Andrea memencet tombol di mobil Calvin membuat sebuah sekat muncul dan menghalangi sopir agar tidak melihat atau mendengar pembicaraan di kursi belakang. Calvin memandangnya dengan tatapan terkejut dan heran.
“Aku sudah bilang aku sedang datang bulan! Kita tidak mungkin melakukannya sekarang!” Andrea protes.
Dia masih ingat betul bagaimana dirinya dimarahi habis-habisan oleh Calvin karena sedang datang bulan dan membuat dia dan pria itu gagal tidur dengan Andrea.
“Ya sudah, kita jangan dulu melakukannya,” ujar Calvin santai.
Andrea semakin tidak mengerti dengan kelakuan lelaki itu.
“Terus aku harus apa?” tanya Andrea.
“Kamu tidak harus apa-apa. Memangnya kalau kamu ke tempatku artinya kita akan tidur bersama?”
“Iya.” Jawab Andrea membuat Calvin terdiam.
Kedatangan Andrea ke apartemennya memang selalu untuk tidur dengan lelaki itu. Mereka sudah menjalani hubungan rahasia ini beberapa bulan dan baru dua bulan ini Calvin membuat Andrea selalu pulang ke apartemen Andrea kecuali saat wanita itu datang bulan.
“Kita bisa makan piza,” ujar Calvin salah tingkah.
Tidak disangka, mata Andrea melebar mendengar kata piza.
“Benarkah?” Andrea ingin memastikan lagi.
“Iya, Rea. Kamu mau piza? Nanti aku belikan sekalian dengan gerainya.”
Rea adalah nama yang selalu dipanggil Calvin untuk Andrea saat keduanya sedang tidak berada di lingkungan pekerjaan.
“Terus, kenapa aku harus ganti nomorku?” tanya Andrea lagi.
Calvin menatapnya lagi, lelaki itu kemudian menarik tangan Andrea sehingga wanita bertubuh ramping itu langsung jatuh ke d**a Calvin, menatapnya dalam jarak dekat.
“Lakukan saja apa yang aku perintahkan,” ucap Calvin. Dia lalu melepaskan Andrea membuat wanita itu langsung bisa bernafas dengan lega.
Calvin keluar lebih dulu disusul Andrea yang masih harus merapikan pakaiannya yang sudah berantakan karena ulah Calvin.
“Aku mau mandi dulu, kamu pesan saja pizanya.” Calvin berteriak sambil berlalu ke kamar mandi.
Andrea melemparkan tasnya ke sofa kemudian ikut duduk di sana. Jemarinya sibuk untuk memilih jenis piza yang ingin dia pesan. Setelah selesai memilih, dia kemudian segera memesan layanan antar dari piza tersebut.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselnya, awalnya Andrea tidak tahu siapa si pengirim pesan karena itu adalah nomor baru. Tapi sebuah pesan baru masuk, membuat Andrea tahu bahwa Nathan benar-benar menghubunginya.
Pria itu kemudian melancarkan aksinya menanyakan kabar dan juga kesibukan Andrea sesekali juga memberikan pujian tentang bagaimana cantiknya senyum Andrea dan juga perilakunya.
Entah sejak kapan yang jelas tiba-tiba saja Calvin sudah berada di belakangnya dan bahkan ikut membaca pesan yang dikirimkan oleh Nathan. Calvin dengan cepat merebut ponsel Andrea dengan mudah. Dia kemudian berjalan ke balkon apartemen itu dan dengan mudahnya melempar ponsel berlogo apel tergigit milik Andrea itu keluar.
Andrea terpekik melihat ponselnya melayang dengan bebas ke bawah. Dia mencoba mengejar namun percuma, Calvin benar-benar membuangnya tanpa berpikir sedikit pun.
“Kenapa dibuang?” Andrea melayangkan pukulan ke lengan berotot milik Calvin.
“Aku ‘‘kan sudah bilang, ganti nomormu! Kalau tidak mau, ya sudah sekalian ponselnya saja yang diganti!”
Andrea masih terpaku di depan Calvin, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Jangan mau dihubungi lelaki lain selain aku apalagi kalau konteksnya mereka hanya menggodamu. Ini baru ponselmu yang kubuat melayang, jika masih berlanjut bisa-bisa pria itu yang kubuat melayang,” ancam Calvin.
“Terus pizanya bagaimana? Dia tidak bisa menghubungi aku untuk antar pizanya!” sebuah tamparan kembali mengenai lengan Calvin.
Calvin kaget melihat wanita itu hanya peduli pada pizanya.
***
Calvin mengunyah piza yang sudah mulai mendingin itu dengan perlahan, matanya mencoba untuk menatap Andrea namun pandangannya kembali turun ketika didapati wanita itu masih menatapnya dengan penuh kemarahan.
Tukang antar piza itu akhirnya kesulitan dalam mengantarkan piza itu karena Andrea memang belum memberitahu nomor unit apartemen Calvin yang menyebabkan piza itu datang dalam keadaan sudah agak dingin.
“Maaf, kita pesan lagi saja pizanya.” Calvin berkata pelan, dia sudah duduk di ujung sofa karena ngeri melihat tatapan Andrea.
“Makanya apa-apa itu jangan pakai emosi,” ujar Andrea sebal.
Calvin terdiam.
“Lagi pula, kenapa harus pakai emosi sih? Bisa saja ‘kan Nathan menghubungi aku dengan harapan aku bisa bujuk kamu. Biar gak mempersulit dia?” Andrea melipat tangannya.
Calvin salah tingkah.
“Aku ... aku ... aku begitu supaya kamu itu tetap fokus bekerja bukannya sibuk tebar pesona di kantor,” ujar Calvin.
Mata Andrea kembali melebar tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
Keduanya kemudian terdiam sejenak.
“Menurutmu, kalau suatu saat nanti aku sudah punya pasangan. Apakah–“
“Berhentilah bicara yang tidak-tidak. Cepat makan pizamu, aku mau tidur duluan.” Calvin segera beranjak dari duduknya, pergi mencuci tangannya kemudian pergi ke kamar tidur.
Andrea segera menghabiskan potongan pizanya kemudian membersihkan meja dan sofa. Dia memang berniat untuk tidur di sofa saja mengingat dia sedang datang bulang dan dia bisa saja mengalami kebocoran. Dia sudah pernah dimarahi Calvin karena dia dianggap mengotori kasur Calvin dan Calvin sangat menyeramkan jika sedang marah. Jadi dia akan mencari cara aman saja.
Setelah membersihkan meja dan mandi, Andrea segera menuju ke lemari untuk mengambil selimut dan bantal. Dia melirik ke arah Calvin yang sedang tertidur dengan pulas. Andrea kemudian menyesuaikan suhu pendingin udara dan juga mematikan lampu lalu segera keluar.
Andrea membaringkan diri di sofa dengan nyaman, punggungnya terasa begitu nyaman saat dia berbaring. Andrea kembali mengambil tabletnya dan memeriksa jadwal Calvin untuk besok hari. Setelah selesai, dia kemudian mematikan lampu dan bersiap tidur. Tidak butuh lama, tubuh lelahnya itu segera memasuki alam tidur dengan mudahnya.
***
Andrea merasakan selimut yang menutupi tubuhnya tersingkap membuat dia terbangun dari tidurnya. Detik berikutnya dia sadar bahwa dia sedang digendong menuju ke suatu tempat. Wangi maskulin khas Calvin kemudian memenuhi indra penciumannya menandakan bahwa orang yang menggendongnya ini adalah Calvin.
Andrea kemudian merasa tubuhnya diletakkan ke kasur dengan perlahan, kemudian tubuhnya kembali diselimuti. Tidak lama kemudian Andrea sudah merasakan tubuh Calvin merapat ke tubuhnya.
“Cal,” panggil Andrea pelan.
Pria itu tampak terkejut.
“Eh kebangun ya?” tanya Calvin.
“Aku lagi datang bulan, Cal. Aku tidur di sofa saja, nanti kasurmu bisa kotor,” ujar Andrea lagi.
Andrea kemudian bersiap untuk keluar dari selimut sebelum tangan Calvin menahannya dengan lengan kekar.
“Tidur di sini saja, temani aku. Kalau kasurnya kotor nanti ku ganti yang baru,” ujar Calvin.
Andrea kembali merebahkan dirinya ke kasur.
“Sini!” Calvin membuka lengannya membuat Andrea melesak masuk ke dalam pelukan lelaki itu.
“Ah, nyamannya.” Andrea tidak sadar dia mengucapkan kalimat itu.
Tapi karena kalimat itu juga Andrea dapat merasakan pelukan Calvin semakin erat padanya. Andrea bahan dapat mendengar detak jantung lelaki itu yang terdengar begitu merdu.
***
Akhir pekan adalah waktu yang paling ditunggu oleh semua orang termasuk Andrea. Saat akhir pekan biasanya Calvin akan pulang ke rumah orang tuanya dan menginap di sana jadi Andrea dapat kembali ke apartemennya dan bersantai di sana.
Andrea sedang asyik menyendok es krim ke mulutnya sambil menonton tayangan kasus kriminal saat ponselnya berdering. Tanpa melihat ke arah ponsel barunya dia mengangkat telepon masuk itu, berpikir bahwa itu adalah Dian atau Widia.
“Halo,” sapa Andrea.
“Kamu di mana?” Suara Calvin terdengar dari pengeras suara ponsel.
Andrea melihat ke arah teleponnya dan memastikan lagi bahwa itu adalah nomor Calvin.
“Aku lagi nonton TV sambil makan es krim,” jawab Andrea.
Dia merespons dengan santai karena tahu Calvin tidak sedang membicarakan pekerjaan. Lelaki itu hampir tidak pernah membicarakan pekerjaan saat akhir pekan.
“Oke, teruskan leha-lehamu dan ikut aku ke acara ulang tahun Mamiku jam 8 malam ini.”
Belum sempat Andrea menjawab, panggilan telepon itu sudah terputus.
“Selalu saja memaksakan kehendak.” Andrea protes ke arah ponselnya kemudian meneruskan menonton tayangan televisi.
Meskipun melayangkan protes tetap saja beberapa jam kemudian Andrea sudah siap untuk pergi ke rumah kediaman Anggra, tempat pesta ulang tahun Mami Calvin dilaksanakan.
Andrea melihat lagi pantulan dirinya di cermin, gaun dengan belahan d**a rendah dan tanpa lengan itu tampak sangat pas untuk dirinya. Riasan wajah yang memoles wajahnya juga membuat Andrea menjadi tampak lebih cantik dan bercahaya. Tidak lupa dia menggunakan sebuah kalung yang dibelikan Calvin saat keduanya pergi untuk perjalanan bisnis ke Paris tiga bulan lalu.
Ponselnya bergetar menampilkan sebuah pesan singkat dari sopir yang akan mengantarnya ke acara tersebut. Andrea kemudian menarik tasnya dan segera keluar dari apartemennya.
Langit sore itu begitu cerah, setidaknya Andrea dapat menikmati indahnya langit sore itu sambil menunggu macet yang tidak kunjung habis. Kediaman keluarga Anggara memang terletak di luar kota dan memakan waktu dua jam untuk perjalanan ke sana. Mereka memang punya rumah lainnya di sini tapi Calvin tidak suka konsep rumah yang punya banyak ruangan. Makanya dia memilih untuk tinggal di apartemen saja.
Lamunan Andrea terhenti saat dia merasa ponselnya kembali bergetar, nama Calvin terpampang di layar benda itu.
“Halo,” sapa Andrea.
“Kamu sudah di mana?” tanya Calvin tanpa basa-basi, khas dirinya.
“Masih di jalan, macet, biasalah,” jawab Andrea.
“Oke, acaranya dimulai jam 8 tepat. Jangan terlambat.”
Lalu sambungan telepon itu pun terputus. Andrea mencebik sambil memandang ponselnya, Calvin memang selalu melakukan semuanya sesuka hatinya.
Seperti hari ini, hari yang harusnya menjadi hari libur Andrea tapi dia harus tetap pergi menemani Calvin. Lelaki itu seakan tidak memberinya hari libur, karena selain harus menemani Calvin di kantor, dia juga harus melayani bosnya itu di tempat tidur. Bahkan beberapa bulan ini, dia hampir setiap saat bersama dengan Calvin.
Andrea mulai menyadari sesuatu, yaitu waktu pertemuannya dengan Calvin yang terlalu intens. Dia selalu diminta Calvin untuk berada di sisi pria itu bahkan Calvin sudah tidak keberatan bersama Andrea saat dia sedang datang bulan.
Andrea segera menepis pikiran bahwa Calvin menyukainya dari pikirannya, tidak mungkin Calvin menyukai dirinya. Calvin mungkin menyukai tubuhnya, tapi sepertinya itu hanya karena tubuh molek Andrea yang mampu membutakan mata setiap pria. Seperti kata Calvin sebelumnya, tidak ada cinta di hubungan mereka. Fakta yang entah kenapa mengganggu Andrea selama ini.
Perjalanan panjang Andrea akhirnya berakhir juga saat mobil yang membawanya memasuki halaman kediaman keluarga Anggara. Di rumah megah ini hanya ada Mami Calvin karena memang Ayah Calvin sudah lama meninggal dunia.
Andrea turun dar mobil setelah mengabari Calvin bahwa dia sudah sampai. Dia sudah pernah ke rumah kediaman Anggara ini beberapa kali jadi dia sudah lumayan hafal dengan letak rumah ini. Ketika masuk, dia kemudian menemukan si empunya acara sedang berdiri di bawah tangga bersama dengan teman-teman sosialitanya. Mereka tampak tertawa ceria bersama.
“Sudah lama sampai?” Calvin yang muncul entah dari mana mengagetkan Andrea.
“Belum, ini baru masuk,” jawab Andrea.
“Ayo, kita temui mami,” ujar Calvin kemudian berjalan mendahului Andrea.
Laura, Mami Calvin berhenti berbicara dengan teman-temannya saat melihat kedatangan anak semata wayangnya itu. Senyumnya mengembang melihat Calvin yang tampak gagah dengan setelan jas berwarna coklat dengan kemeja berkerah rendah.
“Mi, ada Andrea,” ujar Calvin.
Senyum Laura perlahan menghilang saat melihat ke arah Andrea yang sedang tersenyum kepadanya.
“Selamat ulang tahun, Nyonya.” Andrea sedikit membungkuk menunjukkan rasa hormatnya.
“Ya, terima kasih,” jawab Laura. Matanya kemudian menangkap sesuatu yang berada di leher Andrea dan kemudian menatap Calvin yang tampak tersenyum ke arah Andrea.
“Nikmati pestanya ya, Andrea,” ucap Laura lagi.
“Terima kasih, Nyonya,” ujar Andrea.
“Kalau begitu kami mau pergi makan dulu.” Calvin memberi tanda pada Andrea untuk segera mengikutinya.
“Aku pikir kamu mengundang orang kantor yang lain juga,” kata Andrea.
Dia tidak menyangka bahwa hanya dia satu-satunya orang di pesta ini yang berstatus karyawan.
Calvin menatapnya dengan dahi mengerut.
“Kenapa juga aku harus mengundang mereka?”
“Ya terus aku ngapain di sini?” tanya Andrea.
“Calvin!”
Suara Laura terdengar membuat pria yang ingin menjawab pertanyaan Andrea itu berbalik menatap Ibunya dan kemudian pergi ke arah wanita itu.
“Kamu tunggu di sini,” ucap Calvin sebelum pergi.
Andrea hanya mendesah pasrah, dia merasa tidak nyaman sekarang karena banyaknya tatapan ke arahnya yang seolah-olah menghakimi dirinya yang tidak pantas berada di pesta sekelas pesta ini.
Setelah meneguk segelas jus, dia kemudian pergi beranjak dari tempat itu. Tujuannya adalah sebuah balkon yang berada di lantai dua rumah ini. Andrea suka tempat itu karena selain balkon itu tersembunyi, dia sepertinya juga membutuhkan udara segar.
Andrea baru akan membuka pintu menuju balkon saat dia menangkap suara Laura.
“Mami ingin tahu hubungan kamu dengan sekretarismu itu. Kenapa kamu bawa dia ke pesta mami? Dan kenapa dia pakai kalung itu? Mami ingat betul kamu minta ke mami untuk memilih kalung waktu kamu di Paris, kenapa kamu berikan pada dia? Kok bisa?” Laura mencecar anaknya itu dengan berbagai pertanyaan.
Calvin terdiam.
“Calvin, jawab Mami!” Laura mempertegas suaranya.
Hati Andrea berdetak gugup menanti jawaban Calvin.
“Ya gak mungkin Calvin ada hubungan spesial sama Andrea, Mami. Dia itu cuma sekretaris Calvin. Masa Calvin mau dengan orang yang lebih rendah dari Calvin.”
Satu kalimat itu mampu menggetarkan hati Andrea, nyeri di dadanya sangat terasa membuat air matanya perlahan turun.
“Benar?” tanya Laura.
“Iya, Mi. Kalung itu ingin ku kasih ke model di Paris waktu itu tapi ternyata dia sudah pulang lebih dulu, makanya aku kasih saja ke dia,” jelas Calvin lagi.
Laura masih memandang anaknya dengan tatapan menyelidik.
“Aku mengajak Andrea ke mari karena memang aku ada pekerjaan lain setelah ini dan aku butuh dia. Itu saja,” lanjut Calvin.
Laura bergeming.
“Benar, Mi.” Calvin mencoba meyakinkan Maminya itu.
“Baiklah, Mami percaya. Ingat Calvin! Dia itu tidak pantas untuk kamu,” ucap Laura.
Sakit. Hati Andrea sakit mendengar itu. Dirinya merasa sangat terhina karena kalimat-kalimat Laura dan Calvin itu. Calvin itu ternyata memang hanya menginginkan tubuhnya saja dan tidak lebih. Bagaimana mungkin Andrea sempat berpikir bahwa Calvin punya perasaan padanya hanya karena pria itu ingin selalu bersamanya atau karena sikap aneh Calvin saat tahu ada pria yang mendekati dirinya.
Sesaat kemudian, perasaan sakit dan sedih itu berganti menjadi muak. Andrea tidak ingin berada di situasi seperti ini lagi.