“Rumah orang? Ini rumah adikku sendiri. Kamu tidak berhak mengusir kami dari sini.” Sandra terdengar begitu santai menanggapi sikap absurd Laura terhadap kedatangan mereka.
Wanita itu bahkan sudah duduk manis di atas sofa sambil melipat kedua kakinya. Dari tangannya Sandra melemparkan sebuah berkas ke atas meja juga beberapa gepok uang dari dalam tas mahalnya. Laura memicingkan matanya, tidak mengerti apa yang sedang kakak iparnya itu lakukan.
“Suruh dia duduk, Juan!” titah Sandra pada suaminya yang terdengar seperti majikan pada pembantunya.
Mendengar ucapan Sandra, mata Laura membulat sempurna. Entah apa yang sedang direncanakan kakak iparnya itu tapi Laura merasa itu bukanlah hal yang baik. Laura berusaha pergi, tapi Juan -pria yang selama ini menjadi suami kakaknya itu- hanya menurut saja.
Dengan kasar ia mencekal pergelangan tangan Laura yang berdiri tak jauh dari dirinya dan mendorong adik iparnya itu hingga jatuh ke atas karpet. Hampir saja kening Laura membentur meja jika tadi wanita itu tidak melindungi kepalanya dengan sebelah tangan.
“Buka dan baca berkas itu, lalu tanda tangani! Setelah itu bawa semua uang itu bersamamu, pergi dan menghilanglah dari kehidupan adikku!” perintah Sandra yang sekarang ini sudah menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
Laura yang masih belum paham dengan maksud Sandra perlahan mengambil berkas yang ada di atas meja. Membukanya dengan tangan yang gemetar dan mulai membaca isinya baris demi baris. Matanya yang sembab kini mulai memanas, bahkan wajahnya juga mengeras menahan rasa marah. Bagaimana mungkin Sandra menyuruhnya untuk menandatangani surat gugatan perceraian padahal saat ini suaminya bahkan belum sadarkan diri dan terbaring di rumah sakit.
Tubuh Laura bergetar dengan seluruh kemarahan dalam diri ia berdiri dan melemparkan berkas yang ia pegang sembarang tempat hingga membuat semua isinya berserakan di mana-mana.
“Kamu gila, Kak! Bagaimana mungkin kakak menyuruhku menceraikan Alex? Apa kakak lupa bagaimana kondisi Alex sekarang?” jerit Laura yang sudah tak mampu lagi menahan rasa marah atas sikap keterlaluan yang kakak iparnya itu tunjukan.
“Aku tidak mau! Tidak akan pernah mau meninggalkan Alex sampai kapan pun,” tegas Laura tanpa sedikit pun rasa takut.
Laura membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan kedua orang yang membenci dirinya itu. Tapi tangan Juan lagi-lagi sudah lebih dahulu mencekal lengan Laura, meremasnya dengan kuat hingga wanita itu meringis kesakitan.
Sandra sudah berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati beberapa kertas berserakan yang ada dilantai. Dengan santai wanita itu berjongkok lalu mulai memunguti satu persatu kertas dan mengumpulkannya kembali ke dalam berkas asalnya.
“Ckk ... sejak kapan kamu berubah jadi wanita pembangkang, Laura?” Sandra berdecak melihat reaksi yang Laura tunjukan, lalu melemparkan kembali berkas yang sudah terkumpul itu ke atas meja.
“Kalau kamu tidak ingin cara halus, maka kami juga bisa bersikap kasar kepadamu.” Sandra memiringkan kepalanya agar dapat melihat wajah adik iparnya yang kini menunduk menahan rasa sakit di lengannya.
“Atau masih ingin menolak pun tidak masalah, kami juga bisa melenyapkanmu sekarang juga kalau memang itu yang kamu pilih.” Sandra menyeringai, membuat wajahnya yang biasa cantik kini malah terlihat menakutkan.
Hingga Laura yang tadinya menatap mata Sandra langsung membuang pandangannya sambil bergidik ngeri. Tidak sabar menunggu Laura membuta keputusan, Sandra yang sedari tadi berdiri di depan wanita itu tiba-tiba saja sudah mengeluarkan sepucuk pistol glock dari dalam tas kecilnya. Entah apa saja yang sebenarnya wanita itu bawa di dalam tas dengan logo merk mahal di depannya.
“Tanda tangan atau aku ledakkan kepalamu sekarang juga!” ancam Sandra dengan suara yang sangat dingin.
Tubuh Laura mendadak lemas di todong senjata seperti itu. Entah hanya sekedar ingin menakut-nakuti Laura atau Sandra memang bisa melenyapkan adik iparnya itu dalam sekali tekan, yang jelas ia sudah berhasil membuat adik iparnya itu ketakutan setengah mati.
Tidak ada pilihan lain yang bisa Laura pilih selain menuruti keinginan kakak iparnya yang gila. Dengan tangan gemetar Laura meraih pena yang ada di meja dan mulai membubuhkan tanda tangan di tempat yang seharusnya.
Sandra tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya ia berhasil menyingkirkan benalu dalam keluarganya meski harus menunggu adiknya mengalami kecelakaan terlebih dahulu. Melihat Laura sudah selesai menanda tangani surat perceraian, Sandra langsung mengambil berkas dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa lebar. Seakan memperlihatkan jika dirinya sudah memenangkan sebuah perlombaan dan keluar menjadi juara pertama.
“Juan!” teriak Sandra sambil menggerakkan kepalanya.
Memberi kode pada suaminya yang langsung diangguki oleh pria berperawakan besar itu. Entah mau apa lagi, Juan langsung melepaskan cekalan tangan di lengan Laura. Dan kini pria itu sudah berjalan menaiki tangga menuju lantai atas.
“Hei, mau apa kamu?” cegah Laura yang ingin melarang Juan naik ke lantai atas. Namun gagal karena Sandra sudah lebih dulu menghalanginya.
“Diam kamu di situ!” bentak Sandra sambil melotot ke arah Laura yang mampu membuat nyali adik iparnya itu seketika menciut.
Tak lama Juan turun sudah turun sambil membawa sebuah koper besar di tangannya. Membuat mata Laura terbelalak karena sadar jika koper itu pasti berisi semua barang miliknya. Dugaannya tepat, Juan melemparkan koper itu keluar rumah sedang Sandra menarik pergelangan tangan Laura dengan kasar lalu menghempaskan tubuh ringkih wanita itu hingga terjerembap di tanah.
“Mulai sekarang kamu pergi dan jangan pernah menunjukkan wajahmu lagi di hadapan Alex dan keluargaku! Sekali saja aku melihatmu lagi, maka jangan salahkan aku jika mengirimmu ke dunia lain,” ancam Sandra terdengar begitu mengerikan di telinga Laura.
Ingin rasanya Laura berteriak dan memaki mantan kakak iparnya itu, tapi ketika teringat lagi dengan janin di perutnya ia segera mengurungkan niatnya dan memilih pergi. Semua ia lakukan demi menjaga keselamatan calon bayi yang ada di dalam kandungannya. Yang sampai saat ini tidak ada orang yang tahu selain dirinya sendiri.
Laura berjalan menyusuri trotoar yang sepi, tangannya menarik koper besar yang ada di belakang. Sesekali pandangannya melihat ke belakang, mencari keberadaan taksi yang mungkin bisa membawanya pergi dari kota itu.
Ia masih belum punya tujuan pasti sekarang, dalam pikirannya hanya memikirkan kondisi Alex dan mungkin sebaiknya mencari sebuah hotel untuk tempatnya beristirahat malam ini. Hamil muda seperti ini membuat tubuhnya mudah lelah. Sebuah taksi yang melintas segera berhenti ketika Laura mengacungkan tangannya. Wanita itu segera masuk ke dalam kendaraan yang akan membawanya menuju hotel terdekat.
***
Bandara Juanda Surabaya, pukul 09.00 WIB.
Pesawat dari Jakarta baru saja mendarat di bandara internasional kota Surabaya itu. Di antara banyak penumpang yang turun juga terselip satu wanita yang berjalan sendirian dengan menarik koper besar di tangannya.
Laura menghentikan langkahnya ketika berada di depan terminal kedatangan. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, mencari taksi yang bisa ia tumpangi. Tak perlu menunggu lama, sebuah taksi segera berhenti di depannya ketika melihat Laura berdiri sendirian.
“Nona mau ke mana?” tanya sopir itu dengan ramah.
“Emm ... tolong antar saya ke hotel terdekat, Pak!” pinta Laura yang memang belum tahu harus ke mana.
Wanita itu segera masuk ke dalam taksi, sedang sang sopir masih memasukkan koper miliknya ke dalam bagasi. Laura membuang pandangannya keluar jendela. Semalam ia sendiri yang memutuskan untuk pergi ke Surabaya demi menjauh dari keluarga Atmaja dan memulai kehidupan yang baru di kota besar itu. Walau belum tahu harus melamar pekerjaan di mana, tapi berbekal ijazah S1 dan pengalaman sebagai salah satu staf Bank terkemuka, Laura berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya.
Kalaupun tidak asal ia bisa mendapat uang untuk bertahan hidup saja sudah lebih dari cukup. Beruntung ia masih memiliki tabungan pribadi di rekeningnya juga uang yang Sandra berikan sebagai imbalan sudah mau menandatangani surat perceraian itu. Sungguh mengingat kembali kejadian semalam membuat darah Laura kembali mendidih. Apalagi teringat dengan Alex suaminya, entah bagaimana kondisinya sekarang tapi Laura hanya bisa menahan rasa sedih di dalam hati.
Ia tidak berani melihat Alex di rumah sakit meski untuk terakhir kali karena teringat ancaman yang Sandra ucapkan semalam. Jika wanita itu memang sanggup dan tega untuk menghabisi dirinya jika masih saja berani menemui Alex.
“Semoga aku bisa memperoleh pekerjaan di kota ini,” harap Laura pelan.
Hingga tiba-tiba sopir taksi yang ia kendarai mendadak menginjak rem kendaraannya, menimbulkan suara decitan nyaring ban yang beradu dengan aspal serta membuat taksi terhenti seketika.
“Aduh!” jerit Laura ketika tak hanya kening tapi juga tubuhnya terhempas membentur sandaran kursi di depannya.
Perutnya terasa sakit sekarang, Laura meremas bagian tubuhnya itu sambil meringis kesakitan.
“Ah, sakit sekali.”
Tanpa ia sadari darah segar mengalir turun di kedua kakinya.