“Kamu mau ajak kaka kemana sih! Jangan aneh-aneh deh kamu!”
Dengan santainya Ane berjalan sembari menggenggam tangan Riana agar tidak lepas dan mau ikut masuk ke dalam.
Riana merasa ada hal yang aneh di sini, tak lama. Riana teringat, kedua matanya pun mendelik langsung melepaskan tangan Ane membuat gadis kecil itu sontak langsung berbalik badan menatap Riana dengan kernyitan kening.
“Ada apa sih ka?” tanya Ane pelan.
“Jadi kamu beneran mau ajak kaka buat ketemu sama Mbak Kenanga si Agent Penyaluran itu?” seru Riana.
Melihat Gedung tinggi ini, keyakinan Riana semakin bertambah kalau adiknya pasti akan membawanya pada Agent tersebut, setelah malam Ane mengotot meminta Riana untuk datang ke Agent Penyaluran itu.
‘Ya Tuhan, kenapa aku bisa bodoh seperti ini,’ batin Riana, merasa di tipu oleh adiknya sendiri.
Gedung tinggi yang kini Riana pijak adalah salah satu Gedung Apartement mewah. Siapa sangka pembacaraan semalam adiknya benar-benar membawanya ke tempat ini sekalipun Riana sudah menolak keras ajakan Ane.
“Kamu jadi menipu kaka hah?” seru Riana lagi dan lagi.
Riana menatap tak percaya kalau adiknya bisa sekejam ini, setelah Ane mengajaknya ke salon mahal.
Membeli pakaian bagus yang saat ini Riana kenakan dan juga beberapa paper bag merek dunia yang Riana pegang bahkan makan siang di restoran mahal yang semua adiknya bayar sebagai teraktiran, sialnya itu sebuah trik adiknya yang kurangajar mengajaknya bertemu dengan si Agent Penyalur itu.
Ane mendengus pelan, kembali menarik Riana agar lekas jalan.
“Kamu mau ngajak ketemu Kaka sama Mbak Kenanga itu kan, An?” ulang Riana bertanya lagi.
Riana masih memandangi adiknya, rasanya pertanyaan Riana itu hanya hembusan angin yang di dapatkan.
Ane berjalan gontai dengan dagu yang naik ke atas sekalipun wajah cantiknya tersenyum ramah pada beberapa orang yang mengenalinya, tapi gadis kecil yang kini tumbuh dewasa itu mengabaikan pertanyaan. Ane sama sekali tidak memberikan jawaban.
‘Huuh. Berisik!’ batin Ane.
“Ya Tuhan, seharusnya aku nggak sebodoh ini percaya pada adikku sendiri. Kenapa adikku sendiri begitu tega dan juga nekat membawaku ke tempat lakknat seperti ini.
"Ane bersikekeh ingin membawaku ke Angent Penyaluran Sugar Daddy. Aku nggak mau, tolong selamatkan Riana, Tuhan,” batin RIana
Riana hanya bisa merutuki kebodohannya yang terlalu percaya pada adiknya yang sesat ini.
“Kamu tega sekali sama kaka sih An. Ngajak kakamu kaya kamu jadi Sugar Babby!”
“Ssstt ka. Jangan berisik. Tolong suaranya kecilin ka, jangan kaya toa lagi kasih pengumuman di sini!” tegas Ane.
Riana menghempaskan tangannya yang di genggan oleh adiknya memasuki sebuah loby di sebuah Gedung apartement elitnya.
“Gila ya kamu mau ajak kaka ke tempat kaya gituan Ane!”
“Maksud kaka apa?”
“Astaga, Ane. Jangan pura-pura bodoh deh!” decak Riana kesal.
Sudah jelas, tadi ia membicarakan Agent itu dan niat Ane yang ingin menjadikan dirinya Sugar Babby sama seperti dirinya, masih saja bisa berdalih.
Kening Ane mengeryit pandangi Riana bingung.
“Kamu bawa kaka ke Gedung Apertement siapa? Kamu kamu bawa kaka kemana?” cecar Riana.
Ane menghela napas pelan seraya menarik tangan kakanya untu menjauh dari loby—di sana banyak pasang mata yang melihat sedikit perbedatan mereka.
“Jangan punya prasangka buruk ka! Nggak baik!” jawab Ane pelan.
Ane dan Riana masuk ke dalam lift, “Pokoknya percaya deh sama aku!” lanjut Ane santai.
Tapi, Riana tidak bisa santai seperti Ane. Semenjak Ane memberikan saran untuk menjadi Sugar Babby dan keduanya ada di tempat seperti ini, apa Riana tidak boleh berprasangka buruk?
“Santai gundulmu hah! Katakana sama kaka, kamu punya rencana apa?”
Lagi lagi Ane berikan tatapan penuh seraya menahan emosinya.
“Rencana apa sih ka? Ane nggak punya rencana apapun sama kaka!”
“Bohong! Terus kenapa kamu ngajak kaka ke apartement kalau bukan kamu punya rencana jahat sama kaka?” tuduh Riana.
“Astaga ka…”
“Jangan bilang kalau kamu mau jual kaka sama Sugar Daddymu itu?” tuduh Riana lagi.
Pikirannya sudah melayang-layang tak karuan. Riana takut kalau adiknya itu mempunyai sifat menular seperti bapaknya.
“Astagfirulloh. Ka, kok tega banget sih tuduh adeknya sendiri.”
“Lalu, kamu mau apa ke apartement orang?”
“Ya, tapi aku nggak sejahat itu sama kaka sendiri, apa lagi aku harus menjual kaka sama Sugar Daddy segala.”
Ane mengusap dadda sabar.
“Ane nggak semiskin yang kaka pikir. Ane banyak duit, nggak harus Ane jual kaka sendiri sama Sugar Daddy hanya demi uang.
"Transferan Frans masih cukup buat Ane!” tekannya seraya menarik Riana untuk keluar dari dalam lift setelah bunyi pintu lift terbuka.
“Kalau kamu beneran banyak duit. Ya, sudah deh,kaka pinjem uang sama kamu saja. Lima ratus juta, nanti kaka bayarnya cicil setiap bulan gimana?” kata Riana sembari mengekor adiknya yang berjalan entah akan ke apartement siapa.
“Jadi kaka kan nggak punya hutang sama Bapakmu dan kaka nggak akan di kejar-kejar sama Juragan Doso!”
Ane mendengus pelan di depan sana masih dengan kedua kakinya berjalan pada pintu kamar yang paling ujung sayap kanan.
“Aku nggak punya uang sebanyak itu ka!”
“Lho. Katanya kamu sekarang sudah banyak duit karena di kasih jatah sama si Frans… Frans itu…” cibir Riana.
Sudah dua tahun lebih Ane menjalin hubungan tanpa setatus dengan pria lebih tua dari usianya mana mungkin Ane tidak punya banyak uang, itu yang Riana pikirkan.
Ane menarik napas pelan.
“Jujur, aku punya tapi nggak sebanyak yang kaka minta. Kalau untuk teraktir kaka ke salon, shoping beli baju baru, tas baru dan sepatu baru apa lagi makan enak.
"Ane masih sanggup buat bayarin. Tapi kalau pinjem uang lima ratus juta Ane nggak punya ka!” kata Ane menjelaskan.
Mana punya uang segitu banyaknya sekalipun Ane sudah lama hubungan dengan Frans.
“Kalau begitu kamu bisa kan pinjemin uang sama Sugar Daddymu yang kamu aggungkan itu?!”
Riana menghentikan jalananya berdiri di depan salah satu unit apartement.
“Sekalipun aku sudah lama sama Frans. Masalah pinjem uang aku nggak berani. Lagian kebutuhan sekolahku dan kebutuhan sehari-hariku sudah di tanggung sama Frans.
"Satu lagi, semua kebutuhan Bulek pun sudah di tanggung juga sama Frans!” ungkap Ane pada Riana.
“Maksudmu?” Riana pandangi Ane, bingung.
“Ya, semua biaya cek up mingguan Bulek, obat bulek yang mahal sudah Frans yang tanggung!”
Riana berdecih menatap tak suka. Ada rasa kesal karena adiknya itu selalu menganggungkan nama Frans. Riana nggak suka, malah saat ini kebencian Riana pada pria tua, OM-OM atau Sugar Daddy semakin menjadi.
“Kok bisa sampai Sugar Daddymu sampai menanggungnya?”
Ane mendesah sembari menekan beberapa angka untuk membuka password salah satu unit apartement mewah tersebut.
“Aku sudah cerita semalam masalah Mas Dimas yang bekerja di kantor Frans bukan?”
“Hubungannya?” tanya Riana bingung.
“Salah satu syaratku pada Frans jelas Kesehatan Bulek yang utama dan Frans mau mengcover semua pengobatan Bulek melalu Mas Dimas dengan alas an cover Kesehatan keluarga untuk pegawai rajin!” kata Ane menjelaskan bagian intinya saja, bila kembali di ceritakan Ane malas buang-buang waktu.
“Ayo masuk…” ajak Ane.
Riana langsung menehana pintu yang sudah terbuka.
“Tu—tunggu!”
“Ada apa lagi ka?”
“Ini kamu ajak kaka kemana. Maksudnya apartemen siapa? Kamu nggak akan ajak kaka buat ketemu sama Sugar Daddymu itu kan? Kaka nggak mau ketemu sama aki-aki tua!” tolak Riana.
Faktanya, Riana belum siap buat ketemu pria yang sudah membuat adiknya seperti ini.
Riana cape kalau hari ini harus marah-marah lagi apa, nguras tenaga. Sehari kemarin hidupnya begitu penuh drama banget, ya di paksa menikah dan di tahan di rumah bututnya sebagai jaminan atas hutang judi bapaknya.
“Ayolah. Aku jelasin di dalam.”
“Nggak mau! Kaka nggak mau masuk.”
Di mata Ane, kaka nya itu seperti bocah kecil.
“Kaka lagi cape harus marah-marah sama pria tua yang sudah buat kamu seperti ini. Kaka masih ingin lemas nggak ada tenaga lagi buat cakar wajah si Frans Frans yang kamu puja-puja itu!”
Riana ingin sekali mencakar-cakar habis-habisan aki-aki tua yang sudah menggauli adik satu-satunya itu, tapi tidak sekarang.
“Ayolah ka. Jangan berdebat di sini nggak enak sama tetangga!” ujar Ane.
Riana menengok ke ke belakang, nampak sepi.
“Tetangga mana, nggak ada yang keluar,” tolak Riana.
“Apa kamu sudah siap Sugar Daddymu itu aku cakar wajahnya?”
“Frans nggak ada di sini!”
“Lalu sebenarnya kamu punya rencana apa buat jebak kaka, An. Kaka nggak mau kaya kamu. Kaka nggak suka aki-aki bau tanah!”
Ane mengusap dadda pelan, sabar. “Ya Tuhan ka. Enggak. Aku nggak mungkin sejahat itu jebak kaka!”
“Ya, lalu kenapa kamu ajak kaka kesini?”
Ane menarik tangan Riana, lama-lama kesabaran Ane menipis menghadapi kaka nya yang super menyebalkan. Pantas saja sejak dulu nggak laku-laku.
“Ane… lepasin kaka…”
“Jangan ajarin kakamu ini yang enggak-enggak.”
Ane melepaskan tangan Riana setelah pintu apartement tersebut terkunci dari dalam. Ane bisa tenang karena untuk keluar pun susah, dengan santainya Ane melenggang masuk lebih dalam lagi.
“Honey…” teriak Ane.
Mata Riana langsung mendelik, bergegas menyusul adiknya yang kurang ajar itu. Ane menoleh ke belakang lalu tersenyum simpul.
“Ane… Ane… kaka ingin pulang.”
“Jangan kaya ginih, Ane. Kamu lagi nggak akan ngajak main kuda-kudaan bertiga kan hah?”
Ane menghempaskan pantattnya di single sofa dengan kepala yang di sandarkan ke atas memandangi langit-langit apartement mewah ini.
“Ane… jangan gila ya kamu. Biar pun kaka lagi kebingungan cari uang, tapi Kaka nggak senista ini jual diri, Ane. Kaka masih bisa mencari jalan keluar. Nggak harus jadi seperti kamu, jadi Sugar Babby. Enggak!”
“Kaka mau kain kuda-kudaan bertiga sama Frans?” tawar Ane.
Pelototan Riana semakin menjadi. “Adik kurang ajar kamu ini!”
“Sudah ahh. Jangan banyak tanya. Aku mau rebahan cape jangan bikin kepalaku semakin pusing ka! Nggak usah berpikir yang negative terus!
"Aku tegaskan sekali lagi, aku nggak mungkin ajak kaka yang nggak bener. Cukup Ane saja yang nggak bener di keluarga ini!” kata Ane, diantara kaka nya. Ane lah yang berpikir buntu, mencari solusi dengan instant seperti ini tanpa memikirkan sebab akibatnya nanti.
“Lalu, kamu ajak kaka ke sini mau apa?” Riana menarik tangan Ane.
“Kaka yakin kalau kamu ada rencana kan buat kaka. Kata kamu tadi Frans nggak ada. Tapi kenpa kamu tadi manggil Honey? Apa ada pria lain di rumah ini?”
“Tolong jangan jebak kaka dan jangan bodohin kaka, Ane!” seru Riana.
Tak terima kalau nanti kesuciannya hilang karena jebakan adiknya.
Ane lagi lagi menghembuskan napas.
“Ini apartementku!” kata Ane dengan lelah.
“Apartemenmu?” ulang Riana dengan kening yang mengerut.
Riana buang napas pandangi sekeliling apartement mewah yang katanya milik adiknya itu. Ia menarik sudut bibirnya ke samping menatap Ane sedih.
Ya, sedih bukan rasa iri karena di usia Ane yang baru enam belas tahun sudah punya apartement mewah yang harganya milyaran.
Tapi Riana kasihan, demi status sosialnya dan juga impiannya yang setinggi langit itu adiknya begitu bodoh menjaul diri seperti ini pada pria lebih tua demi semuanya kemewahan.
Riana lebih baik milih miskin nggak punya apa-apa dari pada harus menjual diri menghangatkan setiap malam memuaskan ranjang aki-aki tua.
Membayangkan hal itu, Riana kembali sedih.
“Frans yang beliin kamu apartemen ini?” tanya Riana.
Ane mengangguk mantap, apartemen mewah ini memang di belikan secara khusus oleh Frans. Riana mendengus pelan.
“Aku nggak akan punya apartement mewah ini dan semua isi di dalamnya kalau aku nggak punya Frans, Sugar Daddyku itu. Surat kepemilikan apartemen mewah ini pun atas namaku sendiri dan aku pegang sendiri!”
“Ck! Umurmu baru enam belas tahun, tapi sudah jebol sama aki-aki. Kalau kaka jadi kamu, kaka sudi! Lebih baik jadi perawantua dari pada harus jadi simpanan Om-Om!”
“Nggak usah kegedaaan gensi ka! Ujung-ujungnya dirimu butuh duit banyak! Hidup itu harus materialistis ka!”
“Ck!” Riana berdecak lidah.
“Mau aku kenalin sama temennya Frans nggak!”
“Sudi! Aku masih waras. Aku nggak suka aki-aki!”
“Ya sudah kalau nggak mau. Kita pulang saja dan kaka terima perjodohan sama Juragan Doso!”
“Ck! Lebih baik aku mati saja dari pada harus menikah!” seru Riana tak ingin kalah berdebat dengan adiknya.
“Mati itu nggak enak, ka! Percaya deh mendingan seperti ini ka! Punya Sugar Daddy yang tiap harinya memenuhi kebutuhan hidup kita! Buat kita tiap harinya itu happy terus."
“GILA! kamu sudha nggak waras An!"
Ane tertawa kecil. “Jadi kamu ajak kaka ke sini buat apa?”
“Pamer?” sambung Riana.
"Ya lah, harus di pamerin. Punya rumah mewah, mobil mahal, uang ngalir terus. Shoping dan salon lancar jaya."
Riana mendengus jengah, kesal setengah mati dengan pola pikiran Ane. "Masa iya nggak di pemerin sama kaka. Aku punya Sugar Daddy yang baik banget sedangkan kaka sebentar lagi menjadi istri keempat."
Ane menatap senang dengan raut wajah Riana yang memerah karena marah. "Tinggal satu atap dengan tiga istri, dua puluh anak dan sepuluh cucu. Apa nggak sumpek?" sindir Ane keras.
"Lebih baik kaya aku, punya satu Sugar Daddy yang akan jadikan kaka ratu. Gimana mau yah ketemu sama Mbak Kenanga?"