Tertangkap

1590 Words
“Ini beneran Riana Pratiwi temen gue?” Riana menatap tak suka. Riana tak ingin di puji dengan penampilannya saat ini. Wanita muda berambut merah itu kembali tersenyum lebar. “Astaga, gue nggak nyangka lo kalau di make up in kaya ginih cantik juga yah?” pujinya lagi dengan seruan senang. Sekali lagi, wanita berambut merah itu menatap keseluruhan penampilan Riana yang amat cantik. Saking cantiknya, wanita muda itu merasa iri sekalipun senyuman yang tercetak jelas itu tak sama dengan hati dan juga yang di pikirannya. Pikiran wanita muda tersebut terpenuhi dengan uang dan juga uang. “Sialan lo!” decak Riana, sama sekali Riana tidak butuh pujian saat ini. “Ish, galaknya masih tetep kamu Rie," godanya. Riana mendengus pelan. “Tapi lo ini sungguh cantik Riana. Lihatlah wajah cantikmu ini di cermin.” Wanita tersebut menuntun Riana pada cermin besar, ia sedikit mengangkat dagu Riana. Tapi sekali lagi Riana tak ingin melihat wajahnya apa lagi penampilannya. “Ri, lihatlah. Kamu itu cantik tau.” Riana kembali mendengus, kesal. “Sudah ya Gis. Jangan terus memujiku!” Sumpahnya Riana tak ingin melihat wajahnya dan juga tak butuh pujian dari temannya itu. Yang saat ini Riana rasa hanya malu. Riana malu bukan senang. “Tapi kamu ini sungguh cantik.” “Sudah Gis!” tekan Riana. “Jangan memujiku terus atau aku pulang nih,” ancam Riana. Wanita itu bernama Gisel salah satu teman SMA Riana dulu di kampung. Riana tidak menyangka akan bertemu dengan Gisel salah satu teman dekatnya sewaktu masa-masa mereka duduk di bangku SMA. Pertemuan keduanya berawal dari kepulangan Riana dari apartement mewah adiknya, Ane. Sudah lama tak berjumpa, Riana dan Gisel pun terlibat obrolan hingga berujung Riana mendatangi kontrak Gisel untuk membicarakan prihal obrolannya. Dan malam hari ini, seperti inilah yang keduanya bicarakan. Riana akan ikut bekerja seperti Gisel. Bapaknya sudah menghubungi Riana dan yang di tanyakan Bapaknya itu tidaklah jauh masalah uang, itulah yang membuat Riana sampai nekad ikut bekerja bersama dengan Gisel. Tekana dan juga rayuan setan teman dekatnya itu membuat Riana terbuai di tengah Riana yang bingung dan buntu pun langsung menyetuji ajakan Gisel dalam pekerjaan ini. “Kita lagi nungguin angkot yang mana? Merah? Kuning? Biru atau hijau?” tanya Riana pada Gisel. Sudah setengah jam Riana berdiri di tepi jalan, tapi Gisel tak kunjung menyetop angkot yang sudah beberapa kali lewat di hadapannya. “Kita nggak naik angkot kok.” “Lah terus, mau ketemuan sama orangnya di mana?” tanya Riana bingung pada Gisel. “Ya, di sini,” jawab Gisel. Riana mengeryerit kening. “Mangkal di sini?” Gisel mengangguk membenarkan. Lalu tempat mana lagi yang akan jadi tempat Gisel mangkal kalau bukan di tepi jalan yang sudah sepi dan juga jarang ada kendaran yang lewat dan hanya sesekali itu pun. “Gue pikir lo biasa kerja di club malam.” “Dulu pernah, tapi gue males karena hasil keringat dan lelah gue harus di bagi dua sama yang punya,” sahut Gisel menjelaskan. “Lebih baik mangkal di sini saja, Rie. Gratis! Dapatnya juga lumayan. Gue bisa pasang tarif lima sampai sepuluh juta cuma satu jam,” kata Gisel bohong. Nyatanya, tarif Gisel tidak sebesar itu. Pelayanaan bagaimana dulu yang di minta klienya itu. Kalau si Om hanya ingin pakai mulut saja asal keluar, tarifnya tiga ratus ribu dan bila full service satu juta per jamnya. Tidak seperti yang baru saja Gisel katakan pada Riana. Gisel bukan menjebak Riana, tapi Gisel sedikit menipu Riana dengan iming-iming pendapatan besar per-jamnya agar temannya yang tengah kesusahan mencari yang pun mau bekerja sama speerti dirinya menjadi kupu-kupu malam. Bahkan Gisel berbohong pada Riana sehingga temannya itu tergiur kalau Gisel bisa mengantongi uang sebesar lima puluh juga bahkan seratus juga dalam waktu sehari, itu pun bila Gisel kuat melayani para pelanggannyya. Mendengarkan hal itu, siapa tidak tertarik. Riana bahkan bisa menghitung kalau dirinya bekerja kotor seperti ini menjual diri selama seminggu Riana bisa melunasi hutang bapaknya. “Ya sudah deh yang penting uang!” kata Riana. Meski sesekali kedua matanya menatap sekeliling jalanan. Tidak banyak orang yang berdiri di jalanan sepi seperti ini. Riana melihat ada beberapa wanita yang berpakaian minim pun di tepi jalan sampingnya. “Terus orang yang lo janjin mana?” “Tunggu sebentar, ini lagi gue chat.” Riana mengangguk sembari memeluk tubuhnya yang kedinginan. Berdiri di tepi jalan dengan pakaian kekurangan bahan ini tak pernah sedikit pun ada di dalam pikiran Riana. Tapi Riana tergiur dengan uang yang besar Gisel katakan. Entah setan, apa yang merasuki Riana. Wanita yang teguh dengan pendiriannya itu dan tekadnya yang kuat kini roboh dalam waktu sehari karena terus di desak bapaknya. 'Bapak nggak mau tahu, kamu harus dapat uang itu. Jangan pernah melarikan diri dari bapak, sampai kemana pun kamu pergi. Bapak pasti akan cari dan dapatkan kamu!' kata-kata Bapak Riana. “Rie, si Om Danang katanya lagi on the way.” “Cepet bales Gis jangan lama-lama,” kata Riana yang dianggukan Gisel. Beberapa menitnya, Gisel mendapatkan pelanggann pertama. “Rie… tunggu Om Danang ya, rumahnya jauh sih jadi ke sininya agak lama.” Riana mengangguk pelan, sengaja Riana memalingkan wajahnya tak ingin melihat pria tua dengan perut buncit yang berdiri tidak jauh darinya. Gisel mengapit tangan si Om dan berkata pada Riana sebelum Gisel melayani lebih dulu keinginan si Om. “Rie. Gue sama si Om cuma di situ kok.” Gisel menunjuk salah satu tempat sepi. Riana mengangguk pelan. “Gue duluan yah, Cuma bentar kok. Setengah jam. Mudah-mudah ada yang nyantol lo,” kata Gisel yang lagi-lagi di anggukan oleh Riana. Riana menghembuskan napas pelan, tubuhnya benar-benar dingin. Sepuluh, dua puluh, bahkan kini sudah tiga puluh menit Riana berdiri menunggu. Tapi pria yang bernama Om Danang, pelanggaan setia Gisel dan paling royal belum juga menampakan diri. Bukan si Om Danang yang muncul tapi Gisel lah yang datang menghampirinya. Wajah cantik Gisel berseri bahagia, mendekat seraya mengipas-ngipas uang menghampiri Riana. “Huuh…” seru Gisel seraya membuang napas. “Nggak sia-sia nih mulut!” Riana mendelik, ikut senang melihat lembaran demi lembaran uang merah yang di pegang Gisel. “Banyak amat tuh duit cuma setengah jam.” Gisel tersenyum simpul, sembari kembali memoleskan lipstick yang sudah hilang dari bibirnya. “Gue di kasih tiga juta.” “What?” Mata Riana langsung melotot, otaknya kini sama dengan Gisel. Uang dan uang. Otak Riana berpikir, setengah jam saja sudah mendapatkan tiga juga lalu kalau sampai pagi berapa puluh juta yang Riana akan bawa pulang. “Waaahh gede banget. Terus ngapain saja setengah jama sama si Om itu?” tanya Riana penasaran secepet itu dapat uang banyak dalam waktu singkat? Gisel membuang napas berat. “Tentunya bekerja keras, menyenangkan si Om.” “Ya gimana caranya?” “Tadi cuma di senengin sama mulut,” jawab Gisel tersenyum-senyum seraya menghitung uang di depan Riana. “Maksudnya?” Riana tidak paham dengan bahasa seperti itu, otaknya masih di keliling oleh lembar demi lembar uang merah yang Gisel hitung. “Blow Job!” jawab Gisel seraya menyimpan uang tiga puluh lembar itu ke dalam tasnya. Satu alis Riana terangkat, menatap Gisel bingung. Di dalam hal satu itu Riana jelas tidak tahu, maklum perawan tua. “Gue nggak ngerti Sel. Gisel mendengus pelan pandangi Riana yang benar-benar udik. “Senam mulut Rie.” “Senam mulut?” ulang Riana nambah bingung lagi. Gisel mengangguk, lalu mendengus pelan. Wajah cantik Riana mendadak bodoh. Masa iya seperti itu saja wanita itu nggak tahu. Gisel memeragakan apa itu yang tadi di bahas membuat Riana lagi lagi mendelik kaget sampai Riana ingin muntah. “Menjikikan itu Gis.” “Menurut gue sih, kalau lo mau kerja kaya ginih tapi tetep mana lebih baik kaya gitu saja Rie dari pada di jebol sama aki-aki, lo kan nggak suka.” “Tapi nggak harus gitu juga.” “Namana juga kerja, nggak ada yang enak,” sambung Gisel. Riana diam dengan pikiranannya, sementara Gisel pun kembali merayu setiap ada orang yang lewat. Tott… tott… tott… Suara mobil patroli polisi berbunyi keras. Beberapa orang yang berada di sana pun semua panik, termasuk Gisep. Tapi tidak dengan Riana yang bengong pandangi beberapa orang yang berlarian. “Gawaaatt… ada rajia…” "Rajia. Rajia apa?" tanya Riana bingung. Gisel melepaskan sepatu tingginya. “Ayo, Rie… kita lari…” “Lari?” jawab Riana bingung, kenapa ia harus ikutan lari? “Polisi mendekat ke sini Rie… ayo lari….” Gisel menarik tangan Riana untuk berlari, tapi wanita bodoh itu begitu lambat berpikir dan masih berdiam di tempatnya sedangkan polisi sudah berjalan mendekat ke arahnya. “Ini ada apa Gis. Kenapa kita harus lari?” tanya Riana. Ia berjalan cepat, meski beberapa kali terkilir. Riana tidak bisa berlari cepat, hills tinggi punya Gisel belum lagi rok mini yang Riana pakai membuat Riana kesulitan untuk belari cepat. “Mereka mau menangkap kita.” “Haah? Kenapa? Kita salah apa?” Dengan sikap bodoh dan polosny Riana membuat Gisel kesal. “Berhenti… mbak berhenti….” “Ayoo Rie… mereka hampir dekat." “Gue nggak bisa lari cepet… hills lo ini…” “Copot…” seru Gisel, jantungnya berdetak cepat. “What?” seru Riana. Gisel menoleh ke belakang polisi semakin mendakat dan Riana semakin lamban berlari. Bila seperti ini Gisel akan tertangkap polisi. Tak ingin kejadian ke empat kalinya Gisel berurusan dengan polisi, ia pun akhirnya melepaskan tangannya yang menggegam Riana dan memilih untuk menyelamatkan diri. "Gis..." “Maafkan aku Rie…” “Gis… tunggu… jangan tinggalin aku…” Gisel berlari cepat, tak mempedulikan panggilan Riana sementara Riana hanya bisa memandangi polisi yang sudah mencengkeram tangannya. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD