“Kamu terlihat seperti seorang istri.”
Andrea memutar bola matanya dengan malas.
“Berhentilah berkata yang tidak-tidak. Kayak kamu pernah punya istri saja,” ujar Andrea.
Dia kembali memandangi Calvin yang masih memandanginya dengan tatapan yang sama.
“Jangan-jangan kamu begini karena demam kamu yang terlalu tinggi. Sepertinya aku memang harus memanggil dokter,” ujar Andrea yang kemudian disambut tawa Calvin.
Saat itu juga ponsel Andrea kembali berdering dan dia menemukan sebuah nomor baru menelepon ke ponselnya.
"Halo?" sapa Andrea lalu berjalan keluar kamar meninggalkan Calvin.
Pria itu menatap kepergian Andrea dengan tatapan yang sama.
“Padahal mau ku jadikan istri,” ucap Calvin pelan.
“Aku mau ambil obat dulu di bawah,” ujar Andrea yang muncul dari balik pintu. Setelah itu Calvin hanya mendengar langkah kaki dan suara pintu yang terbuka.
Hanya sekitar sepuluh menit kemudian Andrea sudah kembali dengan sebuah kantong plastik berisi obat yang tadi sudah dia pesan secara daring. Bubur yang dia masak juga tampaknya sudah matang.
Andrea menyiapkan bubur dan juga obat tersebut di sebuah nampan dan kembali ke kamar Calvin. Andrea mendapatkan lelaki itu tengah tertidur kembali.
“Cal.” Andrea menggoyang sedikit tubuh Calvin sehingga lelaki itu kembali bangun.
Calvin menggeliat sedikit lalu bangkit, duduk bersandar pada kepala ranjang.
“Makan dulu, lalu minum obat. Setelah itu baru akan kita lap badan kamu," ujar Andrea.
“Bisa kita skip langsung ke bagian lap mengelap gak?” tanya Calvin.
Sebuah tamparan kecil mengenai lengannya membuat lelaki itu kembali tertawa walau masih lemah.
Andrea menyendok bubur itu meniupnya sedikit lalu menyuapi Calvin. Dia melakukan hal yang sama sampai bubur itu tandas habis oleh Calvin. Andrea lalu memberikan obat demam yang tadi dia beli dan langsung diminum Calvin.
“Sekarang kamu buka bajunya, aku ambil air hangat dulu,” perintah Andrea.
Wanita itu lalu ke kamar mandi untuk mengambil air hangat dan juga handuk kecil di laci kamar mandi. Dia lalu kembali ke kamar dan mendapati Calvin yang sudah tidak memakai baju tengah duduk di tepi kasur.
“Kenapa?” tanya Calvin ketika melihat Andrea mematung memandanginya.
"Celananya dibuka juga,” perintah Andrea.
Calvin menurunkan celana training warna hitamnya itu sehingga kini dia hanya berbalut celana dalam abu-abunya.
Andrea mencelupkan handuk tersebut ke dalam baskom berisi air hangat, meremas handuk tersebut dan mengelap bagian atas tubuh Calvin. Pria itu tersenyum melihat wajah Andrea yang memerah.
“Apa aku harus membuka celana ini juga?” tanya Calvin sambil memegang ujung celana dalamnya.
“Hah?” Andrea terkejut.
“Aku buka saja ya,” ujar Calvin sambil berusaha menurunkan celananya itu sambil tersenyum lebar.
“Ih!!!” Andrea mencoba menahan tangan Calvin yang membuat keduanya kembali tertawa.
Calvin akhirnya duduk dan menarik lengan Andrea sehingga wanita itu kini duduk di pangkuan Calvin. Mata keduanya bertemu, saling menatap dengan mendamba, saling berbicara satu sama lain hanya dengan pandangan.
Calvin mendekatkan wajahnya, menutup matanya dan menempelkan bibirnya ke bibir Andrea. Tangan Calvin beraksi lebih jauh dari hanya sekedar mengelus-elus lengan Andrea. Tangan Calvin mulai mengelus leher dan kemudian semakin turun. Sementara tangan Andrea melingkar di leher Calvin dan sesekali memainkan rambut belakang pria itu.
“CALVIN!!!”
Suara teriakan itu membuat Andrea dan Calvin tersentak kaget. Pagutan dan sentuhan mereka terlepas. Kini keduanya berdiri sejajar memandang ke arah perempuan yang tengah menatap mereka dengan wajah marah.
“Calvin Anggara! Apa yang sedang kau lakukan, hah? Aku datang dengan panik karena mendengar kabar kamu sedang sakit ternyata kau sedang b******a dengan—“
Kalimat Laura terpotong saat dia memandang Andrea yang menunduk malu.
“Orang yang tidak pantas untukmu dan hanya ingin memanfaatkanmu,” lanjut Laura.
Andrea menelan ludahnya dengan susah payah, hatinya terasa sesak mendengar kalimat penghinaan itu.
“Ini tidak seperti yang—“
“Diam!! Apa aku menyuruhmu untuk berbicara? Tidak ‘‘kan?” ujar Laura lagi.
“Kau benar-benar sudah melewati batasmu, Nona. Aku tahu rencana busukmu,” ujar Laura tajam pada Andrea.
“Mami!” bentak Calvin namun Laura tidak bergeming.
Dia terus memandangi Andrea dengan tatapan tajam menyelidik dan juga tatapan penuh penghakiman.
“Sebaiknya kau keluar dari tempat anakku dan jangan pernah kembali ke sini,” ujar Laura.
Andrea mengangguk lemah dan bersiap pergi namun dengan cepat tangannya ditahan Calvin.
“Jangan pergi,” ucap Calvin.
Andrea menatap lagi lelaki itu dan tersenyum kecil.
“Memang sebaiknya aku pergi,” ujar Andrea lalu melepas tangan Calvin yang menggenggam pergelangan tangannya.
“Dasar perempuan tidak tahu diri. Sudah diberi pekerjaan tapi masih berani menggoda atasannya.” Andrea masih dapat mendengar kalimat itu saat dia berjalan keluar dari apartemen Calvin.
“Hey!” Calvin kembali menahan langkah Andrea. Kali ini lelaki itu mendapati Andrea sudah hampir menangis.
“Aku akan menghubungi kamu lagi, stay on your phone, ok?” Lalu kembali ke kamarnya.
***
Andrea duduk di sebuah kafe Elit yang diketahui punya Ibu dari Calvin. Semalam saat pulang dia mendapatkan pesan bahwa Ibu dari Calvin-Laura ingin menemuinya. Dia bahkan dilarang untuk datang ke kantor hari ini.
Lama juga Andrea menunggu sampai dia melihat rombongan mobil memasuki kawasan kafe itu dan Laura turun dari salah satu mobil di situ. Wanita itu membuka kacamata hitamnya dan menatap ke arah Andrea yang duduk di lantai dua kafenya yang berdinding kaca itu.
Wajah cantik dan angkuh terlihat jelas pada wajah Laura. Aura seorang Nyonya memang begitu kentara mampu membuat semua orang seakan tunduk hanya dengan tatapannya. Wanita berambut pirang alami dengan mata biru seperti Calvin itu berjalan penuh percaya diri menuju Andrea.
Andrea bangkit berdiri dan kemudian membungkuk untuk memberi hormat pada Laura. Wanita itu memandang Andrea sebentar lalu membuang mukanya dan duduk di hadapan Laura.
“Aku sudah tahu semuanya,” ujar Laura.
Andrea tidak dapat mengatakan apa-apa, dia juga bingung bagaimana harus menjelaskan hubungan rahasia yang tidak jelas antara dia dan Calvin.
“Aku tahu kalian menjalin hubungan lalu sering tidur bersama. Aku harap Calvin cukup pintar untuk membuat kalian menggunakan pengaman saat berhubungan,” lanjut Laura.
Andrea tertegun sebentar mengingat percintaannya dengan Calvin yang hampir tidak pernah menggunakan pengaman apa pun. Andrea juga tidak tahu kenapa dia tidak berpikir mengenai pengaman sebelumnya, menurutnya hubungan mereka tidak berdasar cinta sehingga tidak akan membuahkan hasil. Sebuah pemikiran yang bodoh dan tidak masuk akal.
Tapi itu terbukti karena setelah sekian lama hubungannya dengan Calvin berlangsung, Andrea tidak pernah hamil sama sekali. Dan mudah-mudahan saja tidak untuk waktu kedepannya.
Laura tampak marah, nafasnya tersengal untuk beberapa saat.
“Apa kamu berpacaran dengan Calvin?” tanya Laura.
Andrea menggeleng, “Saya hanya diminta untuk menemani Calvin—maksudku Pak Calvin tidur. Tidak ada perasaan seperti itu di hubungan kami,” jawab Andrea. Meski sakit saat mengucapkannya namun Andrea tahu itu adalah kebenarannya dan dia memang berniat untuk membuka semua kebenaran yang ada.
Laura mengangguk, “Baguslah kalau begitu.”
“Aku tahu kamu sudah mengajukan surat resign kamu,” ujar Laura.
Andrea mengangguk membenarkan.
“Bagus. Kamu cukup tahu diri ternyata. Calvin itu berbeda dengan kamu, status kalian berbeda. Aku ingin punya menantu yang dapat membahagiakan anakku, yang sama dengannya. Kau tidak masuk kriteria itu.” Laura menatap Andrea tajam.
“Kamu seperti balok persegi yang ingin masuk ke lubang persegi panjang. Terlihat seperti mungkin, namun kamu tidak akan cocok dan pas di sana,” lanjut Laura.
Andrea masih terdiam. Hatinya sakit, namun dia tidak punya keberanian melawan Nyonya-Nya itu.
“Aku ingin kamu meninggalkan Calvin. Aku tahu masa resignmu masih ada seminggu lagi tapi aku ingin kamu berhenti hari ini juga. Katakan apa yang kamu inginkan?” Laura melipat tangannya menunggu reaksi Andrea. Jujur saja dia ingin wanita itu mengamuk atau berteriak atau bersikap tidak sopan padanya namun yang terjadi adalah wanita muda ini hanya diam dan mengangguk pada semua omongannya.
“Aku punya satu permintaan, setelah itu aku akan meninggalkan Pak Calvin. Selamanya,” ujar Andrea.
Laura tersenyum miring, tentu saja wanita ini akan memanfaatkan keadaan yang ada. Mana ada manusia yang bisa menolak tawaran dari Laura.
***
Calvin masih lemah, kepalanya masih sakit karena dia kembali tidak bisa tidur dari semalam. Setelah Maminya pergi dan memasang banyak pengawal di luar apartemennya dia tidak bisa keluar dan lebih parahnya dia tidak bisa menghubungi Andrea.
Calvin terduduk di tepi kasur, termenung memikirkan Andrea. Pastilah Maminya akan mengancam Andrea bahkan mungkin akan menyakiti wanita itu. Calvin semakin gusar karena demamnya malah kembali lagi sehingga membuat keadaan tubuhnya semakin melemah.
Calvin tiba-tiba mendengar pintu apartemennya terbuka, dia menebak pasti Maminya telah kembali. Namun dia sangat terkejut melihat Andrea muncul dari balik pintu dan tersenyum lebar ke arahnya.
“Andrea?” Calvin tidak percaya pada penglihatannya.
Andrea tersenyum dan melebarkan tangannya, Calvin berdiri dan segera menuju Andrea lalu keduanya berpelukan dengan erat. Calvin begitu bahagia dia bisa melihat Andrea lagi bahkan kini memeluknya lagi, mencium bau harum yang biasa melekat pada Andrea.
“Kok kamu bisa ke sini? Mami—“
Kalimat Calvin terpotong karena Andrea sudah menciumnya di bibir. Gadis itu bergerak cepat dan menuntut, membuat lelaki itu cukup terkejut dalam ciuman mereka namun juga merasa senang.
Sambil terus berciuman, Andrea mendorong tubuh Calvin menuju kasur. Dia mendorong pelan tubuh Calvin di kasur dan kini menatapnya sambil berdiri.
“Apa kamu masih demam, Cal? Karena aku ingin kamu menyentuhku sekarang,” ujar Andrea pelan dan terkesan menggoda.
Calvin tersenyum lalu kembali menarik Andrea.
“I love you, Rea.”
***
“Aku lapar,” ujar Andrea yang saat ini berada dalam pelukan Calvin.
Keduanya dari tadi hanya terdiam, masing-masing dengan pikiran mereka yang berbeda. Hangat tubuh Calvin begitu dirasakan Andrea, mungkin karena lelaki itu masih demam.
“Kamu mau makan apa? Kita pesan saja,” ujar Calvin sambil tertawa.
Andrea menggeleng, dia lalu menghadapkan wajahnya ke wajah Calvin.
“Aku ingin makan mi instan,” ujar Andrea.
“Lalu?” tanya Calvin tidak mengerti.
“Aku mau pesan dulu tapi aku gak bawa hape. Pinjam hape kamu,” pinta Andrea.
“Sama, hape aku juga gak ada.” Calvin mengingat ponselnya yang disita Maminya kemarin. Para anak buahnya juga disingkirkan sementara.
“Ya sudah aku pergi beli dulu.” Andrea keluar dari selimut dan memungut bajunya lalu memakainya.
“Aku mau ikut,” ujar Calvin yang ikut bangkit dan memakai celananya.
Andrea berhenti sejenak dan memandang Calvin.
“Apa?” tanya Calvin.
“Tumben,” ujar Andrea lalu melanjutkan kegiatannya memakai baju.
Andrea bersama Calvin berjalan bersama menuju ke minimarket yang ada di dekat apartemen Calvin. Untuk pertama kalinya Calvin pergi ke area sekitar apartemennya itu.
“Ramai juga ternyata kalau sudah malam,” komentar Calvin.
Andrea mengulum senyum sambil terus berjalan. Sementara Calvin memandang sepasang kekasih yang berada di seberang jalan tengah berjalan sambil bergandengan tangan dan tertawa bersama. Calvin menatap tangannya lalu Andrea, Calvin juga ingin melakukan itu.
“Rea,” panggil Calvin.
Andrea menoleh ke belakang karena Calvin berhenti berjalan dan tengah menatap tangannya.
“Kenapa?” tanya Andrea.
“Aku juga ingin seperti itu.” Calvin menunjuk ke arah pasangan kekasih yang tadi dia lihat.
“Ingin apa?” tanya Andrea masih tidak mengerti.
“Ingin seperti itu. Bergandengan tangan,” ucap Calvin.
“Bergandengan seperti itu hanya untuk pasangan kekasih remaja, Cal.” Andrea tertawa kecil namun Calvin tidak mengubah ekspresinya.
“Kita ini bukan pasangan kekasih apalagi rema—“
Belum sempat Andrea menyelesaikan ucapannya, Calvin sudah lebih dulu mengambil tangannya dan menarik Andrea untuk berjalan.
“Calvin!” panggil Andrea.
Lelaki itu berhenti, menarik nafas panjang lalu berbalik menghadap Andrea. Dia sudah siap menjawab semua bantahan Andrea.
“Sakit. Pelan-pelan saja.”
Calvin cukup terkejut dengan reaksi Andrea, dia pikir Andrea akan protes karena Calvin menunjukkan kedekatan mereka di depan umum. Nyatanya wanita itu hanya melepas tangan mereka sebentar kemudian menggenggam lagi tangan Calvin dengan posisi yang lebih nyaman.
“Ayo!” Andrea tersenyum membuat hati Calvin menghangat.
“Ayo! Kamu mau apa? Sekalian minimarketnya aku beli,” ujar Calvin membuat Andrea tertawa.
Setelah kembali dari membeli beberapa camilan dan juga mi instan, Calvin dan Andrea kini sedang menikmati mi rebus mereka ditemani udara dingin malam dan langit yang gelap.
“Mi rebus dengan cuaca dingin malam memang tidak ada tandingannya,” ujar Andrea.
Jo hanya memperhatikan Andrea sambil menyeruput kuah mi rebusnya.
“Mi rebusnya juga enak banget kuahnya,” lanjut Andrea.
“Itu karena bumbu MSG-nya, Rea. Jangan keseringan makan,” ucap Calvin.
Andrea memajukan bibirnya lalu kembali menyeruput kuah mi rebusnya, tidak peduli pada apa yang dikatakan oleh Calvin.
“Rea, menurut kamu selain gandengan tangan, apa lagi yang biasanya dilakukan pasangan kekasih?” tanya Calvin.
Andrea berpikir sejenak, “Pertanyaan kamu kayak pertanyaan kuis televisi.”
Dia lalu tertawa namun mereda saat melihat Calvin yang menatapnya dengan serius.
“Kamu sudah serius untuk mencari kekasih? Sudah dimarahi Mami kamu ya?” tanya Andrea lagi.
Calvin mencebik, “Kamu bodoh atau pura-pura bodoh sebenarnya, hah?”
“Jahat sekali mengatai aku bodoh.” Andrea meletakkan mangkuknya di meja dengan kasar.
Calvin kembali menarik nafasnya panjang, “Maksudku, kamu. Kamu yang jadi pacar aku.”
Andrea terkejut lalu melirik Calvin tajam.
“Aku?” Andrea menunjuk dirinya sendiri.
“Jadi kekasih kamu?” lanjut Andrea.
Calvin mengangguk.
“Gak deh, makasih. Yang ada makan hati aku tiap hari ngadepin kamu dan Mami kamu itu.”Andrea mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
“Rea!”
“Lagian kamu mendingan nurut saja deh sama Mami kamu. Cari pasangan itu yang cocok sama kamu, yang cantik, yang baik, yang bisa ngurusin kamu—"
“Ya semua ada di kamu,” potong Calvin membuat Andrea terdiam.
“Yang pantas juga buat kamu, Cal. Aku ini hanya orang sementara yang singgah sebentar, main-main sama kamu dan ... pada akhirnya gak akan bisa bersama kamu,” ujar Andrea.
Calvin bangkit dari kursinya lalu berlutut di hadapan Andrea, “Kamu melewatkan satu hal, Rea. Calon istri aku juga harus orang yang bisa membuat aku nyaman. Dan aku jamin, gak ada yang bisa bikin aku nyaman selain kamu.”