Chapter 4
My Cousin
“Sekarang beri tahu aku,” erang Grace sambil perlahan menggoyangkan pinggulnya dengan pelan.
Mata keduanya bersobok, saling mengunci. Grace menatap William yang berada di bawahnya dengan sorot mata memohon, juga mendamba, sedangkan William menatap Grace dengan tatapan penuh cinta, juga gairah yang membara. Membakar seluruh jiwanya.
“Kau yakin ingin mendengarnya?”
Grace mengangguk lemah seolah tidak berdaya, ia memang terlalu lemah setiap kali William memenuhi tubuhnya.
“Kau akan cemburu jika mendengarnya.” William mencengkeram kedua pinggul Grace, mengangkatnya dengan rendah lalu menghunjamkan dirinya dalam-dalam ke dalam tubuh Grace yang sempit dan hangat.
Grace terengah, Ia mencengkeram kedua bahu William, nyaris menjerit karena William terlalu dalam memenuhinya. Tubuhnya bergetar hebat oleh kenikmatan yang menerjangnya seperti badai, ia menempelkan bibirnya di bibir William, mencumbu bibir suaminya dengan serakah. Menghisap lidah William seolah hanya William yang mampu memuaskan dirinya yang sedang dahaga.
“Jangan terlalu bergerak, Sayang.” William berbisik saat tautan bibir mereka terlepas.
Grace menguasai dirinya, ia perlahan mengatur ritme gerakannya agar tidak menimbulkan getaran pada mobil yang menjadi tempat mereka bercinta.
“Kalau begitu beri tahu aku.” Grace mengerang, ia tidak bisa terlalu lama menahan dirinya sementara seluruh tubuhnya mendambakan William, bercinta di dalam mobil dengan gerakan yang terlalu hati-hati sama sekali tidak cocok untuknya. Ia menyukai William yang kuat, sedikit kasar, dan bercinta dengan cara yang gila.
William mengelus punggung Grace, kelicikan ia sembunyikan di balik sorot mata berwarna Hazel yang menyorot dengan lembut dan penuh cinta ke arah Grace. “Itu hanya akan membuatmu terluka, aku tidak ingin melukaimu, sedikit pun.”
“Kau mengatakan akan memberi tahu asal kita bercinta di sini.”
Grace menuruti keinginan William untuk meninggalkan kapel tanpa menunggu acara pengambilan sumpah pernikahan Calvin dan Meghan selesai dan ia juga dengan patuh membuka celana dalamnya sesuai keinginan suaminya lalu memosisikan dirinya dinatas pangkuan William.
William tersenyum, ia kembali mengelus punggung Grace pelan. “Kita selesaikan dulu sebelum kita membicarakannya kembali.”
“Jangan bermain trik.” Grace menyipitkan matanya menatap suaminya karena sepertinya mulai menyadari jika William sedang memainkan trik licik.
“Aku tidak suka bermain trik dengan istriku, percayalah.” William mengecup pundak Grace dengan lembut. “Aku mencintaimu, Grace.”
“Kalau begitu, jangan ada rahasia apa pun di antara kita,” pinta Grace dengan suara setengah mengerang karena William menggoyangkan pinggulnya dengan cara yang sangat sensual, tidak terlalu kuat tetapi sangat menggoda.
“Tidak ada rahasia, aku akan menjadi suami yang paling jujur di dunia ini, sayangku.” William menyusuri kulit leher Grace menggunakan bibirnya, berakhir di telinga Grace dan dengan suara pelan ia berbisik, “berikan seluruh dirimu padaku, cintaku.”
William mencium bibir Grace, pinggulnya bergerak semakin cepat diiringi gerakan pinggul Grace yang selaras bersamanya. Bibir mereka bertaut, lidah mereka saling membelai, pinggul mereka saling mendesak, keras, kuat. Grace mencengkeram William semakin rapat, gerakan Grace semakin liar karena gulungan-gulungan kenikmatan yang mendera setiap sel-sel tubuhnya siap hancur berkeping-keping.
“Ya Tuhan, Willy,” erang Grace di sela napasnya yang terengah-engah ketika ia kembali menapak bumi setelah terpental ke langit. “Kurasa mobilnya bergoyang dengan kencang tadi.” Ia tertawa kecil.
“Kau luar biasa” William mengecup pelipis Grace.
Grace menggigit bibirnya, ia menangkup kedua pipi William lalu perlahan mendaratkan bibirnya di bibir suaminya dan berucap, “Sekarang giliranmu.”
William menatap Grace dengan tatapan lembut, ia menyingkirkan rambut yang tergerai di wajah Grace. “Berada di dalammu, sudah cukup.”
“T-tapi tidak adil....”
“Aku mencintaimu, Grace.”
“A-apa cinta pertamamu mematahkan hatimu hingga....” Grace menatap William dengan tatapan mengasihani. Ia mengira jika William pernah mengalami patah hati hingga membuat pria itu sama sekali tidak ingin mengingatnya.
“Jangan menatapku seperti itu,” ucap William dengan nada rendah seolah-olah ia membenarkan apa yang sedang Grace pikirkan.
“Oh, Tuhan.0," desah Grace. "Baiklah, semua orang memiliki masa lalu, aku tidak akan mengungkitnya lagi.” Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, tatapannya menunjukkan jika ia merasa bersalah kerena telah mendesak William mengingat masa lalunya.
“Aku mencintaimu, Grace.” William mengucapkan kalimatnya sekali lagi. Itu bukan tipuan maupun trik, ia memang sangat mencintai Grace dengan sepenuh hati. Dengan seluruh jiwanya.
Grace meletakkan kepalanya di d**a William. “Aku juga mencintaimu.”
William memeluk Grace dengan penuh kasih sayang, bibirnya menyeringai penuh kemenangan. Tetapi, di dalam benaknya, ia merasa tidak habis pikir terhadap wanita yang sedang ia peluk itu. Grace mengenalnya seumur hidup tetapi Grace ternyata sangat mudah diperdaya.
Bagaimana ia menjalani hidup selama berada di luar keluarga Johanson?
Ada rasa marah dan bersalah karena seharusnya ia tidak membiarkan Grace menjalani hidupnya sendiri. Tidak seharusnya di masa lalu ia membiarkan Grace meninggalkan keluarganya.
“Aku tidak akan mengungkitnya lagi,” ucap Grace pelan. “Tapi, maukah kau berjanji sesuatu padaku?”
William mengecup puncak kepala Grace. “Aku berjanji.”
Grace mendongak menatap William. “Aku belum mengucapkan apa pun.”
William tertawa kecil. “Apa pun itu.”
“Jika suatu saat ia datang lagi dalam hidupmu, kau tidak boleh berhubungan dengannya.”
William ingin tertawa keras-keras. Tetapi, ia hanya mengulum senyumnya. “Aku akan menjaga pernikahan kita, hanya kau, satu dalam hidupku. Selamanya.”
“Aku pegang kata-kataku, Tuan Johanson.” Grace menjauhkan dirinya dari William, mengenakan kembali celana dalamnya lalu melihat dirinya di dalam cermin. “Aku sangat berantakan,” ucapnya sambil merapikan rambutnya.
“Kau sangat cantik,” ucap William, ia mengecup pundak Grace.
“Apa aku terlihat seperti telah ditiduri?” Grace menilai penampilannya sendiri lalu menatap William.
William yang sedang menatap Grace mengulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepala istrinya. “Kau terlihat sangat dicintai.”
Beberapa menit kemudian mereka telah berada di pesta pernikahan Calvin dan Meghan, Meghan telah mengganti gaun pengantinnya, kali ini Meghan mengenakan gaun yang lebih sederhana tetapi tidak menghilangkan kesan mewah.
Grace berulang kali mengagumi gaun pengantin yang Meghan kenakan, diam-diam ia juga menginginkan pesta pernikahan yang mewah. Mengenakan gaun pengantin yang indah, dikelilingi keluarga dan sahabat yang silih berganti memberikan doa dan selamat.
William yang berdiri di samping Grace memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celananya, bibirnya mengulas senyum tipis. Ia mencondongkan kepalanya mendekat pada wanita kesayangannya. “Kurasa kita bisa mulai memikirkan konsep pesta pernikahan kita.”
Grace tersenyum, ia melirik William sekilas. “Bagaimana jika aku menginginkan pesta yang sangat mewah?”
“Setibu kali lipat dari mewahnya pesta ini, aku tidak keberatan.”
Grace tertawa pelan, tawa bahagia yang sama sekali tidak ada beban di dalamnya. “Sepertinya aku memang sangat dicintai.”
“Kau harus membiasakan dirimu, aku akan memberikan dunia padamu jika kau menginginkannya.”
“Dari mana kau gelar kata-kata manis seperti itu?”
William menjauhkan kepalanya dari Grace. “Kurasa itu bakat terpendam.” Matanya mengikuti Calvin dan Meghan yang berjalan ke arahnya. “Pesta yang hebat,” ucap William sambil mengeluarkan satu telapak tangannya lalu menyatukan tinjunya bersama Calvin seperti kebiasaan mereka sejak remaja setiap kali mereka bertemu.
“Meghan merancangnya, aku tidak diberi kesempatan untuk andil dalam hal ini,” ucap Calvin dengan nada bercanda.
“Wanita dominan,” ucap William yang disambut tawa oleh Meghan.
“Aku hanya menginginkan pesta pernikahan sempurna seperti yang kuimpikan.” Meghan mengedikkan sebelah bahunya. “Bagaimana denganmu, Grace?”
Grace tersenyum malu-malu, ia melirik William. “Kami sedang memikirkannya.”
“Aku tidak sabar untuk menghadiri pesta pernikahan kalian... andai saja kalian menikah dalam waktu dekat ini, alangkah indahnya jika kita bisa pergi berbulan madu bersama.”
“Aku tidak ingin berbulan madu bersama kalian,” sahut William cepat. “Aku ingin menghabiskan waktuku hanya berdua dengan istriku.”
Calvin tertawa pelan. “Bulan madu bukan tugas belajar kelompok yang bisa kita kerjakan bersama-sama,” ucapnya kepada Meghan.
William tersenyum, begitu juga Calvin. Meghan adalah orang yang paling bersemangat jika menyangkut persahabatan mereka, wanita yang baru saja dinikahi oleh Calvin itu, selalu mengatakan jika persahabatan mereka harus terjalin hingga maut memisahkan.
“Sangat menyenangkan sejak sekolah menengah atas aku memiliki dua pria yang selalu bersamaku, satu sahabat, satu kekasih. Oh, aku merasa saat itu aku seperti tuan putri yang memiliki dua prajurit.” Meghan terkekeh, matanya tertuju ke arah seorang pria yang mengenakan pakaian dengan gaya yang sangat rapi berjalan ke arahnya.
“Sepupuku.....” Meghan melompat ke dalam pelukan pria tampan yang merancang gaun pengantinnya. Sean Miller.
Bersambung....
Jangan lupa ikuti give Away ya kak di sebelah.

Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.