Baru saja melangkah, ia langsung berhenti. Mengerutkan dahi melihat ke bawah.
Bukannya memakai sepatu dengan hak tinggi, ia malah masih memakai sandal rumah dengan hiasan hello kitty di atasnya.
“Great, Diana!” desisnya geram. Jelas sudah jika ia tidak memakai sepatu dengan hak tinggi membuat ia terlihat sekali pendeknya.
Diana menghirup nafasnya dalam-dalam sebelum membuangnya. Ia kembali berjalan tanpa mempedulikan sandalnya. Saat berjalan memasuki rumah Jeremy, Diana dapat melihat banyak pasangan yang sedang b******u di sudut-sudut tempat gelap membuat ia menggelengkan kepalanya. Betapa tidak malunya mereka melakukan di tempat terbuka. Untung saja Jeremy tidak pernah melakukan hal memalukan seperti itu dengannya.
Ia memasuki rumah Jeremy walau harus berdesakan dengan orang-orang yang sedang berjoget atau apapun itu. Dengan tangan kanan sebagai perisai untuk melindungi kue yang ia bawa supaya tidak di senggol oleh oknum yang bergoyang seperti kesurupan. Terlihat dari wajahnya yang merah menandakan ia kurang udara di antara lautan manusia itu.
Sampai di tempat yang sepi, Diana menghirup nafas sebanyak-banyaknya dan mengecek kuenya, apa ada cacat atau apapun yang merusak kue tersebut. Setelah mendapati kue tersebut masih sempurna dibandingkan rambutnya yang berantakan, ia langsung tersenyum puas. Tidak mempedulikan penampilannya, asalkan kue untuk Jeremy tetap utuh.
Musik yang nyaring digantikan dengan suara dengungan microphone.
“Hi guys! Maaf aku sudah merusak suasana.”
Semua orang yang tadinya berjoget langsung berhenti mencari sumber suara. Begitupun Diana yang hanya berdiri. Karena kekurangan tinggi badan, ia haru berjinjit dari kejauhan ingin melihat asal suara. Ia tahu itu suara siapa.
Jeremy!
Jeremy pasti ingin mengumumkan hal yang ia bicarakan lewat ponsel di bandara!
‘Semoga Jeremy tidak malu menerimanya hanya karena memakai sandal pink dengan kepala hello kitty ,’ batin Diana mencoba menetralkan suara dentuman keras yang berasal dari jantungnya.
Ia mulai tidak sabar menunggu lamaran Jeremy.
“Kalian semua pasti tahu mengapa aku mengadakan pesta besar di rumahku. Karena hari ini. Tepat hari ini aku merayakan umurku yang bertambah 1 tahun!” terdengar sorakan senang dari orang-orang yang datang.
Diana kembali berjinjit yang hasilnya nihil membuat ia muram. Tapi jangan bilang jika ia 'Venus' jika tidak mempunyai otak yang sedikit cerdas. Ia melirik sekeliling dan matanya terpaku pada anak tangga yang tidak jauh darinya. Kembali, ia bersusah payah melewati kerumunan seraya melindungi kue yang ia bawa sambil mendengarkan dengan seksama apa yang Jeremy katakan.
“Dan ada satu hal lagi. Aku juga tengah merayakan sesuatu yang sangat membuatku senang hari ini.”
Sampai di tangga, Dia langsung senang hampir memekik karena ia bisa melihat sosok pria yang ia cintai biarpun sedikit jauh. Diana tidak hentinya tersenyum menatap pria yang tengah memegang gelas yang berisikan wiski dan microphone di tangan satunya lagi. Terlihat sepertinya Jeremy tidak menyadari keberadaannya membuat hatinya mencelos sedikit namun dengan cepat disingkirkan perasaan itu.
“Sebenarnya hal tersebut sudah berminggu-minggu yang lalu tapi baru hari ini aku merayakannya.” Terdengar kekehan dari para tamu.
“Aku sudah bekerja selama 5 tahun menjadi pegawai biasa di JPMorgan Chase & Co, dan tahun ini, tidak... Lebih tepatnya beberapa minggu yang lalu... Aku naik jabatan, man. Dan sekarang aku sudah resmi menjadi seorang manajer finansial!” Terdengar kembali sorakan seraya mengangkat masing-masing minuman di tangan mereka. Tidak terkecuali Diana, wanita itu pun ikut bersorak bangga untuk Jeremy.
“Sekian kata sambutan dariku, nikmatilah acaranya, sobat!”
Setelah itu Jeremy meninggalkan tempat diiringi suara musik yang up beat dan kembali semua orang berjoget. Diana yang tadinya masih memasang senyum, sekarang perlahan senyumannya memudar di gantikan kerutan dahi.
Tunggu...
Apaan ini... Hanya itu?!
“La-lamarannya?!” pekik Diana yang dikalahkan dentuman. “Tunggu, bagaimana dengan lamarannya?!”
Diana mencari sosok Jeremy dengan cepat saat pria itu keluar menuju halaman belakang rumahnya lalu mengejar pria itu. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Yang jelas ia harus menemui Jeremy sekarang.
Jeremy memasuki ruangan yang Diana tahu sebagai kamar pria itu. Diana bisa menangkap percakapan sesama pria. Mereka tengah berbincang. Tapi detik berikutnya Diana mendengar suara desahan dan desisan. Sontak saja itu membuat mata hitam besarnya membulat sempurna.
Tidak mungkin...
Diana terdiam di tempat. Perasaannya sangat kalut. Ia ingin memanggil nama Jeremy, tapi tak satupun suku kata yang keluar dari mulutnya. Bahkan untuk mengintip di celah daun pintu saja Diana tidak ingin. Diana benar-benar tidak ingin melihat hal yang dapat membuatnya sakit hati. Tapi jika dia tetap seperti ini bukankah dia tidak bisa mendapatkan bukti untuk menghilangkan pikiran buruknya mengenai Jeremy?
Tiba-tiba Diana terkesiap saat mendengar suara erangan dan geraman Jeremy. Matanya kebas. Ia kembali mendengar erangan-erangan mereka seolah berlomba siapa yang paling banyak mengeluarkan erangan. Dan itu membuatnya menitikkan air mata.
Dengan tangan gemetar Diana membuka pintu kamar selebar yang ia bisa. Suasana kamar tersebut cukup temaram. Saat mendapatkan cukup cahaya dari luar, dua sejoli yang sedang bermadu kasih itu berhenti melakukan aktifitas panas mereka dan menyipitkan mata karena silau.
Diana melihatnya.
Seorang pria manis menungging dengan kedua tangan di dinding dan Jeremy di belakang pria manis itu.
Astaga... Astaga... Oh Tuhan. Apa yang sedang terjadi di dalam kehidupannya?! Diana mundur beberapa langkah tidak kuat melihat hal yang barusan terjadi.
Jeremy menajamkan penglihatannya lalu terkejut dengan raut wajah pucat. “D-Diana...”
Sebulir air mata kembali jatuh di pipi Diana.
Sesak...
Sakit...
Kecewa...
Rasa tersebut bercampur menjadi satu di paru-parunya hingga ia sulit bernafas.
Jeremy berhubungan intim dengan sesama jenisnya. Jeremy yang ia cintai tengah bercinta dengan seorang pria.
Ya Tuhan. Jeremy seorang gay!
Tubuh Diana gemetar. Tanpa aba-aba kotak kue yang ia pegang jatuh karena tangannya sudah tidak sanggup memegang benda tersebut.
“Diana, sayang aku bisa jelaskan...” Jeremy dengan cepat memakai celana lalu keluar dari kamar dan mendekati Diana.
“Kau sangat jahat, Jeremy... Kau bermain di belakangku! Apa salahku Jeremy? Padahal aku sangat mencintaimu... Hiks...”
Itulah yang ada di pikiran Jeremy. Namun seketika ia sadar ekspektasi tidak sesuai dengan realita. Dia mengerjapkan mata beberapa kali menatap Diana yang sedang menatapnya marah dengan wajah merah padam.
Tubuh Diana gemetar menahan amarah saat Jeremy menghadapnya. Hilang sudah rasa sedih dan kecewa yang Jeremy tancapkan di dadanya. Telinga dan matanya masih kebas menangkap basah Jerem, terlebih hatinya.