas. Nayla tersenyum lalu meletakkan Bene di kasur. Nayla menghampiri Bagas, meraih ke dua sisi dasi itu lalu entah kenapa secara otomatis dia bisa memasangkan dasi itu. Bagas terkejut sekaligus kagum karena hal itu sementara Nayla sendiri heran dengan dirinya. Tiba-tiba sekelebat gambaran muncul di kepala Nayla. Dia sedang mengikat dasi seorang pria namun wajahnya tidak terlihat. Pria itu tiba-tiba maju membuat Nayla mundur. “Kenapa? Nayla?” Bagas terlihat khawatir melihat Nayla yang menggelengkan kepalanya sambil menutup matanya. “Duduk dulu.” Bagas membawa Nayla ke kasur dan membuat Nayla duduk di situ. Dia lalu berlutut di depan Nayla, tangannya mengelus lembut tangan Nayla sementara yang lain mengusap punggung Nayla. Nayla mendadak pusing, ingatan samar-samar itu membuat kepalanya langsung sakit. Nayla memegangi kepalanya dan dengan pelan memijitnya. “Kepala kamu sakit?” tanya Bagas dengan khawatir. Nayla mengangguk. Bene yang memegang tangan Nayla, membuat Nayla menatap anaknya itu dan menatap mata biru Bene. Dengan cepat juga ingatan pria dengan mata biru tiba-tiba saja muncul dan membuat kepalannya semakin sakit. Tidak lama kemudian, Nayla pingsan. *** Calvin terbangun secara tiba-tiba, nafasnya tersengal-sengal dan keringat yang begitu membasahi tubuhnya. Pria bertubuh atletik itu menyalakan lampu di kamar hotelnya dengan alat kendali jarak jauh dan duduk bersandar di kepala tempat tidur. Calvin melirik ke arah jam di mejanya dan mendapati bahwa ini masih jam empat pagi. Lumayan, dia bisa tidur empat jam, biasanya dia hanya bisa tidur satu jam. Kali ini Calvin tidak berniat untuk tidur lagi, dia tidak mau harus minum obat tidur dalam dosis yang banyak. Karena itu dia beranjak dari kasur dan pergi ke kamar ganti, mengganti pakaiannya dan pergi berolahraga. Awalnya Calvin ingin pergi ke tempat olahraga di hotel yang sedang ia tempati namun dia mengurungkan niatnya dan memilih untuk berolahraga lari pagi di jalanan saja. Hari masih sangat gelap, beberapa orang terlihat sudah memulai aktivitas mereka. Calvin menghirup udara pagi yang sangat segar, berbeda dengan kota tempat dia berasal. Tanpa terasa Calvin berlari sudah cukup jauh dari hotelnya namun karena udara yang segar, Calvin tidak ambil pusing. Hari sudah lumayan terang, Calvin melihat jam tangannya dan tahu bahwa ini sudah jam 6, pantas saja sudah mulai ramai. Calvin berjalan cepat ketika dia melewati orang-orang yang sedang sarapan bubur ayam. Calvin akan mulai berlari lagi saat kemudian dia melihat seorang bocah yang sepertinya baru belajar berjalan sedang bermain di trotoar. “Bene!” Calvin berhenti dan melihat ke arah pria yang sedang berjalan mencoba untuk menangkap bocah itu. Bocah itu malah terlihat senang dan malah semakin kencang berlari sampai dia terpeleset dan hampir saja jatuh ke aspal untung saja Calvin berada di dekatnya dan langsung menangkap bocah itu. “Aduh!! Bene!!” Lelaki itu tampak khawatir. “Terima kasih,” ujar lelaki itu. Calvin mengangkat anak itu dan memberikan kepada lelaki itu sampai akhirnya dia sadar dia mengenal lelaki itu. “Pak Bagas?” “Pak Calvin?” Keduanya sama-sama terkejut karena kembali bertemu. “Pak Calvin lagi olahraga ya?” tanya Bagas. “Iya. Mumpung udaranya bagus dan segar,” jawab Calvin sambil menurunkan Bene. “Saya pikir sudah balik,” ujar Bagas. Calvin menggeleng, “Saya masih ada sedikit urusan di sini.” Calvin lalu menatap bocah yang masih menatapnya itu. “Anaknya ya Pak Bagas?” tanya Calvin sambil berjongkok membuat dia sejajar dengan Bene yang masih menatapnya. “Iya. Namanya Bene. Ben, ayo salaman sama om,” ujar Bagas pada Bene. Calvin tersenyum lalu mengambil tangan Bene dan bersalaman dengan bocah itu. “Nama aku Calvin. Kamu Bene ya?” ujar Calvin. Bene malah mengangguk dan menunjuk dirinya sendiri ketika namanya disebut membuat Calvin terkekeh pelan. Dia biasanya tidak suka berhadapan atau dekat-dekat dengan anak kecil namun anak itu manis membuat Calvin tidak terlalu terganggu. “Mas Bagas, ini buburnya.” Penjual bubur itu memanggil Bagas ketika pesanannya sudah siap. “Eh, iya Pak. Ayo Ben.” Bagas tampak kebingungan. “Pergi ambil aja dulu. Nanti Bene sama saya,” ujar Calvin yang lalu menarik tangan Bene untuk duduk di trotoar. Bene terus menatap Calvin membuat Calvin bingung sendiri. “Kenapa kamu ngeliatin aku terus kayak begitu?” tanya Calvin. Bene tidak bergeming dan masih terus menatap Calvin. “Aku ganteng ya?” ucap Calvin lalu tertawa sendiri. Bene malah mengangkat mainan manusia laba-laba merahnya ke arah Calvin. “Buat aku?” tanya Calvin. Bene mengangguk. Calvin lalu mengambil mainan itu, “Terima kasih.” Calvin mengambil ponselnya, berniat untuk menghubungi orangnya untuk menjemput dia namun ternyata ponselnya mati. “Pak Calvin mau lanjut olahraga ya? Saya sama Bene sudah mau pulang buat sarapan,” ujar Bagas. Calvin berpikir sebentar. “Pak Bagas,” panggil Calvin. Bagas berbalik lagi menatap Calvin. “Saya boleh numpang buat isi daya baterai ponsel saya gak?” tanya Calvin. Bagas tersenyum, “Tentu saja boleh.” Bagas, Calvin dan juga Bene berjalan menuju ke rumah Bagas yang kata Bagas dekat dari tempat bubur itu. Dan ternyata memang benar, tempatnya sangat dekat. Rumah Bagas terletak di belakang gedung sanggar yang berada di depan jalan. “Mama kamu udah ke pasar belum ya?” Bagas bertanya pada Bene. “Ma?” Bocah itu kembali mengoceh membuat Calvin tersenyum mendengar suaranya yang imut. “Kami pulang,” ujar Bagas yang lalu masuk ke dalam sementara itu Calvin tengah bersama dengan Bene di teras depan. Tidak lama kemudian Bagas keluar, “Mamanya Bene lagi ke pasar kayaknya.” “Gak apa-apa, saya juga datangnya mendadak. Ini ponsel saya, tolong di isi daya aja,” ujar Calvin sambil memberikan ponselnya yang kembali dibawa Bagas ke dalam. Bagas lalu membuat kopi dan menghidangkannya dengan waffle yang sudah dibuat Nayla sebelum dia pergi ke pasar. “Terima kasih, tidak perlu repot-repot,” ujar Calvin. “Tidak masalah, hanya kopi sama waffle,” jawab Bagas. Calvin meminum kopinya dan mengambil waffle dan memakannya. Calvin tertegun sebentar merasakan waffle itu, mirip sekali dengan buatan Andrea. “Kenapa Pak? Tidak enak?” tanya Bagas setelah melihat Calvin terdiam. Calvin menggeleng, “Gak. Ini enak sekali.” Calvin memakan lagi waffle itu, rasanya begitu mengingatkan dia pada Andrea. Bene tiba-tiba saja berdiri sambil meletakkan tangannya di paha Calvin. “Pah?” Bagas dan Calvin terkejut dengan ocehan Bene. “Bukan, itu Om. Ini Papa.” Bagas menunjuk dirinya. “Gimana sih kamu, selama ini Cuma tahu manggil Mama, sekalinya manggil Papa ke orang lain,” protes Bagas yang lalu menangkap Bene dan menggelitik bocah itu membuat tawa bocah itu meledak. Calvin memandang pemandangan itu dengan tatapan iri. Si egois yang selalu hanya memikirkan dirinya sendiri itu, iri melihat pemandangan memiliki keluarga. *** Gedung itu terlihat sangat megah, menjulang tinggi seolah membelah langit. Di sebuah ruangan yang besar dan juga megah, Nayla bersama dengan anak-anak sanggarnya sedang berada di tempat mereka untuk latihan dan juga beristirahat. Jauh-jauh mereka pergi dari kota mereka ke sini untuk bisa dapat tampil di kompetisi yang dilakukan oleh perusahaan dunia hiburan terbesar ini. Nayla dan juga anak-anak sanggar cukup beruntung karena mereka ada satu langkah di depan yang lain karena mereka mendapatkan undangan untuk audisi. Nayla harus tetap pergi mengantre dari subuh sampai sekarang sudah hampir siang barulah dia mendapatkan nomor urut untuk sanggar mereka. Untung saja mereka diberi tempat menunggu yang lumayan nyaman karena ada kasur dan juga pendingin udara sehingga mereka tidak terlalu lelah menunggu. “Kak, Bene kayaknya buang air,” ujar seorang anak sanggar. Nayla yang sedang merapikan baju-baju itu langsung menuju ke arah Bene dan memeriksa popok anak itu. Setelah itu dia pergi menuju ke kamar mandi untuk membersihkan Bene. sementara Calvin sedang berada di dalam kantornya sedang bekerja dengan fokus dan serius sampai sebuah ketokan pintu membuatnya mengalihkan pandangannya. “Permisi Pak. Bapak punya agenda untuk pergi menemui para peserta audisi,” ujar Bunga. Calvin mengangguk lalu bangkit dari kursinya dan bersiap untuk turun ke tempat audisi. “Pak, ini daftar kontestannya,” ujar Bunga sambil memberikan tablet pada Calvin. Calvin mengangguk dan mulai membaca daftar kontestan itu dan melihat nama sanggar dari Bagas. Dia tersenyum karena dia memang menyukai anak-anak dari sanggar itu. Langkahnya kemudian menuju ke sebuah tempat yang menuliskan nama sanggar milik Bagas. Namun saat Calvin melihat ternyata dia hanya menemukan para anak-anak di sana. “Pak Bagas gak ada?” tanya Calvin. Mereka menggeleng, “Pak Bagas pergi sekolah ke luar negeri.” Calvin terkejut mendengarnya, “Terus kalian ke sini sama siapa?” “Sama Kak Nay. Dia lagi ke kamar mandi soalnya Bene ‘ee,” jawab seorang anak. Calvin mengangguk lagi. Dia baru akan beranjak pergi saat kemudian dia mendengar suara seseorang yang sangat familier untuknya. “Bene! Jangan lari-lari nanti jatuh.” Calvin menoleh ke belakang dengan cepat, dia tertegun. Tubuhnya tidak bergerak, dia bahkan mungkin tidak bernafas setelah melihat wanita yang sedang mengejar bocah berkulit putih yang tengah berlari di depannya itu. Pandangan Calvin mengabur karena tanpa dia sadari air matanya sudah mulai menggenang. Calvin maju beberapa langkah, tangannya bergetar tidak sanggup menyadarkannya dari kenyataan yang sedang terjadi. Hanya dengan sekali kedip, air mata Calvin jatuh. “Andrea," panggil Calvin lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD