8. Reuni dan Demam

2278 Words
“Selamat sore, Pak. Saya permisi pulang lebih dulu, terima kasih,” ucap Andrea yang sedang berpamitan pada Calvin karena dia pulang lebih awal. Calvin melihat Andrea sebentar lalu tersenyum dan mengangguk. “Have fun,” ujar Calvin tersenyum tapi senyumnya adalah senyum lemah. Andrea sebenarnya ingin menanyakan kondisi Calvin namun ponselnya sudah berdering dan nama Rangga muncul di layar ponsel itu. “Halo?” sapa Andrea, dia lalu menyambar tasnya dan memberi kode pada rekan kerjanya bahwa dia akan segera pergi. Dian dan Widia hanya dapat melambaikan tangannya pada Andrea yang hilang setelah masuk ke dalam lift. “Oh ya? Kamu di mana? Aku sudah di lobi,” ujar Andrea saat Rangga memberitahu bahwa dia berada di kantor Andrea untuk menjemputnya. Pandangan Andrea teralih pada sebuah mobil yang baru saja membunyikan klakson. Andrea mengenali mobil Rangga itu lalu berjalan menuju ke arah mobil itu. “Maaf, lama ya?” ujar Andrea. “Gak juga, aku baru saja sampai. Kita ke tempat beli bunga dulu ya,”ujar Rangga. Andrea mengangguk lalu dengan cepat menggunakan sabuk pengamannya. Andrea mengerjap sebentar saat dia menyadari bahwa Rangga tidak menjalankan mobilnya. Andrea malah mendapati lelaki itu sedang menatapnya sambil tersenyum. “Kenapa?” tanya Andrea. Rangga menggeleng, “Kamu cantik.” Andrea mengulum senyum karena pujian Rangga itu. “Sudah ayo jalan, bunganya gak mungkin bisa sampai sendiri,” ujar Andrea membuat keduanya kembali tertawa. “Lagian kok Bu Farida mau datangnya mepet banget sih?” tanya Andrea pada Rangga. Tujuan mereka pergi membeli bunga adalah karena salah seorang guru mereka tiba-tiba mengatakan bahwa beliau akan hadir ke acara itu meski tidak lama. “Mana aku tahu, aku saja baru dikabarin anak-anak kemarin,” jawab Rangga. "Bu Farida itu yang suka menghukum anak-anak kalau telat ‘kan?" Andrea mencoba mengingat sosok Guru mereka yang akan datang sebentar. “Iya, beliau ‘kan pengurus OSIS. Ya sudah pasti ada hubungannya sama kedisiplinan,” jawab Rangga. “Kamu juga sering telat dulu,” lanjut Rangga membuat Andrea malu. “Aku itu sering telat karena rumah aku jauh,” jawab Andrea. “Rumah jauh atau singgah beli bubur ayam dulu,” balas Rangga. Andrea cukup terkejut mendengar hal itu. “Kamu tahu dari mana aku suka singgah sarapan bubur ayam?” tanya Andrea. “Aku tahu banyak hal tentang kamu lagi, Re. Kamu saja yang gak pernah nyadar ada yang perhatian,” ujar Rangga lagi. Mereka sudah tiba di sebuah toko bunga. Keduanya turun dan melihat-lihat banyaknya bunga di toko itu. Meski tidak mengerti mengenai bunga, Andrea tetap saja senang ketika melihat banyak bunga yang cantik-cantik itu. “Mas, pesanannya sudah siap,” ujar seorang pelayan di toko itu. Rangga dan Andrea menuju ke meja kasir untuk melihat dan membayar bunga itu. “Kok ada dua bunganya? Guru mana lagi yang mau datang?” tanya Andrea setelah dia melihat ada dua buket bunga yang dibayar Rangga. “Yang satu untuk kamu,” ujar Rangga. Dia menyerahkan satu buket bunga pada Andrea. Mata Andrea berbinar saat menerima bunga itu. “Wah, ini cantik. Terima kasih,” ucap Andrea sambil tersenyum memandangi bunga yang diberikan Rangga itu. “Ayo, kita nanti gak keburu lihat final dekornya,” ajak Rangga. Andrea terus saja memandangi buket bunga yang baru saja dia terima itu. Warnanya kuning sayangnya Andrea tidak tahu jenis bunga apa ini dan apa artinya. Buat Andrea, bunga ini cantik dan dia suka. Apalagi yang memberikan bunga ini adalah Rangga. Rangga dan Andrea tiba di lokasi acara reuni mereka. Rangga langsung sibuk memeriksa begitu juga dengan Andrea yang sibuk memeriksa beberapa bagian seperti stok makanan yang akan mereka sediakan. Andrea memandang Rangga yang sedang berbicara dengan pembawa acara yang akan membantu membawakan acara mereka. Andrea dapat melihat bahwa lelaki itu tidak nyaman dengan dasinya karena dia terus menggerakkan dasinya. Perlahan Andrea berjalan mendekati mereka, dan tampaknya mereka juga sudah selesai berdiskusi. “Sudah selesai?” tanya Andrea. “Hanya tinggal mengecek pengisi acara. Teman-teman baru usul kalo nanti akan diadakan lomba nyanyi,” ujar Rangga sambil tertawa membuat dua lesung pipitnya yang berada di kedua sisi pipinya itu muncul. “Kamu tidak nyaman dengan dasi kamu ya?” tebak Andrea. Rangga menggaruk kepalanya sebentar. “Aku jarang pakai dasi atau pakaian formal seperti ini. Aku ini seorang programa, baju kerjaku ya baju tidurku. Kalau aku lepas yang ada aku nanti kebingungan cara pakainya lagi,” jelas Rangga lagi kembali membuat keduanya tertawa. “Cie yang udah akrab lagi saja.” Sebuah suara mengejutkan Andrea dan juga Rangga. Silvi, salah seorang teman mereka menjadi yang pertama muncul. “Hei, Vi.” Andrea memeluk singkat teman SMA-nya itu. “Yang lain belum pada datang? Wah gila, jam karet banget,” protes Silvi lagi. “Ya gitu deh. Paling bentar lagi kok,” ujar Rangga. “Ga,” panggil Andrea saat lelaki itu bersiap untuk memeriksa hal lainnya untuk acara mereka. “Lepas saja dasinya, nanti aku bantuin pasang lagi,” ujar Andrea. Rangga tersenyum, dengan segera dia menarik dasi itu sehingga terlepas dari ikatannya dan memberikan dasi itu pada Andrea. “Sekalian tolong simpan. Kalau sama aku bisa hilang,” ujar Rangga lalu kemudian berlalu ke sisi lain gedung itu. "Kamu pacaran dengan Rangga?” tanya Silvi. “Hah?” Andrea cukup terkejut mendengarnya. “Oh belum.” Silvi menyimpulkan sendiri tentang hubungan Rangga dan Andrea. “Kalian cocok tahu, apalagi sekarang. Kalian sangat cocok, bentar lagi kamu pasti ditembak itu, jangan diterima,” ujar Silvi. Andrea memandangnya heran, “Kok jangan diterima?” “Langsung minta dinikahi saja,” ujar Silvi lalu tertawa. “Eh bunga siapa nih?” tanya Silvi. “Oh itu—“ “Pasti bunga dari Rangga ya?” tebak Silvi. “Kok tahu?” tanya Andrea penasaran karena tebakan Silvi. “Ya iyalah, orang bunganya Akasia kuning,” jawab Silvi. “Memangnya kenapa kalau Akasia kuning?” tanya Andrea lagi, dia semakin penasaran. “Akasia kuning itu melambangkan perasaan cinta yang terpendam,” jawab Silvi. “Gini-gini gue belajar dunia bunga juga,” sambung Silvi. “Cinta yang terpendam ya,” ujar Andrea pelan. Sayangnya yang muncul di pikirannya bukanlah Rangga. *** “Rea! Di mana dasiku?” tanya Rangga setengah panik karena dia akan segera naik panggung untuk membawakan kata sambutan. Andrea segera merogoh dasi Rangga yang dia simpan di tasnya. “Mau aku pakaikan?” tanya Andrea. Rangga terdiam sejenak lalu mengangguk. Andrea lalu mengalungkan dasi itu ke leher Rangga dan mulai mengikatnya. Itu adalah hal gampang untuk Andrea yang bekerja sebagai sekretaris dan sekaligus teman Calvin, dia sudah mengikat dasi untuk lelaki itu lebih dari seribu kali. Yang Andrea tidak tahu adalah di saat dia begitu serius mengikat dasi Rangga, pria itu hampir tidak dapat bernafas karena wajah Andrea yang terlalu dekat dengan wajahnya. Wajah cantik Andrea kini berada di hadapannya dalam jarak yang dekat, itu cukup untuk membuat jantung Rangga berdebar dengan keras. “Sudah,” ucap Andrea ketika dasi itu sudah terpasang rapi menggantung di leher Rangga. Rangga tersenyum, “Terima kasih.” Lalu dia naik ke atas panggung. Acara dimulai dengan berdoa dan juga kata sambutan dari Rangga yang mantan ketua OSIS di angkatan mereka sekaligus ketua panitia untuk acara ini reuni mereka. Seperti biasa pria itu masih terlihat sangat berwibawa dan tampan dengan senyum manisnya. “Saya senang sekali bisa bertemu dengan kalian lagi dan semoga kalian senang bertemu kembali dengan saya dan teman-teman lainnya.” Suara tepuk tangan mengiringi langkah Rangga yang turun panggung. Andrea yang melihat hal itu juga ikut memberikan tepuk tangan. Dia duduk sengaja menjauh dari kerumunan yang berpusat di depan panggung. Selain karena Andrea menunggu Widia, dia juga tidak terlalu akrab dengan teman-teman yang lainnya. Rangga turun dari panggung sambil mencari keberadaan Andrea, ternyata wanita itu berada di meja bagian belakang. Dengan cepat dia menuju ke arah Andrea membuat beberapa orang mengikuti perjalanannya dan mengulum senyum melihat hal itu. “Kenapa duduk di belakang?” sapa Rangga, dia lalu mengambil tempat duduk di samping Andrea yang duduk di meja bulat. “Nungguin Widia sama gak terlalu akrab sama yang lain,” ujar Andrea pelan dan selalu jujur. Rangga tertawa mendengar jawaban Andrea yang terlalu jujur itu. “Kamu punya acara akhir minggu ini?” tanya Rangga. Andrea mengangguk, “Kalau akhir pekan biasanya aku libur tapi itu juga tergantung jadwal bos aku.” Rangga mengangguk. Tiba-tiba mata Andrea dapat melihat sosok Widia yang baru datang, Andrea melirik jam tangannya. “Lama amat. Kamu telat satu jam,” ujar Andrea. “Iya, bos tadi demam tinggi dan harus nunggu pengawalnya datang dulu buat bawa dia balik,” jelas Widia. “Dia dibawa ke mana?” tanya Andrea penasaran. Dalam hati dia merasa kesal karena Calvin yang tidak mau menurutinya untuk beristirahat dan tidak pergi bekerja tadi pagi. “Ke apartemen dia,” jawab Widia. “Dia sendiri di apartemen dia?” tanya Andrea lagi. Widia mengangkat bahu, “Mana aku tahu, kamu tahu sendiri gak ada yang bisa masuk ke apartemennya. Mamanya saja jarang ke sana.” “Kamu udah panggil dokter?” tanya Andrea lagi. Kali ini Widia memandangnya dengan tatapan aneh dan juga menyelidik. “Dia tidak menyuruhku untuk menelepon dokter. Lagian kamu kenapa peduli sekali sih sama dia?” ujar Widia. “Aku pulang.” Andrea bangkit dan menarik tasnya lalu berjalan pergi menghiraukan panggilan dari Rangga dan juga Widia yang kaget karena kepergiannya yang tiba-tiba. *** Andrea meletakkan kartu aksesnya untuk memasuki apartemen Calvin, entah mengapa dia merasa gusar sekarang. Dia marah karena lelaki itu tidak mendengarkan kata-katanya tadi pagi dan membuat dirinya sendiri sakit. Andrea memasukkan nomor sandi untuk memasuki apartemen Calvin dan menemukan apartemen itu sangat sunyi. Calvin memang tinggal sendirian, tapi biasanya lelaki itu akan menyalakan musik klasik yang suaranya samar untuk membuat keadaan tidak terlalu sunyi. Andrea melangkah menuju kamar Calvin yang hanya mempunyai sumber cahaya dari lampu tidur di samping tempat tidurnya. Andrea dapat melihat tubuh Calvin yang berbaring menyamping membelakanginya tengah meringkuk di dalam selimut. Andrea semakin mendekat dan dapat melihat wajah Calvin yang berkeringat dengan tubuh yang bergetar mengigil. Wajah Calvin terlihat tidak tenang dalam tidurnya ditambah dengan kulit wajahnya yang memucat dan hidung yang memerah. Tangan Andrea bergerak menyentuh dahi Calvin membuat pria itu tersentak kaget namun kembali tenang saat melihat Andrea di hadapannya. “Jam berapa ini?” tanya Calvin lemah. “Jam 8,” jawab Andrea. Mata Calvin kembali menatap Andrea yang memandangnya dengan tatapan khawatir. Tatapan itu malah membuat hati Calvin menghangat merasa senang karena diperhatikan oleh Andrea. “Kok cepat sekali pulangnya?” tanya Calvin lagi. “Aku langsung kemari waktu Widia bilang kamu demam dan harus pulang dengan pengawal,” jawab Andrea. “Mau ku panggilkan dokter?” tanya Andrea. Calvin menggeleng, dia malah menarik tangan Andrea dan memeluk tangan itu. “Begini saja. Sudah cukup,” ujar Calvin. “Badan kamu panas sekali, Cal.” Andrea mencebik. Calvin terdiam, dia malah terlihat menikmati memeluk lengan Andrea. “Sebentar.” Andrea menarik tangannya dan bangkit dari tempat tidur. Andrea menuju dapur untuk melihat kotak P3K yang dia beli sebelumnya. Benar saja, Andrea berhasil menemukan sebuah termometer di sana. “Kamu lagi apa?” Sosok Calvin yang tiba-tiba ada di belakangnya membuat Andrea kaget. “Kamu ngapain ke sini? Sana pergi tidur sana, aku mau nyari obat dulu,” ujar Andrea. Calvin cemberut, dengan langkah gontai dia kembali menuju ke tempat tidur. “Ini.” Andrea mengarahkan termometer itu ke mulut Calvin. “Apa ini?” tanya Calvin. “Termometer, aku harus tahu suhu tubuh kamu sekarang,” jawab Andrea. Calvin mengikuti perintah Andrea, dia memasukkan termometer itu ke mulutnya. Menahan sebentar sampai termometer itu berbunyi. “Pasti demam karena kamu hujan-hujanan kemarin,” ujar Andrea. Calvin memandang wanita di hadapannya yang tengah merasa bersalah ini. Baru akan mengatakan sesuatu, termometer itu akhirnya berbunyi. Andrea segera menarik alat itu dari mulut Calvin dan melihat angka yang muncul dilayar termometer itu. “Kamu demam,” ujar Andrea. Andrea kembali memandang ke arah Calvin. “Sekarang buka dulu bajunya,” ujar Andrea lagi. Calvin kaget, “Andrea, aku lagi sakit. Kita tidak bisa—“ “Siapa juga yang akan berbuat hal itu di situasi begini?” Andrea memutar bola matanya. “Aku ingin mengelap tubuh kamu, itu biasa dilakukan untuk meredakan demamnya,” ujar Andrea. Calvin mengangguk-anggukkan kepalanya dengan mulut yang membentuk huruf O tanpa suara. “Kamu sudah makan malam?” tanya Andrea. Calvin menggeleng, “Kepala aku sakit banget, jadi pas pulang tadi langsung tidur.” “Ya sudah, aku buat bubur dulu sambil pesan obat untuk kamu. Kamu istirahat sebentar, nanti aku buatkan teh herbal,” ujar Andrea. Dia lalu pergi meninggalkan Calvin di kamar dan kembali ke dapur untuk membuat bubur. Dia juga memesan obat dengan bantuan aplikasi ponsel pintarnya sehingga kini mereka hanya tinggal menunggu obat itu datang. Andrea meraih kabinet di dapur mini di apartemen Calvin untuk mencari teh herbal. Calvin adalah orang yang sangat mencintai kopi begitu juga dengan Andrea. Namun ternyata keputusan Andrea untuk membeli teh ternyata berguna sekarang. Andrea kembali masuk ke kamar Calvin dan menemukan lelaki itu sedang merebahkan badannya di atas kasur dengan bantal yang disusun. Matanya terbuka karena mendengar langkah kaki Andrea yang masuk. “Ini, minum dulu teh herbalnya,” ujar Abel sambil meletakkan cangkir teh itu di nakas samping kasur. Dia lalu pergi menuju lemari mengambil piamanya dan mengganti bajunya. Gaun yang dia beli dengan harga mahal itu nyatanya dipakai tidak sampai 3 jam, Andrea jadi menyesal membeli gaun itu. Dia berbalik dan menemukan Calvin tengah menatapnya. “Kenapa?” tanya Andrea setelah selesai mengganti baju. Dia memang mengganti bajunya di depan lemari bukannya di kamar ganti atau kamar mandi sehingga Calvin dapat melihatnya. Calvin menggeleng, “Kamu terlihat seperti seorang istri.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD