#5

933 Words
Ibu sedang duduk di ruang tamu saat aku pulang dari kafe diantar Aura dan Kirman. Mereka puas menertawakan nasib perburuanku. Aku masih berpikir positif bahwa Tyson menunjukan muka aslinya di pertemuan pertama, bukannya pertemuan keempat atau kedelapan yang pasti akan membuatku terluka. “Duduk,” perintah Ibu. Aku menurut dan melesakan b****g pada kursi terjauh dari Ibu. Nggak perlu bertanya pada siapapun, aku tahu Ibu sedang marah. Mungkin sekarang momentumnya, pikirku. “Kamu tahu bagaimana Bu Herman mempermalukan kamu?” Ibu memulai dengan menyebut nama panggilan mamanya Raffi. Aku menggeleng, berpura-pura nggak tahu, dan semoga saja Ibu berubah pikiran untuk melampiaskan emosinya. Namun harapanku bak buih yang meletus di udara. Ibu tetap marah. “Bu Herman bilang ke orang-orang kalau kamu numpang hidup sama Raffi. Apa yang sudah Raffi berikan ke kamu sampai Bu Herman berani mengatakan itu?” Serangan pertama Ibu persis kabar Aura. Aku mengingat sejenak apa saja yang sudah diberikan Raffi selama dua tahun hubungan kami. Sebuket bunga krisan di awal jadian yang ditertawakan Kirman karena dia taksir harganya nggak sampai lima puluh ribu. Sebuah topi pantai lebar yang dibelikannya saat kami beserta Kirman dan Aura ke Ciater. Oh, aku tahu! “Sebenarnya Raffi pernah ajak aku makan di Abuba,” kataku. “Abuba? Kamu yakin?” Mata Ibu membesar penuh kecurigaan. “Raffi nggak pernah memberikan kamu perhiasan atau memberikan kamu uang bulanan?” “Nggak pernah. Ditawarkan pun nggak. Aku tahu gaji Raffi. Mana tega aku minta. Pendapatanku dari freelance lebih besar dari dia.” Aku nggak bergurau. Pekerjaan Raffi memang terdengar prestige sebagai front office di salah satu bank swasta besar. Hanya saja pendapatannya nggak menggiurkan sama sekali. Aku bisa menyombongkan diri sedikit soal itu. “Oh, astaga, Bu Herman k*****t,” umpat Ibu. “Ibu.” Aku memperingatkan. “Apa? Kamu masih mau membela dia setelah kekacauan yang dia buat? Ini masalah yang selalu Ibu khawatirkan saat kamu pacaran sama Raffi. Harusnya kamu sama Tanto saja. Ibu sudah bilang Tanto itu baik dan pekerja keras.” Tanto yang Ibu maksud bukanlah pria wirausaha yang mentereng. Tanto ini bekerja sebagai kenek bangunan Haji Saleh. Usianya sama denganku, tapi pergaulannya yang berbeda. Dia puas bekerja di proyek bangunan Haji Saleh bersama teman-temannya. Padahal dia belum terlalu tua untuk mencari pekerjaan lain sambil kuliah. Aku memang terdengar sok tahu sekali mengatur hidup orang lain, tapi aku sendiri sudah merasakannya ketika bekerja di restoran sambil kuliah dan tahu hal itu bisa dilakukan siapa pun asal mau. Kembali lagi soal pilihan. Tanto memilih nggak kuliah dan hidup santai sebagai kenek. Aku memilih menolak Tanto karena aku butuh seseorang yang berani menantang dirinya sendiri di liga yang lebih besar. “Aku nggak suka Tanto,” sahutku lemas. “Ibu yakin Tanto nggak akan menyakiti kamu seperti Raffi. Tanto pernah minta izin Ibu melamar kamu, tapi dia urungkan karena tahu kamu pacaran sama Raffi.” Ibu berpikir Tanto lebih baik karena keluarga Tanto sederhana dan nggak pernah mengomentari kehidupan keluarga kami yang agak unik secara finansial. Kebanyakan orang akan berpikir Ayah itu nggak bekerja dan yang menjadi tulang punggung adalah aku. Sebenarnya kami nggak senang membahas urusan dapur ke orang lain. Walau Ayah tampak payah soal pekerjaan, tapi penjualan ikan peliharaannya pun nggak buruk dan masih cukup membantu dapur tetap berproduksi. Aku bantu-bantu sedikit saat Ayah belum menerima uang. Aku nggak bisa menyalahkan Ibu. Dipandang jelek karena ayah seperti pengangguran itu menyebalkan. Aku kenal tabiat Ibu yang nggak suka membalas omongan jelek begitu. Namun membayangkan aku harus hidup bersama Tanto demi Ibu, kayaknya nggak deh. “Aku tetap nggak mau sama Tanto.” Aku meninggalkan Ibu setelahnya. Pembicaraan kami selesai di situ. Ibu hanya ingin tahu kebenaran dan aku sudah memberikan kebenarannya. Kalau dipikir-pikir, aku benar-benar hemat selama pacaran. Makan di Abuba nggak akan menguras seluruh tabungannya dan dia yang mengusulkan restoran itu. Hebat! Aku telah membuang dua tahun sia-sia bersama pria yang pelit. Esok harinya, aku pergi dari rumah pagi-pagi untuk bekerja. Aku punya daftar panjang belanjaan orang yang harus segera aku penuhi. Pekerjaanku adalah freelance buyer, semacam jasa membelikan kebutuhan orang lain dan mendapatkan bayaran untuk tugasku. Kadang, aku pun membuka usaha jastip jika sedang melancong ke luar negeri atau luar pulau. Pekerjaan yang direndahkan Bu Herman karena aku bukan pegawai kantoran. Aku mampir ke salah satu mol mewah di pusat kota setelah berbelanja kerajinan eksotis dari gerai di Menteng. Aku masih punya satu daftar tersisa, yaitu membeli perhiasan untuk ulang tahun pernikahan emas seorang klien yang terlalu sibuk. Klien ini membuat rekeningku cepat membuncit karena dia suka pada setiap pilihanku untuk istrinya. “Mau coba fitness kami, Kak?” seorang gadis mendekatiku sambil menyodorkan selembar pamflet. “Fitness?” apa aku segemuk itu? Aku memerhatikan bentuk perutku di balik kaos longgar yang aku kenakan. Harusnya lemak di sana nggak ketahuan, pikirku. “Kami punya promo, Kak. Kalau join bulan ini, Kakak akan dapat potongan satu juta ditambah free access semua club fitness kita di Jakarta. Kalau Kakak bayar full satu tahun, kami tambahkan free dua bulan jadi totalnya empat belas bulan Kakak bisa menikmati fasilitas kami,” kata gadis dalam seragam berlogo ExcelFit, perusahaan fitness terkenal di dunia. “Aku nggak yakin,” jawabku nggak enak hati. “Kakak bisa coba trial kami tujuh hari gratis dan nggak akan kami tagih mendaftar. Kakak bebas mau join atau nggak. Kami nggak memaksa,” rayu gadis itu lagi. Tujuh hari gratis fitness, aku berpikir. Itu benar-benar keuntungan. “Oke, aku coba trial,” kataku akhirnya. Aku penjual jasa dan tahu berapa nilai tujuh hari gratis fitness. Cara hebat melunturkan lemak tanpa biaya. Sugar daddy, sedang apa pun kamu, siap-siap lihat badan seksiku!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD