#4

1199 Words
Kirman telah melakukan pekerjaan besar dalam gaya busanaku. Aku berubah total. Rambutku bergelombang cantik di bagian bawah dan riasan wajahku sangat memesona dengan bulu mata palsu. Bulu mata palsu, tentu saja, harusnya sejak dulu aku tahu sepasang bulu mata palsu akan mengubah seseorang. Nggak mengherankan Syahrini menciptakan tren bulu mata palsu anti badai dan para pecinta gyaru di Jepang mempunyai koleksi bulu mata palsu lebih banyak dari jumlah kaos kakiku. Mari kita skip pembahasan nggak berguna dan fokus pada situasiku sekarang. Aku sangat yakin semuanya akan berjalan lancar. Kirman membantuku memilih gaun yang membentuk tubuh dengan pas tanpa membuatku tampak sedang ‘jualan’. Lengan bajunya sampai siku dan panjang gaun ini di bawah lutut serta kerahnya nggak memampang belahan dadaku. Kemudian kalung batu berwarna merah muda yang menonjol di atas gaun hitam ini benar-benar sempurna. Aura pun memberiku dukungan dengan meminjam mobil ayahnya dan menjadi kusir kereta Cinderellaku untuk malam ini. Kirman dan Aura memilih menungguku di dekat restoran ayam 24 jam setelah menurunkanku di lobi gedung. Aku pergi sendiri ke kafe dan bar yang terletak di rooftop gedung ini dan melewati serangkaian pemeriksaan sekuriti sebelum bisa melenggang ke dalam. Aku menghabiskan sepuluh menit duduk sendiri pada meja yang berada di sisi pagar rooftop sembari memandang kerlipan cahaya lampu dari gedung-gedung pencakar lain di sebelah dan lampu kendaraan di jalanan. Aku menarik napas pendek dan mulai memberanikan diri. Kita nggak akan memulai apapun tanpa perkenalan dan aku sudah menyisir seisi kafe untuk membidik target. Beberapa target. Sepuluh target. Oh, ada yang datang lagi. Oke, targetku bertambah jadi sebelas. Sebelas target yang sempurna. Mulai dari yang mana? “Hai.” Seorang pria menyapaku, target keenam yang aku temukan. Mungkin aku nggak usah memilih dan targetku sendiri yang menghampiri. Perfect! “Hai,” sapaku balik. Pria itu mengambil duduk di sebelahku dan meletakan gelas minumannya, sesuatu berwarna kuning dengan buah ceri dan daun mint. Kurasa itu cocktail atau minuman racikan semacamnya. “Sendiri?” tanyanya. “Ya. Lagi bosan di rumah dan kabur ke sini.” Aku memberikan jawaban yang diajarkan Kirman. “Ke sini dan minum orange juice?” Pria itu melirik gelasku dan tersenyum geli. “Buat kamu pasti aneh banget, tapi perutku mendadak nggak enak. Aku nggak bisa memaksakan diri minum begituan.” Aku mengendik ke arah gelasnya dan dia tersenyum makin lebar. Aku yakin pria ini berada di rentang usia 35 sampai 40 tahun, tapi senyumnya manis banget. “Aku Tyson. Kamu?” dia mengulurkan tangan. Aku jabat dan menjawab, “Milla. Tanpa embel-embel mbak atau ibu.” “Saya setuju. Kalau begitu jangan panggil saya pak.” “Berarti boleh panggil om dong,” godaku sambil tersenyum dan mencondongkan wajah. Kirman benar, masalah ganjen itu seperti insting yang tinggal dibuka segelnya dan busssss kamu bisa. “Aku tampak setua itu?” Dia tertawa kecil. “Aku baru 24 loh,” kataku bangga. “Oh.” Tyson nggak bersungguh-sungguh terkejut. Dia hanya bersikap sopan menanggapi kabar tersebut. “Kamu lahir saat aku di SMA. Menarik.” “Aku tebak, saat aku masuk SD, kamu sudah menikah.” Aku mengerling pada otot lengannya yang tercetak jelas di balik kemeja putih yang dikenakan. Dia punya seratus alasan untuk disebut tampan begitu diperhatikan dari dekat. Garis halus di sudut matanya nggak membuatnya tua, melainkan tambah macho dan aku suka alisnya yang tebal. Rahangnya agak gelap akibat tumbuhnya bakal janggut. Soal gaya busana, Tyson hanya memakai kemeja putih yang dikeluarkan dipadu celana jeans biru gelap dan sepasang sepatu kulit. Aku butuh bantuan Kirman untuk menaksir berapa harga outfit-nya, tapi aku menduga dia kaya. Alasan terbaik untuk menjadi sugar daddy selain usia yang matang. Tangkapan yang tepat. “Kurang tepat.” Tyson tersenyum miring. “Aku menikah lima tahun lalu.” “Saat itu aku kuliah. Ah, nyebelin. Tebakanku meleset jauh.” “Ya, semacam itu.” Dia mengendikan bahu tanpa minat. “Jadi kamu sudah menikah?” tanyaku yang waswas terlibat pedekate sama suami orang. Kirman sudah menegaskan targetku hanya boleh duda dan lajang. “Kami berpisah enam bulan yang lalu,” katanya dengan suara agak sedih. Aku berusaha memberikan dukungan dengan mengelus lengannya dan berkata, “Nggak apa-apa. Kita nggak selalu mendapatkan yang terbaik.” Tyson memegang tanganku yang berada di lengannya, lalu tersenyum. Dia mengangguk dan aku semakin percaya diri tangkapanku sukses. Dua puluh menit kemudian aku tahu aku terlalu cepat menganggap Tyson sebagai tangkapan sempurna. Dia buruk sekali. “Nada sangat cantik sehingga aku nggak bisa menolak keinginannya untuk pergi berlibur ke Hawaii tahun itu. Kemudian dia bertemu pria bule berengsek. Aku nggak menyadari mereka tetap menjalin komunikasi setelah kami kembali ke Jakarta. Aku baru tahu dia biang masalah saat tagihan kartu kredit Nada adalah sepasang sepatu Nike terbaru. Awalnya aku pikir itu hadiah kejutan Nada, tapi hadiah itu nggak pernah datang. Kami nggak sengaja bertemu bule itu di suatu mol dan dia pakai sepatu Nike itu. Coba bayangkan?” “Hadiah dari Nada?” aku merespons sekenaku. Tyson sudah memimpin obrolan ini dengan Nada dan Nada lagi. Semua tentang Nada mantan istrinya yang sangat cantik. Eyuh, dia tetap saja berselingkuh. “Tentu saja.” “Aku paham. Aku juga-“ “Harga sepatu itu mahal sekali dan Nada berikan ke cowok berengsek itu,” potong Tyson menggebu. “Aku bisa paham. Aku juga pernah-“ “Cowok itu benar-benar sialan. Dia penyebab perceraian kami dan sekarang dia tinggal di apartemen Nada. Mereka nggak menikah.” Tyson nggak memberiku kesempatan berbicara. Dia terus saja mengoceh. Hanya dia. Aku mendengar meja di belakang kami mengikik. Aku menoleh dengan berang. Ternyata kami menemukan dua pasang telinga ikut nimbrung dan aku benar-benar tambah kesal saat tahu pemilik dua telinga itu adalah dua pria dewasa. Yang satu berkaos polo dan yang lain memakai kemeja hitam. Mereka pasti pasangan gay yang mencari hiburan lewat kisah tragis Tyson. “Tyson,” kataku. “Kamu harus melihat foto-foto Nada saat pernikahan kami. Dia sangat cantik. Kamu nggak akan percaya dia manusia. Dia benar-benar malaikat. Bukan, dia bidadari.” Tyson mulai sibuk mengecek galeri hapenya. Aku ingin mengerang frustasi. Tyson benar-benar gila saat membahas istrinya. Panggilan masuk di hapeku. “Halo, Mil.” Suara Kirman. Oh, bagus, ini pasti waktu yang Kirman bilang sebagai panggilan keselamatan. “Hai, Man. Ada apa? Apa?!” aku yakin aku telah berseru penuh penghayatan. “Aura sakit? Nggak ada yang nyetir? Oh, gue lagi di Kuningan.” “Kayaknya situasi di sana buruk.” Kirman terkekeh di seberang telepon. Aku meneruskan sandiwara. “Lo juga di sekitar sini. Oke, gue bisa bantu nyetir dan lo fokus saja ke Aura.” “Gue dan Aura jemput lo. Siap-siap di lobi.” Kirman berbicara dengan nada geli kentara. “Oh, oke, gue ke sana. Nggak masalah. Kalian paling penting.” Aku menutup duluan panggilan telepon Kirman. Kemudian menghadap Tyson yang tampak sedih menatap hapenya. “Tyson, aku harus pergi sekarang. Teman-temanku butuh aku. Senang kenal kamu. Bye.” Aku nggak menunggu respons Tyson dan segera kabur dari sana. Aku tahu meja di belakang kami memerhatikanku. Siapa yang mau peduli, memangnya kami akan bertemu lagi. Sugar daddy, bagaimana pun kisah percintaan kamu di masa lalu, jangan pernah berusaha mengungkitnya di depan aku atau aku akan pukul b****g seksi kamu. Awas saja!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD