Chapter 5
The Traitors
"Aku tidak menyukai pria tadi," ucap William yang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju tempat tinggal mereka.
Di sampingnya, Grace terkikik mendengar pernyataan William. "Kau tidak menyukai semua pria yang ada di sekitarku."
"Aku tidak suka istriku ditatap pria lain."
Grace memutar bola matanya. "Bagaimana mungkin kau berbicara seperti itu, sedangkan istrimu berprofesi sebagai model."
Sudut bibir William terangkat mengingat bagaimana cara Sean menatap Grace, pria itu seolah menginginkan istrinya. "Batalkan saja kontrak konyolmu dengan desainer gaun pengantin itu."
Grace menatap William dengan tatapan memperingatkan, ia menyipitkan sebelah mata sambil menghela napasnya. "Kau mulai bertingkah pencemburu dan tidak masuk akal lagi."
"Kau akrab dengannya." Itu adalah sebuah tuduhan, sama sekali bukan pertanyaan maupun pernyataan.
Grace mencoba mengingat-ingat pertemuan terakhirnya bersama Sean di Moscow, juga percakapannya tadinyang sama sekali hanya percakapan untuk berbasa-basi. "Sama sekali tidak, kami hanya berjumpa beberapa kali."
"Jadi, dia sering mengontrakmu?"
"Ford memberiku pekerjaan, aku hanya menjalankannya."
William tersenyum sinis. "Dia teman mantanmu yang menyebalkan itu?"
"Kau masih saja sinis kepada Ford, dia tidak seperti itu." Yang menyebalkan dari Ford hanya sewenang-wenang terhadap pekerjaan. Selebihnya, desain sepatu yang dicuri oleh Halifa atas perintahnya. Dimata Grace, Ford pria yang baik terlepas dari dua hal itu.
William tidak menyahut, sekilas ia melirik ke arah Grace lalu kembali berkonsentrasi pada mobil yang ia kemudikan.
"Dengar, kau tidak perlu cemburu pada Sean."
William tertawa. "Aku? Cemburu pada pria itu?" tanyanya di sela tawanya yang terdengar sombong.
"Memangnya apa namanya jika bukan cemburu?" Grace balik bertanya dengan nada bersungut-sungut.
"Dia bukan levelku, lagi pula...." William menggantungkan kalimatnya karena mereka telah tiba di basemen parkir tempat tinggal mereka.
"Lagi pula apa?" Ekspresi Grace tampak jail saat menanyakan hal itu kepada William.
William tertawa mengejek. "Biasanya desainer pria, kemungkinan ia...."
Grace menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya tepat di depan wajah William sambil menyeringai. "Kalau begitu masalahnya selesai, kau tidak perlu khawatir. Anggap saja ia seperti Khaim."
William mengerutkan kedua alisnya. "Khaim?"
"Oh, astaga. Apa aku belum menceritakan padamu?" Sepertinya memang belum.
William melepas sabuk pengamannya begitu juga Grace. "Siapa lagi Khaim?"
Kenapa begitu banyak pria di sekitar Grace?
Memikirkan hal itu membuat William merasa geram karena istrinya ternyata dikelilingi oleh banyak pria dindalam hidupnya selama lepas dari pengawasannya di Moscow.
"Nanti saat sepatu desainku diluncurkan, aku akan mengenalkan Khaim padamu."
William beringsut menghadap ke arah Grace, ia menyipitkan matanya. "Aku tidak suka menunggu."
Grace menepuk-nepuk pipi William dengan pelan. "Dia desainer sepatu di Rusia, dia... yang mengajariku banyak hal di sana, dia seperti saudara bagiku."
"Saudara?"
Grace memutar bola matanya keren ia membaca pikiran William. "Tentu saja berbeda dari kita, dia menyukai pria." Ia terkekeh lalu melanjutkan ucapannya, "andai ia tidak menyimpang, aku yakin, ia akan menyukaiku."
Ekspresi William tampak masam. "Bagaimana denganmu?"
Jika Khaim normal, aku juga nyaman bersamanya, mungkin aku tidak akan kembali ke London. Tetapi, jika aku tidak kembali, mungkin cerita hidupku berbeda, mungkin tidak akan ada asmara diantara kita.
Grace diam-diam tersenyum memikirkan jalan hidupnya yang berliku, ia mendekatkan bibirnya ke dagu William, ia mengecup dagu William dengan lembut lalu menggigitnya pelan. "Aku menyukai ekspresi cemburumu itu, pertahankan saja."
Beberapa detik kemudian Grace telah melenggang keluar dari mobil meninggalkan William, setelah beberapa langkah ia berbalik ke arah William yang sedang menutup pintu mobil, wanita itu menjulurkan lidahnya untuk mengejek suaminya.
William membanting pintu mobilnya, ia menekan kunci mobil lalu melangkah dengan langkah kaki lebar menyusul Grace. "Kau menggodaku?"
Dalam satu rengkuhan, tubuh Grace telah berada di dalam gendongan William. Grace terkekeh, ia melingkarkan lengannya di leher William. "Bagaimana jika ada orang melihat kita seperti ini?"
"Biarkan saja mereka berpikir jika ini cinta sedarah." William melangkah menuju pintu bagian belakang yang menghubungkan ke lift yang berada di area basemen parkir gedung tempat tinggal mereka. Tanpa menurunkan Grace dari gendongannya, ia merogoh saku celana untuk mengeluarkan kartu akses pembuka pintu.
Grace tertawa. "Bermain kucing-kucingan denganmu tidak menyenangkan."
"Oh, ya?" William menaikkan sebelah alisnya. "Lalu, bermain apa yang menyenangkan?"
Grace membeliak. "Tidak apa pun!"
"Kau yakin?"
Pipi Grace memanas. Permainan bersama William yang menyenangkan tentu saja sangat banyak, contohnya mereka nyaris melakukan hal yang menyenangkan di kapel beberapa jam yang lalu. Tetapi, ia tidak ingin terang-terangan mengakuinya.
"Turunkan aku," pinta Grace dengan nada seolah-olah ia serius saat mereka tepat berada di depan pintu lift yang masih tertutup. Faktanya ia sangat menyukai berada di dalam gendongan William.
"Ingin mencoba bermain di dalam lift?" William menaikkan sebelah alisnya, tatapan matanya tampak jail, tetapi menggoda.
Grace membeliak. "Jangan konyol!"
William terkekeh, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Grace. "Malam ini, kau kubebaskan. Tapi, besok pagi, tidak ada ampun, sayangku."

***
Meghan menggulung rambutnya yang basah menggunakan handuk, bibirnya mengulas senyum menatap Calvin yang sedang mengeringkan rambutnya melalui pantulan cermin yang berada tepat di depannya.
"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Meghan sambil mengaplikasikan krim ke kulit wajahnya.
Calvin yang hanya mengenakan handuk di pinggangnya menyugar rambutnya, sudut bibirnya terangkat mengulas senyum licik. "Jika perusahaan keluarga Johanson kehilangan 20% sahamnya, aku yakin, perusahaan kita bisa melampaui mereka."
"Kau melakukannya dengan baik, sayangku." Meghan meletakkan pot krim malam di tangannya ke atas meja lalu membalikkan tubuhnya, ia melingkarkan lengannya di pinggang Calvin. "Akhirnya Willy menerima tawaran kerja sama dari kita dan... kita bisa mulai mengamati sistem perusahaan mereka yang selama ini bagaikan banteng."
"Selama bertahun-tahun berteman dengan Willy, aku belum melihat kelemahannya. Kurasa dalam bekerja sekalipun, kelemahannya sulit ditemukan." Calvin mendaratkan bibirnya di kulit leher Meghan, menjelajahi leher indah istrinya, sesekali ia menjilat dan menggoda kulit istrinya menggunakan lidahnya membuat Meghan mengerang.
"Kita telah menemukannya." Meghan menarik handuk yang Calvin kenakan, tangannya langsung menggenggam benda keras yang tidak lagi terbungkus apa pun.
Jika saat remaja persahabatan mereka tulus, seiring berjalannya waktu, persahabatan menjadi bumerang bagi sebagian orang manakala mereka berada di dalam lingkaran bisnis dan terlibat persaingan meski persaingan itu tidak menonjol dan tidak pernah ditampakkan.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan rate bintang!
Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.