7. Hari Hampir Sempurna

2204 Words
Calvin terbangun dengan hati yang riang, malamnya berjalan dengan menyenangkan dan sempurna. Pagi harinya dia bangun dengan keadaan Andrea masih berada di pelukannya, kurang sempurna apa harinya? Jika bukan karena kebutuhan mendesaknya untuk ke kamar mandi maka Calvin masih akan bertahan di bawah selimut di atas ranjangnya bersama Andrea. Dia bahkan rela jika terlambat ke kantor. Calvin pelan-pelan menarik tangannya yang dijadikan bantal oleh Andrea, tentunya tidak seperti di film-film Calvin merasa tangannya begitu kebas sekarang tapi dia tidak keberatan. Dia kembali memandang Andrea yang tampak sangat cantik walau sedang tidur dengan mulut sedikit terbuka itu. Setelah itu dia segera pergi ke kamar mandi dan menyelesaikan urusannya di sana. Setelah menyelesaikan urusan paginya, Calvin hendak cuci tangannya namun aktivitasnya berhenti saat dia memandang kembali gelang pemberian Andrea semalam. Dia tahu itu mungkin harganya sangat murah, tapi Calvin merasa gelang ini berharga karena Andrea. Calvin masih tersenyum memandang gelang itu saat tiba-tiba pintu kamar mandi diketok dari luar. “Calvin, kamu masih lama di dalam?” tanya Andrea. Calvin tidak menjawab dia lalu segera membuka pintu dan menemukan Andrea sudah berada di depan pintu sambil tangannya memegang perutnya. Calvin tersenyum kecil saat Andrea dengan sedikit memaksa membuat Calvin segera keluar dari kamar mandi itu. Calvin menuju ke dapur hanya untuk menyalakan mesin kopi dan membuat kopi. Masih terlalu pagi untuk bersiap sebenarnya karena itu dia memutuskan untuk duduk di balkon apartemennya menikmati cuaca pagi yang mendung dengan langit abu-abu. Sepertinya langit tidak tahu bahwa hati Calvin sedang cerah. Indra penciuman Calvin dapat menangkap aroma manis yang sepertinya berasal dari dapur apartemennya. Dengan membawa cangkir kopi, Calvin menemukan Andrea tengah menaruh adonan di mesin waffle. “Kamu dapat dari mana mesin waffle-nya?” tanya Calvin. “Aku beli. Kamu harus sarapan, Cal. Jangan hanya minum kopi saja,” jawab Andrea. “Kalau kamu yang masak sarapannya, aku pasti makan,” ucap Calvin. Dia berjalan mendekati Andrea yang masih menunggu lampu mesin waffle itu berubah menjadi hijau. Dagunya diletakkan di bahu Andrea. “Kamu wangi sekali,” ujar Calvin. “Aku hanya cuci muka,” jawab Andrea. “Kamu mandi sana,” lanjut Andrea. Tidak disangka, Calvin meletakkan cangkir kopinya dan kemudian melingkarkan tangannya yang kekar ke pinggang ramping Andrea. Matanya terpejam dan senyumnya muncul kembali. “Kamu kenapa? Aneh sekali,” ucap Andrea. “Aneh bagaimana?” tanya Calvin. “Kamu banyak tersenyum dari semalam,” jawab Andrea. “Memangnya aku tidak boleh tersenyum?” tanya Calvin lagi. “Boleh. Hanya saja kamu terlalu manis kalau sedang tersenyum,” jawab Andrea membuat Calvin tertawa. “Kamu bisa menggoda seperti ini belajar di mana?” Andrea tidak menjawab, dia malah melepas pelukan Calvin dan kemudian mendorongnya kembali menuju ke kamar mandi. “Baju kamu udah aku siapkan. Cepat mandi dan sarapan,” perintah Andrea. Calvin tidak suka disuruh atau diperintah namun kali ini dia dengan senang hati menuruti semua perintah Andrea. Dia ingin menyenangkan hati Andrea lagi, ingin selalu mengukir senyum di bibir ranum itu, ingin menjadi alasan bahagia Andrea. *** Hari yang menurut Calvin sempurna itu berbanding terbalik dengan hari Andrea. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman berada di dekat Calvin apalagi ketika mereka berada di tengah kerumunan orang. Seperti saat ini, rasanya Andrea dapat merasa tatapan penuh penghujatan yang tajam mengarah kepadanya. Andrea bukan tidak mendengar bahwa kabar mengenai dirinya dan Calvin di lift kemarin dengan cepat menyebar dan si penyebar juga sudah dipecat. Tapi bagaikan api, gosip itu sudah menjalar dan kini menyebabkan Andrea kepanasan sendiri. “Aku makan di atas saja,” ujar Andrea pada Widia dan Dian. Ketiganya sedang berada di kantin untuk makan siang. “Kenapa?” tanya Dian. Widia kemudian menyenggol lengan Dian, memberi kode pada rekan kerjanya itu untuk dapat melihat sekitar. “Gara-gara gosip itu ya?” tanya Dian dengan nada berbisik. Andrea memilih diam saja. “Lagian Andrea pasti menangis hari itu karena dimarahi Pak Calvin. Orang itu ‘kan memang begitu, kejam, dingin, cuek, untung saja tampan,” ujar Dian lagi kemudian terkekeh sendiri. “Sudah jangan dipikirkan terus. Mereka ‘kan tidak tahu kebenarannya, abaikan saja. Ayo makan,” bujuk Widia. “Aku sudah tidak selera,” ujar Andrea dengan ketus kemudian berdiri dan pergi dari kantin bersamaan dengan tatapan tajam yang mengiringinya dan suara berbisik yang riuh di belakangnya. Tidak makan siang membuat Andrea sekarang kesusahan sendiri, sepertinya asam lambungnya naik. Dan diperparah dengan ternyata ini hari pertamanya kedatangan tamu bulanannya. Dia merintih kesakitan di dalam toilet. Tiba-tiba saja ponselnya berdenting menandakan ada pesan masuk, Andrea membuka pesan itu dan membaca pesan itu. Calvin mengirimkan pesan bahwa hari ini dia akan lembur dan meminta satu sekretarisnya untuk tinggal. Baru saja Andrea ingin membalas, Dian dan Widia sudah lebih dulu membalas bahwa mereka tidak bisa karena sudah ada janji. “Dasar pengkhianat!” maki Andrea. Mereka pasti lari dari tugas itu, dan tidak lama kemudian Calvin malah menyetujui alasan kedua rekannya itu yang berarti dia harus lembur bersama dengan Calvin. “Mampus! Gosipnya pasti makin panas besok,” ujar Andrea pelan. Dengan langkah gontai karena menahan sakit di bagian perutnya, Andrea kembali ke tempatnya. Dia sempat melirik sebentar ke dalam ruangan Calvin dan menemukan lelaki itu sedang sibuk bekerja dan sangat fokus, khas Calvin sekali. Andrea terduduk di kursinya, masih ada setengah jam lagi sebelum makan malam. Karena itu dia segera menghubungi koki pribadi Calvin untuk memesan makan malam Calvin. Setelah selesai memesan makanan itu, Andrea meletakkan kepalanya ke meja sambil memegang perutnya yang semakin sakit. “Andrea!!” Teriakan Calvin menyadarkan Andrea yang sedang merasa kesakitan sampai tertidur. Wajah Calvin tampak panik saat melihat wajah Andrea yang pucat. “Kamu sakit?” tanya Calvin. Matanya melirik ke arah Andrea yang sedang memegangi perutnya. Andrea menggeleng pelan, “Hanya sakit karena sedang datang bulan.” “Kamu pucat sekali,” ujar Calvin. Andrea tidak bereaksi apa-apa selain meringis kesakitan. Perutnya semakin melilit. “Sebentar saya carikan obat dulu.” Andrea ingin mencegah langkah Calvin namun lelaki itu sudah berlari menuju lift dan turun ke lantai bawah. Sialnya, dia tidak menemukan satpam di sana. “Ke mana mereka semua? Kenapa tidak ada saat jam kerja? Akan ku pecat nanti,” ujar Calvin di tengah kepanikannya. Calvin memang sengaja menyuruh semua pengawalnya pulang setelah tahu Andrea yang akan menemaninya lembur malam ini. Tentu saja itu karena dia ingin berduaan saja dengan Andrea. Tapi kini itu malah menjadi malapetakanya. Hujan turun semakin deras dan Calvin baru ingat kalau di sebarang jalan sana ada sebuah apotek yang mungkin saja menjual obat untuk mengobati sakit perut Andrea. Tanpa pikir panjang, Calvin menerobos derasnya hujan yang langsung membuatnya basah kuyup. Ternyata letak apotek itu tidak sedekat yang Calvin bayangkan, dia harus berjalan sedikit lebih jauh. Setelah memberitahu petugas di sana, akhirnya Calvin mendapatkan obat untuk Andrea. Segara setelah itu, Calvin kembali berlari menuju kantornya. “Bapak? Kenapa hujan-hujanan?” tanya si satpam ketika Calvin terlihat kembali dari apotek. Calvin menatapnya dengan tatapan marah. “Kamu dari mana saja? Kenapa tidak jaga?” bentak Calvin. “Sa-saya dari kamar kecil, Pak.” Satpam itu terbata-bata menjawab pertanyaan Calvin. “Besok, kamu temui HRD!” Calvin kembali berlalu dan berjalan cepat menuju ke ruangannya. Andrea masih dengan posisi yang sama. Calvin berlari mendekatinya. “Ini obatnya. Minum dulu,” ujar Calvin. Andrea terkejut setelah melihat Calvin berdiri di hadapannya dengan keadaan basah kuyup. Tangannya menggenggam sesuatu. “Kamu dari mana? Kenapa basah kuyup begini?” Andrea mencoba berdiri namun ditahan oleh Calvin. “Kamu sudah makan?” tanya Calvin. Andrea menggeleng. “Dari tadi siang kamu belum makan?” tanya Calvin lagi. Andrea tidak menjawab membuat Calvin frustrasi. “Memangnya gaji kamu kurang jadi tidak bisa beli makan siang? Atau kantin kantor ini kekurangan makanan?” tanya Calvin semakin frustrasi. Andrea masih diam, rasa sakitnya membuat dia tidak mampu menjawab apa pun pertanyaan Calvin dan membiarkan pria itu memarahinya karena melewatkan makan siangnya. Telepon intercom di meja Andrea kembali berbunyi membuat Calvin dan Andrea langsung mengarahkan pandangan mereka ke arah benda itu. “Nona Andrea, makan malam untuk tuan sudah selesai. Tolong disiapkan tempatnya. “Segera bawa ke sini,” jawab Andrea dengan pelan. Dia kemudian bangkit berdiri bersiap untuk menyiapkan makan malam untuk Calvin. Calvin dengan cepat menahan tangan Andrea. “Biar nanti mereka saja yang siapkan, kamu istirahat sana di ruanganku,” ujar Calvin. Andrea menggeleng. “Jangan! Yang ada gosipnya akan semakin berkembang,” ujar Andrea. Calvin menatap Andrea dengan tatapan bingung. “Peristiwa kita di lift menyebabkan gosip panas di kantor ini. Aku tidak tahan harus melihat tatapan menghina mereka itu,” ujar Andrea. Calvin masih diam, akhirnya dia dapat menyimpulkan apa yang sedang terjadi. “Itu alasan kamu melewatkan makan siang? Karena tidak nyaman dengan orang lain?” tanya Calvin. Andrea menutup matanya, tahu bahwa dia sudah salah bicara. “Akan kucari tahu besok. Sekarang masuk dan istirahat di dalam sana. Kita makan malam bersama lalu pulang,” perintah Calvin. Calvin menarik Andrea menuju ke ruangannya dan menyuruh wanita itu duduk di sofanya. Dia kemudian menuju ke ruangan pribadinya yang terletak di bagian belakang ruangannya itu. Calvin ingin mencari bajunya namun sayang dia tidak menemukan satu pun baju ganti. “Rea, bajuku di kantor sudah habis?” tanya Calvin. “Ah, maaf aku lupa untuk mengisinya lagi,” ujar Andrea. Calvin mendesah berat, dia ingin marah tapi tidak bisa. Jadi dia menutup kembali lemari dan ruangan itu lalu kembali duduk di samping Andrea. “Jangan pedulikan orang lain, Rea. Kamu akan lelah hanya karena pandangan orang lain," ujar Calvin. Tiba-tiba bunyi ketukan pintu memecahkan keheningan mereka. Andrea hendak berdiri namun dicegah oleh Calvin. Pria itu membuka pintu namun hanya mengeluarkan kepalanya. “Maaf tuan, saya membawakan makan malam untuk tuan,” ujar pelayan itu. “Taruh di situ saja,” ujar Calvin menunjuk ke arah meja di dekat tempat sekretarisnya. Pelayan itu tampak terkejut dan heran. “Aku sedang tidak pakai celana, mana mungkin aku suruh kamu untuk masuk ke dalam,” ujar Calvin. Andrea mengulum senyum mendengar alasan konyol Calvin itu. “Ba-baik tuan.” Pelayan itu menuruti perintah Calvin. Setelah meletakan makanan itu dia segera pamit pergi. “Terima kasih,” ujar Calvin membuat pelayan itu semakin terkejut dan heran. Bagaimana mungkin atasan yang biasanya bersikap dingin dan kejam itu mengucapkan terima kasih padanya. Setelah pelayan itu pergi, Calvin dengan cepat membawa makanan itu dan menyerahkannya pada Andrea. “Makan dulu, baru minum obat,” ujar Calvin. “Kamu?” tanya Andrea setelah melihat makanan itu hanya untuk porsi satu orang. “Suapi aku beberapa sendok saja,” ucap Calvin. “Suapi?” Andrea berusaha mengulang kata asing yang dia dengar dari Calvin. Calvin menyandarkan pipinya pada tangannya yang tertopang di kepala sofa dan tersenyum. Andrea kemudian mulai makan, Calvin menatap Andrea dengan bahagia ketika melihat wanita itu makan dengan lahap. “Kamu mau?” tawar Andrea. Calvin mengangguk. Andrea lalu menyuapi Calvin membuat pria itu tersenyum semakin lama. “Kenapa senyum-senyum?” tanya Andrea. “Kamu terlihat cantik kalau sedang makan,” jawab Calvin. Andrea terkejut memandang heran ke arah Calvin. “Kamu semakin aneh. Kamu sadar gak?” tanya Andrea. Calvin menggeleng sambil tetap mengunyah. *** “Hachhyu!!!” Andrea kembali terkejut setelah mendengar Calvin yang semakin sering bersin. Dia kemudian memutuskan untuk menghampiri lelaki tersebut. “Kamu sakit?” tanya Andrea setelah melihat Calvin mengeluarkan lendir dari hidungnya menggunakan sapu tangan. “Cuma flu biasa,” jawab Calvin. Pria itu tetap melanjutkan kegiatannya untuk bersiap pergi ke kantor hari ini. Andrea mendekatinya membuat Calvin terkejut karena kini wanita itu berdiri tepat di hadapannya. “Sini!” Andrea menarik tubuh Calvin agar sedikit membungkuk dan meletakkan telapak tangannya di dahi Calvin. “Kamu panas, sepertinya kamu demam. Mending gak usah ke kantor,” ujar Andrea. Calvin malah tertawa sambil menepis tangan Andrea. “Sudah, berhenti jadi dokternya dan cepat siap-siap. Aku tidak mau terlambat,” ujar Calvin. “Hari ini aku izin pulang lebih awal ya?” pinta Andrea. “Memangnya kenapa?” tanya Calvin. Tidak biasanya Andrea meminta izin pulang lebih awal. “Aku ‘kan ada reuni, ingat? Aku diminta datang lebih awal untuk mengecek dekorasi,” jawab Andrea. Calvin terdiam sejenak, dia mulai membayangkan Andrea bersama dengan lelaki dari masa SMA-nya itu. “Kalau aku melarang kamu pergi, boleh?” tanya Calvin lagi, kali ini dengan lebih hati-hati. Dia tidak ingin bertengkar dengan Andrea lagi. Andrea menggeleng. “Aku sudah menunggu momen ini selama lima tahun,” jawab Andrea. Calvin menghembuskan nafas pasrah, dia mendekati Andrea lagi dan menyandarkan dadanya ke punggung Andrea. Calvin menaruh dagunya ke kepala Andrea. “Tapi pulang ke sini ya? Temani aku tidur,” pinta Calvin. “Lihat nanti oke? Aku bisa saja terlalu bersenang-senang sebentar malam,” ujar Andrea sambil tersenyum menggoda. *** Suasana sedang ramai-ramainya, Andrea menyapa beberapa orang yang dia kenal dulu. Rangga, pria itu duduk di samping Andrea hanya saja dia lebih ramah menyapa orang karena dulu adalah orang yang populer. Mata Andrea menangkap Widia yang baru saja datang. Karena Andrea pergi lebih dulu, terpaksa Widia lebih lama karena menunggu Calvin pulang. “Lama amat,” ucap Andrea begitu Widia ikut bergabung bersama dia dan Rangga. “Iya, bos tadi demam tinggi dan harus menunggu pengawalnya datang dulu buat bawa dia balik,” jelas Widia. Mata Andrea membalak, “Aku pulang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD