2

1227 Words
Mungkin inilah saat yang tepat bagi Clay untuk segera undur diri. Berdiri di hadapan sang bangsawan, Sin, sang pangeran elixer yang tiba-tiba saja muncul di saat Clay dan Tusk tengah berdebat sengit. Bangsawan itu benar-benar terkejut ketika semburat biru menyeruak dan menghadirkan Sin di antara Clay dan Tusk. Clay tidak peduli pada penjelasan perihal kemunculan Sin. Satu-satunya yang membuat Clay miris hanyalah wajah sang pangeran yang, menurut Clay secara pribadi, luar biasa menyeramkan.  Baiklah, Clay mungkin hiperbolis, secara wajah pangeran itu memang selalu mengeluarkan aura intimidasi; setiap elixer pria pasti akan merasa kecil hati jika berada di dekat Sin, sementara elixer wanita akan langsung bertekuk lutut di hadapan pangeran itu. Wajah tampan, keturunan raja, dan rambut perak indah yang panjang menjun.... “Tunggu,” kata Clay. “Ada apa dengan rambutmu?” Sin menepis tangan Tusk yang ingin membantu sang pangeran melangkah. Nampak darah kering di ujung bibir Sin. Tanda bahwa pangeran itu telah berkelahi dengan seseorang.  “Aku tidak mengerti,” kata Sin. “Aku benar-benar tidak bisa memahami semua ini.” “Sin,” kata Tusk. “Bukankah dirimu diterima Rea? Aku dan Clay, kami berdua terlempar keluar.” Clay mengangguk. “Kau sangat beruntung.” “Aku bertemu Ringga.” Sunyi. Clay dan Tusk tidak mampu berucap. Mereka berdua saling menatap, kemudian Tusk pun bertanya, “Kau yakin?” “Bocah itu ada di sana. Bersama fana yang kucari.” “Jadi mereka berdua saling mengenal,” simpul Clay. Tusk tidak pernah bisa memahami Clay, bangsawan itu benar-benar paham cara menuang minyak di atas api. Mengagumkan elixer semacam Clay bisa bertahan hidup hingga saat ini. Tusk curiga, Clay memiliki sejumlah kemampuan minor yang lain; mungkin membuat Ibu Suri kesal, oh tunggu, Ibu Suri memang tidak pernah menyukai elixer lainnya.  “Kacau!” erang Sin. Pangeran itu menendang kerikil yang ada di dekat kakinya. “Aku tidak mengerti, semua ini ... tanda raja yang seharusnya ada di sana. Sial! Aku membenci semua mahluk suci itu.” “Sin,” ucap Tusk menenangkan, “kau tidak boleh melaknat pelayan dewa. Bahkan Kaisar Ruthven pun—” “Terlebih dia,” desis Sin. “Andai pria itu tidak menyembunyikan hal sebesar itu dari para penerusnya, mungkin aku tidak perlu bersusah payah dari satu praktisi sihir ke praktisi lain. Bahkan aku sudah lelah dengan pencarian ini. Andai saja aku tidak perlu mencari tanda itu maka—” “Maka kau tidak akan bertemu gadis itu,” potong Clay. Diam. Sin menatap sang bangsawan berambut hitam. Dengan tenang Clay menjelaskan, “Ayolah, setidaknya kau menemukan hal baik. Maksudku ... gadis itu. Bukankah dia cukup menghibur?” Lagi-lagi, Tusk dibuat tercengang. Bangsawan itu mungkin tidak pandai memilah kata-kata, namun dia cukup bijak untuk mengatakan hal yang bisa menyenangkan Sin. Bagus. Tusk sependapat dengan Clay, tidak ada segala hal yang benar-benar buruk. “Benar,” aku Sin. “Setidaknya aku berjumpa dengannya.” “Lalu,” tanya Tusk, “di mana dia?” Sin menghela napas. Dia mulai menyisir rambutnya dengan jemari. “Aku tidak bisa mengambilnya, Ringga, bocah itu ... aku membencinya!” “Tenanglah Sin, kau pasti bisa bertemu dengannya lagi?” Sin menatap Tusk. Meminta kepastian. “Aku yakin,” jawab Tusk. “Nah,” seru Clay. “Kita bisa memikirkan langkah selanjutnya di rumahku. Dan aku rasa pangeran kita perlu merapikan rambut.” *** Sekuat tenaga Ringga berusaha melindungi Aria. Pemuda itu terus mendekap Aria dan tidak membiarkan tangan tak kasat mata merebut gadis itu dari dalam lindungannya. Rasa panas seperti menyelimuti Ringga, menekan bahu dan punggung sang pemuda.  Pemuda itu tidak berani membuka mata. Dia hanya menunduk dan berusaha menekan rasa sakit yang berdenyut di bagian belakang kepala.  Hingga akhirnya dia mendengar suara seseorang, “Ringga, kau baik-baik saja?” Ringga bersimpuh di atas tanah, sementara Aria masih tak sadarkan diri di pangkuan Ringga. Kedua mata yang biasa melirik Ringga dengan tanya yang tak terjawab itu kini menutup sempurna. Ringga bisa melihat ada sesuatu yang aneh; tanda berwarna biru muncul di sekitar kening dan pelipis Aria. Tanda berbentuk aluran tanaman. Tanda yang asing. Dan apa pun arti dari tanda itu, Ringga yakin Aria tengah sekarat. Mengabaikan pertanyaan Mir, Ringga menepuk pelan pipi Aria. “Bangun,” katanya. “Aku mohon, bangun.” Miris, Amara menyentuh bahu Ringga. “Dia....” “Masih hidup,” salak Ringga. Dia tidak akan membiarkan malapetaka menimpa Aria. Tidak akan. “Aku yakin. Kita harus mencari bantuan. Kita harus ... Mir, lakukan sesuatu!” Mir menggelengkan kepala. Menolak.  “Kenapa?” Ringga mendekap erat Aria, seolah raga itu akan lenyap saat itu juga. “Ada apa dengan kalian berdua ini?” “Dia berbahaya,” ungkap Amara. “Dia adalah—” “Aku tidak peduli dia ini siapa,” potong Ringga. “Aku berjanji akan melindunginya. Namun ... sekarang....” Suara Ringga semakin lirih seiring dengan hawa dingin yang dirasakan Ringga. “Aku mohon ... selamatkan Aria.” Tidak tahan melihat penderitaan Ringga, Mir pun berkata, “Aku tidak bisa menolong gadis itu. Tapi kau bisa.” “Bagaimana?” “Kembalilah ke kerajaan manusia sebagai pewaris.” “Mir!” seru Amara. “Kau gila.” Mir menatap adik perempuannya, kukuh. “Di sana ada seorang gadis yang bisa menyelamatkan Aria. Jika Ringga kembali ke sana dan bersedia menerima takhta fana, maka ia....” “Akan langsung berhadapan dengan Baginda Lion,” sela Amara. “Luar biasa. Bukan hanya itu, dia juga akan berhadapan dengan Sin dan Ibu Suri. Mir! Kita bahkan belum bertemu dengan elixer lain yang bersedia bersumpah setiap pada Ringga.” “Memang itu rencana awalnya,” ungkap Mir. “Menjadikan Ringga sebagai sang raja dan menyingkirkan ratu tua dan kleniknya dari istana besar. Kau bisa lihat sendiri, gadis itu dalam tahap perubahan. Sudah takdirnya untuk meneruskan garis pelayan sang dewi malam. Tanda di keningnya sudah mulai muncul dan jika kita tidak segera membawanya ke istana fana, maka ia....” “Aku akan ke sana.” Mir dan Amara menoleh ke arah Ringga.  Pemuda itu bangkit sembari menggendong Aria. “Ringga....” “Amara, aku tahu apa yang harus aku lakukan.” “Gadis itu akan membawa petaka.” Amara menghampiri Ringga, menatap langsung ke kedua mata Ringga yang berwarna hijau. “Apa kau masih menginginkan sesuatu yang bisa menghancurkanmu? Apa kau ingin seperti Kaisar Ruthven? Berikan saja dia pada Sin. Biarakan Sin yang memilikinya.” “Kaisar Ruthven memilih cintanya. Lalu untuk apa aku takut dengan hal semacam itu? Sin? Amara, dia hanya akan menjadikan Aria sebagai b***k, tidak lebih.” “Ringga, aku sudah memperingatkanmu.” Mir bisa melihat kesungguhan di kedua mata Ringga, dan pemuda itu yakin Ringga tidak akan bisa dipukul mundur. “Amara, biarkan dia menolong gadis itu.” “Tapi dia....” “Biarkan waktu yang menjawab keputusan Ringga.” Amara mendengus kesal. “Aku akan mengabari Nihuar.”  Elixer itu berbalik pergi dan segera menunggang kuda meninggalkan Mir dan Ringga. Gadis itu bahkan tidak menoleh ke belakang. Jelas, dia sangat murka. Mir menghela napas. “Maafkanlah adikku.” Ringga menggeleng. “Tidak, aku bisa sedikit mengerti rasa khawatirnya. Tapi ada satu hal yang masih belum bisa aku pahami. Ada apa dengan Aria? Kenapa?” “Ringga, aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Mungkin gadis fana yang ada di istana itu bisa menolongmu.” Menatap wajah pasrah Mir, kemudian pada wajah Aria. Ringga merasa dia tengah melangkah ke sebuah jalan berliku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD