Chapter 4

1000 Words
“Berhentilah bicara, lanjutkan makan kalian,” ucap John dengan suara bariton yang tegas membuat mereka berhenti adu mulut dan kembali melanjuti makan. Ethan memberikan jempol kirinya dari bawah meja yang di balas kedipan dari John. “Awas kau,” bisik Ethan, sedangkan Rachel hanya mendelik kesal dan melanjuti makan. *** Diana dan Jeremy berpelukan di kerumunan orang yang lalu-lalang di bandara. Baru saja Diana melepaskan pelukannya, wanita itu kembali memeluk Jeremy dengan erat membuat Jeremy terkekeh. “Aku bisa tertinghal jika kita seperti ini terus.” Dengan terpaksa Diana melepaskan pelukannya. “Jangan lupa menghubungiku jika sudah sampai.” Jeremy mengangguk. “Jaga tubuhmu, jangan minum alkohol terlalu banyak walaupun barang itu sangat berkualitas.” Kembali Jeremy mengangguk tidak bersuara. “Jangan melirik wanita manapun. Dan selalu hubungi aku, ceritakan apapun keseharianmu berada di sana.” Entah sudah yang keberapa Jeremy mengangguk seperti boneka rusak, intinya kepalanya sudah mulai sakit. Kesal? Marah? Jengkel? Tidak. Jeremy tidak pernah seperti itu dengan Diana. Pria itu selalu bisa membuat Diana damai dengan cara menuruti perkataan Diana. Dan Jeremy-pun sudah paham dengan sifat Diana yang satu ini. Wanita ini selalu banyak bicara entah itu penting atau tidak. Jeremy mengecup dahinya sekilas sebelum berjalan menjauhi Diana sambil melambaikan tangannya. Diana pun membalas lambaian tersebut dengan antusias walaupun raut wajahnya sedih. Setelah menghilangnya Jeremy dari pandangan Diana, perlahan wanita itu mengukir senyuman hingga ia menjerit kesenangan di tempat ia berdiri. Dirinya melompat-lompat kegirangan. Ia tidak peduli dengan pandangan banyak orang yang memandangnya dengan kebingungan. Yang ia lakukan hanya melompat seperti anak kecil dan berteriak mengeluarkan emosi senangnya. Ia berjalan menuju mobil, masih terlihat jelas senyum mengembangnya seraya memikirkan kejadian sebelum ia meninggalkan Jeremy sebentar karena panggilan alam. “Wait... I want to pee.” Diana menarik Jeremy supaya pria itu berhenti. “Perlu aku temankan?” tawar Jeremy membuat Diana memutar bola matanya. Dalam dua tahun mereka menjalin hubungan membuat Jeremy sudah hafal dengan sikap Diana. Mulai dari kebiasaan wanita itu yang selalu makan banyak yang tidak akan pernah sama sekali mempengaruhi bentuk tubuhnya, over emotion, mulut yang tidak pernah berhenti bicara, hingga buta arah. “Aku tidak pernah lupa untuk hal itu, Jeremy.” Diana dapat melihat Jeremy sedang menahan tawa. Inginnya ia memarahi Jeremy panjang lebar akibat sikap Jeremy yang buruk di depan kekasihnya, namun yang ia malah memukul d**a Jeremy pelan lalu segera berbalik dan berlari kecil menuju toilet terdekat karena sudah tidak dapat menahan lebih lama. Setelah selesai dengan urusan di toilet, Diana bergegas menemui Jeremy karena waktu. Dari jauh Diana dapat melihat Jeremy tengah berbicara melalui sambungan ponsel yang ia tempelkan di telinganya, memunggungi Diana. Semakin dekat, Diana dapat mendengar pembicaraan Jeremy. Dan pria itupun kelihatan tidak mengetahui jika Diana tengah berdiri tepat di belakangnya. “Baiklah. Ingat, besok malam aku mengadakan pesta besar-besaran di rumahku, ajak semua temanmu. Dan satu hal lagi...” Diana terkejut bukan main. Bukankah Jeremy akan terbang sebentar lagi? Jadi kenapa besok ia mengadakan pesta di rumahnya? Sebenarnya apa yang tengah terjadi? Pikiran Diana mulai campur aduk. Mulai dari kesal, marah, dan kecewa karena telah di bohongi Jeremy. Namun saat ia ingin memanggil nama Jeremy, pria itu kembali berbicara membuat Diana berfikir keras sebelum ingin menjerit kesenangan dalam hati. “Aku akan mengumumkan hal yang paling berharga untukku hingga aku harus membicarakannya besok ke semua orang yang datang... Yaitu tentang hidup dan matiku..” Apa maksudnya? Apalagi kalau bukan lamaran? Itulah yang ada di pikiran Diana. Setelah 2 tahun menjalin hubungan akhirnya pria yang ia cintai akan melamarnya. Tidak... Mungkin langsung menikahinya?! Diana tersadar dari alam fantasinya saat Jeremy menjauhkan ponselnya tanda pria itu baru saja memutuskan panggilan. Dengan memasang wajah biasa saja, Diana menegur Jeremy meminta pelukan perpisahan sebelum pria itu pergi. Seakan ia tidak mencuri pembicaraan Jeremy barusan. Dan Jeremy pun kelihatan biasa saja. Jeremy membalikkan tubuhnya menghadap Diana sebelum memeluk wanita itu, kekasihnya dengan sayang. *** Diana langsung membelah lautan kendaraan menuju salah satu toko bahan kue seraya memikirkan ingin membuat kue apa dan memberi hadiah apa untuk Jeremy. Dan di kepalanya selalu terbesit bagaimana cara Jeremy akan melamarnya setiap ia memikirkan hadiah yang ingin ia belikan untuk Jeremy. Apa seperti Adam yang melamar Helena dengan 10.000 bunga mawar merah yang dibeli dari toko bunga mama Diana lalu melamar Helena di tengah jalan raya? Atau seperti di film-film? “Aakkkhh!!!” jerit Diana senang yang diakhiri tawa saking tidak sabar menunggu hari esok. Jeremy ingin bermain? Dan Diana akan mengikuti permainanya... *** Diana sudah duduk hampir 2 jam di sofa seraya mengutak-atik ponselnya, menunggu Jeremy mengirim pesan mendadak menyuruhnya datang ke rumah Jeremy yang hasilnya nihil. Dan sekarang ia mulai bosan menunggu. Dari pagi ia sudah menyiapkan dirinya mulai dari membuat kue, pergi ke butik Venus untuk mempercantik diri -yang untung saja gratis karena semua Venus mempunyai gold card bertuliskan Venus- dan membeli minidress yang harganya 3 bulan gajinya berwarna pink pastel di atas lutut yang dari pinggang hingga ke bawahnya sedikit mengembang. Kembali ia melirik sekilas ke kue berbentuk lingkaran dengan ukuran sedang yang sudah ia hias di depannya sebelum kembali menatap ponselnya. Namun beberapa saat kemudian ia berhenti, dikarenakan bayangan pikiran yang tidak-tidak membuatnya duduk tegak. Bagaimana jika saking senangnya Jeremy, membuat pria itu lupa untuk menelpon Diana? Atau bagaimana jika ponsel Jeremy tiba-tiba hilang jadi pria itu tidak bisa menghubunginya? Tapi bukankah Jeremy ingat nomornya? Seharusnya pria itu bisa meminjam telepon temannya. Diana mengerang seraya memijit pelipis. Banyak pertanyaan yang dijawab pertanyaan membuat kepalanya terasa ingin pecah. Dari pada memikirkan hal yang tidak-tidak kenapa tidak ia coba menelpon saja? Dengan cepat ia menyambungkan panggilan ke nomor Jeremy. Dan benar saja pria itu tidak mengangkatnya. Mungkin sudah belasan kali Diana menelpon dan tidak menghasilkan apapun membuat ia langsung menyambar kunci mobil. Dan di sinilah dia, di halaman rumah Jeremy. Dari dalam mobil, Diana menatap ke sekeliling rumah Jeremy seraya berdecak. Betapa meriahnya dan ramai akan orang-orang yang berdatangan. Ia segera keluar dari mobil dengan wristlet putih disampirkan di bahunya dan membawa sekotak kue yang di sambut dentuman keras musik EDM.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD