Anak Tiri atau Anak Pungut?

2476 Words
“Jadi Ka Ririe mau di jodohkan sama Juragan Doso?” sela gadis kecil ikut menimburung obrolan Bulek sama kaka nya yang baru saja tiba di Rumah Tipe 36 yang sumpek itu. Riana mendengus pelan, berikan tatapan menyedihkan namun tak menjawab pertanyaan Ane. Bulek Tatik membuka mulut hendak bicara, namun lebih dulu di sela oleh gadis kecil super kepo. “Terus kaka mau gituh di kawinin sama bapaknya Santi?” selanya lagi. Bulek Tatik menghela lirih memandangi gadis kecil tersebut. Riana diam menatap adiknya. “Juragan Doso punya punya 20 anak dari 3 istri terus sudah punya cucu 10 cucu. Kaka mau jadi number 4?” tanya si gadis lagi dan lagi yang tak lain Ane. Riana berdecak kesal. “Ya nggak mau lah An! Amit-amit banget kawin sama aki-aki bau tanah. Dia itu pantasanya jadi Bapak bukan jadi suami,” protes Riana keras. Riana masih waras, dia masih suka pria yang masing single dan masih muda. Beberapa pria di luaran sana pun banyak Riana tolak, masa iya Riana memilih yang sudah berusia setengah dari umurnya. “Kaka masih suka yang muda. Nggak mau yang sudah tua, nggak akan puas nanti melayani kaka mu ini,” kata Riana kerasa. Namun perkataan itu membuat Ane dan Bulek Tatik ketawa. Di saat genting dan sedih kaya ginih Riana masih bisa bercanda. Ane berikan anggukan meski perkataan kaka nya itu tidak bisa di benarkan. Tidak selamanya yang sudah berusia lebih tua dari kita tidak sanggup melayani. Tapi di lihat dari kondisi pria yang akan jadi calon kaka nya itu, sudah di pastikan tidak akan sanggup melayani istrinya dengan baik. Orang calonnya saja sudah punya 3 istri, otomatis Riana akan mendapatkan jatah setelah suaminya berkelana lebih dulu dengan para istri tuannya. Membayangkan hal itu membuat Ane ikut merindingi. “Nggak usah di bayangkan, An. Kaka juga nggak sanggup.” Ane kembali mengangguk pelan, tak di sangka kaka nya sudah lebih dulu menebak isi kepalanya. “Aku nggak bisa membayangkan ka malam pertama kaka sama Juragan Doso?” “Astaga jangan membayangkan yang tidak-tidak An. Kaka nggak mau kaka sudi punya suami aki-aki,” seru Riana keras. Sumpahnya buat membayangkan saja Riana sudah bergridik ngeri sendiri. “Nanti Santi bilang kaka ibu tiri dong? Duh geli banget dengernya,” sindir Ane. “An!” decak Riana tak terima, sudah jangan membayangkan hal seperti itu. Sumpah Riana tak ikhlas ada orang yang membayangkannya dengan Juragan Doso. Itu tidak akan terjadi, biarkan saja bapaknya yang menanggung akibat dari perbuatanya sendiri. Nggak harus Riana ikut campur di dalam urusan bapaknya itu dengan Juragan Doso. “Sudah-sudah kok kalian baru ketemu sudah kaya kucing sama tikus sih. Berantem terus kerjaanya,” kata Bulek Tatik mererai perdebatan kaka beradik itu. “Kaka mu ini baru saja dateng nduk, bok kamu bikinin minum dulu atau di suruh makan dulu. Bukannya malah ikut niburung urusan orang gede, pake introgasi segala!” Ane berikan cengiran pada Bulek Tatik dan juga kaka nya. “Habisnya, Ane juga ikut kesel juga dengerin curhatan Ka Ririe, Bulek. "Ane nggak nyangka kalau Ka Ririe mau di jodohkan sama orang kaya raya di kampung! Buat nebus hutang bapak lagi!” sahut Ane. Bulek Tatik mendengus pelan, lalu mengibaskan tangannya solah kode agar Ane cepat bangun dari duduknya untuk membuatkan kaka nya minum. Ane secepat kilat bangkit dari duduknya dan segara membuatkan tea manis hangat untuk kaka nya itu. Ia tak ingin ketinggalan pembicaraan kaka nya sama Bulek Tatik. Riana kembali memeluk Bulek Tatik dan menangis di dalam pelukan wanita paruh baya berusia 49 tahun, janda mati anak satu yang kini sudah tumbuh dewasa dua tahun di bawa usia Riana. “Ririe bingung Bulek. Padahal setiap bulannya Ririe itu nggak pernah telat buat transfer uang buat bapak sama ibu. "Tepat waktu! Tapi kenapa bisa-bisanya bapak punya hutang sebanyak itu ke orang lain!” Riana menjeda sejenak. “Lima ratus juta itu uang yang banyak. Riana nggak punya uang segitu banyaknya.” Bulek Tatik mengusap punggung keponakannya, menatap iba pada keponakannya. Ia sempat syok saat tiba-tiba keponakannya itu datang ke rumahnya dengan wajah yang merah menangis dan langsung memeluknya. Tak di sangka setelah mendengarkan cerita keponakannya, ia pun ikut kesal dan juga kecewa pada kaka nya itu. Bulek Tatik sendiri tak habis pikir dengan adiknya nya Susan dan juga adik iparnya Sugen. Kenapa mereka berbuat seperti ini pada putri-putrinya. Dulu saja Ane yang menelephonenya tengah malam dan menangis memintanya untuk menjemputnya karena adik iparnya. Yang lebih syoknya buat Tatik sendiri adalah pengakuan Ane dan gadis kecil itu memintanya untuk tinggal di rumahnya kalau tidak gadis itu akan kabur dari rumah karena takut kejadian itu terulang lagi. “Uang dari mana sebanyak itu harus ada dalam satu minggu?” sambung Riana. “Apa Ririe harus merampok bank? Atau jual diri?” keluh Riana. “Husssh… nyebut toh nduk. Nggak baik berkata seperti itu. Ririe nggak harus punya pikiran seperti itu. Nggak baik, jangan ya Rie,” pinta Bulek Tatik seraya mengusap punggung tangan Riana. “Bapak pasti nggak akan diam Bulek, pasti dia akan cari kemana Riana pergi. Bapak itu takut sekali dengan ancaman Juragan Doso. "Bahkan Juragan Doso mengancam akan mengambil satu ginjalnya dan juga mata bapak kalau nggak bayar hutang-hutanganya. Rumah butut itu nggak akan laku seharga 500 juta!” “Astagaa… parah banget itu ka! Pantesan bapak minta Ka Ririe buat pulang secepat ternyata buat bayarin hutang bapak,” sela Ane kembali lagi dan ikut nimbrung dengan obrolan kaka nya dan juga Bulek. “Minum dulu tea manisnya ka.” Ane meletakan secangkir tea hangat di meja sofa ruangan tamu, Riana pun berikan anggukan dan mengambil secangkir tea hangat tersebut. Ane menghempaskan panttanya di sebelah Bulek Tatik yang masih menangkan kaka nya yang masih menangis. Menurut Ane, kaka nya itu tidak seberapa dengan apa yang Ane rasakan waktu tiga tahun yang lalu. “Untung Ane dulu cepet kabur ka ke rumah Bulek Tatik. Kalau enggak, Ane sudah nggak tau mau jadi apa di sana,” kata Ane pelan seraya mengingat kejadian tiga tahun yang lalu. Riana langsung melepaskan pelukan Bulek Tatik lalu pandangi adiknya dengan kernyitan bingung. “Maksud kamu apa?” “Kabur?” tanya Riana bingung. Ane mengangguk pelan. “Emangnya kaka percaya sama omongan bapak sama ibu kalau Ane mau tinggal di Jakarta dan sekolah di tempat yang mahal di sini?” Riana menggeleng pelan, tidak tahu masalah itu. Tidak ada yang menceritakan kenapa adiknya memutuskan untuk stay di Jakarta bersama dengan Bulek Tatik. Bapak sama Ibunya hanya meminta biaya sekolah adiknya di tambah sedikit karena Ane sekolah di sekolah elit. “Ane mau di jual sama bapak buat ngeluasin hutang Bapak yang kalah judi!” Mata Riana sontak membulat sempurna, kaget bukan main mendengarkan penuturan adiknya. “Yang bener An. Kamu lagi nggak bercanda kan sama kaka?” Ane menggeleng tidak. Mana mungkin ia berbohong pada kaka nya, saksinya saja Bulek Tatik dan Mas Dimas yang menjemput Ane di rumah temannya saat Ane di ajak Bapaknya ke hotel. Riana masih syok. Cerita apa lagi yang nggak Riana tau selama ini? Bagaimana bisa bapaknya sejahat itu pada putrinya sendiri. Riana masih nggak menyangka dan juga nggak percaya. “Kaka kaget kan? Pasti kaka nggak akan percaya cerita Ane. Tapi di sini Bulek sama Mas Dimas yang jadi saksinya. "Mereka sampai rela nyusulin Ane ke Solo dan menjemput Ane di rumah Ratih.” Riana memandangi Bulek Tatik butuh penjelasaan di sini. Sama sekali Riana nggak habis pikir sama kedua orang tuannya. “Itu kenyataanya Ka. Bapak mengajak Ane ke hotel buat temenin Pak Hari semalam!” sambung Ane. Lagi lagi bibir Riana menganga dan bertanya-tanya di dalam hati. Apa Bapaknya sudah nggak waras sampai harus menjual adiknya yang baru kelas tiga smp itu? Lagi lagi Riana menggeleng tidak percaya, mau percaya pun rasanya sulit tapi Riana pikir-pikir lagi dengan sifat kedua orang tuannya yang minus pun membuat Riana setengah yakin dengan cerita adiknya. ‘Tunggu dulu tadi apa kata Ane, teman semalam?’ “Maksud kamu teman semalam itu apa An?” Ane mendengus pelan. Beginih kalau cerita sama perawan tua, jadi nggak paham dengan bahas yang baru saja Ane katakan pada kaka nya itu. Masa iya Ane harus mengatakan secara prontal kata yang nggak pantas itu di depan Bulek Tatik? “Kaka ini sudah uzur jadi nggak paham deh. Udah aku perhalus juga bahanya tapi masih saja nggak ngerti!” Kening Riana berkerut, pikirannya lagi melayang layang ke mana-mana. “Bapak itu minta Ane buat puasin Pak Hari semalam, setelah itu hutang bapak lunas!” “Bercinta? Muasin Om-om?” seru Riana secara gamblang membuat Ane yang duduk di samping Bulek Tatik pun mendengus pelan seraya memijit keningnya yang mendadak pusing dengan perkataany kaka nya. “Itu jual diri dong?” seru Riana dengan bodohnya memasang wajah terkejut. Seharusnya sejak awal terkejutnya ini malah belakangan. Ane menghela napas pelan berupa sabar bila harus bicara dengan kaka nya. “Lebih tepatnya bapak yang jual Ane Ka, bukan Ane yang jual diri. Sudi banget!” decak Ane. “Masalah kalian itu sebenarnya sama. Di jadikan alat buat bayar hutang Bapak mu itu,” kata Bulek Tatik angkat bicara. Kedua kaka beradik pun mengangguk membenarkan. Bulek Tatik pun langsung meceritakan kejadian Ane tiga tahun yang lalu kenapa Ane mendadak menangis di tengah malam meminta Buleknya menjemput sekarang juga. Sudah saatnya Riana tahu yang sebenarnya jadi nantinya nggak akan salah paham. Ane pun mengatakan pada bapak dan ibunya kalau sudah di Jakarta, ikut tinggal dengan Bulek Tatik sehari kejadin di hotel itu, beruntung waktu itu Ane baru saja selesai ujian dan ia tidak harus repot-repot mengurus semua kepindahannya karena Mas Dimas yang mengurus semua. “Riana nggak nyangka Bulek, bapak sama ibu tega banget sama kita.” “Maka dari itu aku ikut tinggal sama Bulek Ka. Aku tinggal di sini bukan dari uang kaka yang selama ini kaka kirim ke Bapak.” Satu Alis Riana terangkat menatap lekat pada adiknya. “Aku datang ke sini di bantu Mas Dimas dan Bulek yang membiayai sekolah Ane. Bukan Bapak sama Ibu ka.” Lagi lagi Riana tersentak kaget. Jantungnya belum saja berdetak normal saat mendengarkan kalau adiknya di jual pada Pak Hari sekarang uang yang selama ini Riana tranfer buat adiknya itu pun nggak pernah sampai. “Lho, terus uang yang selama ini kaka transfer buat uang sekolah kamu lari kemana?” tanya Riana bingung. Ane mengkendikan bahu tidak tahu, karena selama tiga tahun ini Ane sama sekali nggak mendapatkan kiriman apapun dari Bapaknya. Ane ikut berjualan keliling dengan Buleknya untuk tambah-tambah uang sekolah. “Jadi selama ini bapak bohongin Riana?” Ane mengangguk cepat. “Bulek Tatik semua yang biayain Ane sekolah Ka. Bukan bapak dan Ibu. Kiriman buat uang sekolah Ane juga nggak pernah sampai ke Ane ka.” “Terus kenapa kamu nggak bilang sama kaka?” kata Riana dengan nada tinggi. Riana marah, jelas. Sudah empat tahun ia kuliah dan bekerja di Singapore, mati-matian Riana kerja banting tulang buat kirim ke kampung untuk adiknya sekolah. Nyatanya, uang untuk biaya sekolah Ane itu nggak pernah sampai. Riana gendok banget tahu kenyataan yang sebenarnya. Riana bener-bener marah sama kedua orang tuannya. Namun ada hati yang sedih melihat semua beban adiknya di tanggung sendiri oleh buleknya. Riana benar malu dan merasa bersalah sendiri karena Riana paling jarang berkomunikasi dengan kedua orang tuanya apa lagi adiknya sendiri. Apa lagi kejadian ini sudah cukup lama. “Ane nggak telephone kaka itu karena Ane takut ngerepotin kaka dan jadi beban pikiran kaka.” “Tapi kan nggak kaya gituh juga An. Kaka itu kakamu dan kaka selama ini kasih uang buat sekolah kamu tapi nggak pernah sampai! "Kaka jadi merasa bersalah sama bulek sudah nyusahin bule selama ini,” ungkap Riana. Bulek Tatik tersenyum lebar. “Nggak usah merasa bersalah kaya gitu, Bulek ikhlas kok. Lagian kalain berdua kan keponakan Bulek juga.” Riana dan Ane memeluk Bulek Tatikdi samping kanan dan kirinya. Ane dan Riana rasa mereka salah ibu. Kenapa ibu kandungannya tidak sebaik dan sepengertian kaka dari ibunya itu. “Maafkan Riana ya Bulek. Riana nggak tau masalah ini.” “Nggak apa-apah, nduk.” Riana dan Ane mengeratkan pelukannya pada tubuh wanita paruh baya itu sembari keduanya berpikir dalam diam. Hening… Ketiganya masih bergulat dengan pikirannya masing-masing. Tidak Riana tapi Ane juga sama. “Bulek…” “Ya nduk…” Riana menarik napas pelan. “Sebenarnya Ririe itu anak siapa sih? Kok kaya ginih banget rasanya.” Riana menatap langit-langit ruang tamu Bulek Tatik yang sudah nampak rapuh. “Sebenarnya Bapak sama Ibu itu orang tua Riana asli bukan si Bulek?” tanya Riana lagi. Bulek Tatik langsung menurunkan pandangannya menatap Riana lalu bergantian dengan Ane. “Kenapa Ririe bilang kaya gitu hmm?” tanyanya. Tak henti tangannya membelai rambut panjang Riana dan juga Ane. “Ririe rasa kayanya Ririe itu bukan anaknya Bulek. Apa Ririe ini anak tirinyanya? "Anak pungut atau anak orang lain yang sengaja di taruh dalam dus atau kantong keresek di depan rumah Bapak sama ibu?” tanya Riana yang dianggukan Ane juga. Ane pun sempat berpikir seperti itu, kenapa kedua orang tuannya begitu kejam padanya. Bocah berusia 16 tahun pun merasakan hal yang sama. Ia merasa kalau Ane bukan anaknya, seharusnya Ane dan kaka nya itu hidup senang meski serba kekurangan. Tapi kalau kedua bapak sama ibunya sayang dan perhatian sama anak-anaknya mungkin keduanya tidak akan berkata seperti ini. Kehidupannya amat miris. “Huussshh… kalian itu ngaco sekali sih. Ya jelas kamu itu anak Bapak Sugen dan Ibu Susan adik Bulek.” “Tapi kok mereka jahat banget sama kita Bulek,” keluh Ane masih sakit hati dengan sikap banyaknya. Banyangkan saja di usai ana yang baru saja 14 tahun harus menemani seorang bapak-bapak selama semalam di kamar hotel. Apa itu nggak kejam namanya? “Kalau Bapak Sugen sama Ibu Susan bener-bener Bapak Riana. Kenapa mereka meminta Riana buat membayar hutang-hutang Ririe sama Bapak?” Bulek Tatik setengah bangkit dari duduknya, menatap Riana. “Maksudnya gimana?” “Bapak minta Ririe buat bayar semua uang yang sudah mereka keluarkan. "Dari Ririe lahir sampai Ririe Sma. Ririe harus membayar semuanya Bulek,” kata Riana menatap dengan kedua mata yang basah. “Astagfirulloh, masa iya bapak kamu berkata seperti itu Rie.” “Sumpah Bulek, Ririe nggak bohong. Riana menolak buat bantu bapak cari uang 500 juta atau menikah dengan Juragan Doso. "Ririe nggak pilih dua-duanya. Lalu bapak minta Ririe buat bayar hutang-hutang selama Ririe lahir sampai sekarang Bulek…” adu Riana dengan tangisan. Dadanya sesak mengingat perkataan bapaknya hatinya hancur sekita ketika bapaknya berkata seperti itu. Itulah yang membuat Riana datang-datang langsung menangis dan memeluk Bulek Tatik. Riana masih memikiran perkataan bapaknya yang kelewat kejam. Bulek Tatik ikut menangis. Adiknya itu sudah keterlaluan dan adik iparnya pun sudah keterlaluan pada putri-putrinya. Sebagai orang tua, itu sudah kewajibannya memberikan putri nya yang layak membiayai semua kebutuhan anak-ankanya itu adalah sudah kewajiban kenapa sekarang malah di hitung jadi hutang? “Riana!” "Pulang Riana!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD