Bab 2: Rachel Adinata Pradhikta

1172 Words
Rachel masuk ke dalam toko roti yang juga menjual minuman dingin sambil mengusap keringat di lehernya. Dia berniat untuk mendinginkan diri sebentar, sekalian mengambil beberapa potong roti karena perutnya keroncongan. Hari ini lumayan menyenangkan, dia bisa bolos sekolah dan mengambil alih tawuran yang harusnya dikendalikan oleh kakak kelas. Meski Rachel memiliki wajah cantik dan terkadang suka memoles diri, dia bisa berubah menjadi brutal dan menyeramkan jika sedang menghabisi lawannya. Dia mempunyai kecantikan yang natural dan itu terlihat jauh lebih menarik daripada ketika dia menebalkan wajah dengan memakai make up. Bila Rachel tersenyum, tidak akan ada yang menyangka dirinya sosok gadis nakal yang terkenal di sekolah bahkan kantor polisi sekalipun.             Kepala Rachel celingak-celinguk mencari penjaga yang biasanya keluyuran mengawasi pelanggan. Rachel sempat menguping kalau kamera pengintai yang terpasang di sudut toko tengah rusak. Dia menyeringai menatap kamera kecil tersebut kemudian mengangkat tangannya mengarahkan jari tengah sambil  menjulurkan lidahnya itu ke arah kamera, seperti mengejek. Lalu Rachel kembali pada tujuan utamanya, dia membuka tas merahnya kemudian memasukkan dua bungkus roti ke dalam tas dan lantas segera menarik resletingnya ke tempat semula. Rachel berlagak normal, seolah dia tidak pernah mengambil apa pun, dengan santai dan tenangnya dia berjalan keluar pintu.             Namun, tiba-tiba seorang pengunjung lelaki meneriakinya. “Hei, dia mencuri roti!” Rachel mengumpat. Dia merapatkan tas yang berada di punggung hendak berlari tetapi satpam yang berjaga di depan parkiran lebih dulu mencegahnya.             “Hayo, mau ke mana, Neng?” s**l, umpatnya dalam hati. Lagi dan lagi Rachel tertangkap.                                                                         ***                                      Suara hentakan antara botol dengan meja cukup mengusik ketenangan Rachel. Dia mendesah kesal menatap polisi yang bertugas di hadapannya. Walau terlihat masih muda, gagah, dan tampan Rachel tetap saja dongkol padanya. “Pak, kalo mau tanya, tanya aja nggak usah malu-malu.”             Bima, polisi itu tersentak ketika mendengar Rachel menggerutu. Dia menatap gadis di hadapannya takjub. “Baru kali ini saya dengar ada orang yang sedang diinterogasi minta ditanyain terus.”             Rachel mendecih. “Gue bosen tau nggak, di sini mulu. Nggak ada makanan apa? Gue laper.”             Bima terkekeh. Dia memang sudah mendengar berita tentang Rachel, si gadis brutal yang hobi keluar masuk kantor polisi karena ketahuan mencuri. “Kamu masih bisa santai setelah mengambil makanan, ya?”             “Terus lo mau gue gimana? Ngamuk-ngamuk? Oke!” Rachel mengacak rambutnya sendiri lantas menggebrak meja seolah-olah dia tengah emosi. Bima memutar bola mata jengah, sungguh, ada apa dengan gadis ini? Mengapa sikapnya sangat aneh dan memalukan.             “Pak polisi gue laper, Pak! Yo, kasih gue makanan, yo, yo, yo!!!” Astaga.   Bima mendesah frustrasi. Rachel malah menggelengkan kepalanya semakin menggila. Bahkan rekan kerja Bima mulai memerhatikannya antara kasihan, ngakak, dan terganggu. Mereka tahu apa yang terjadi pada Rachel namun mereka juga tidak membenarkan kenapa gadis itu selalu bertindak nakal yang berakhir dirinya terseret ke kantor polisi.             “Rachel!” seseorang berseru. Bagi sebagian polisi di sana, kedatangan sosok berwajah kalem itu adalah sesuatu yang melegakan karena hanya dialah yang bisa menghentikan aksi gila Rachel setiap kali dia ditahan. “Berhenti nggak?” Gara menahan kedua lengan Rachel agar gadis itu menyudahi goyangannya. Kemudian manik matanya beralih kepada Bima, meringis pada polisi yang menutup telinganya karena berisik karena suara teriakan Rachel. “Maaf Pak,” ujarnya kalem.             “Ya, ya, bagus kamu dateng tepat waktu,” ungkap Bima bernapas lega. Gara benar-benar tidak enak hati, maka dari itu dia membungkuk, meminta maaf sebesar-besarnya pada seluruh polisi. Sewaktu dirinya di parkiran, Gara mendapat telepon jika Rachel lagi dan lagi berada di kantor polisi gara-gara ketahuan mengambil roti tanpa membayar. Sebetulnya yang lebih berhak menangani masalah ini adalah orang tua Rachel, tetapi ketua kepolisian yang saat ini menjabat berteman baik dengan ayah tiri Rachel. Dia sendiri yang meminta supaya menuruti Rachel untuk memanggil Gara sebagai walinya, meskipun tetap dalam pengawasannya. Ayah tirinya memahami kebencian Rachel pada dirinya.             “Nggak apa-apa,” kata Bima menenangkan Gara yang masih memohon maaf.             Gara tersenyum tipis, dia melirik Rachel melalui ekor matanya, menyuruh gadis itu agar tidak lagi berbuat hal mengejutkan sementara dirinya berbicara dengan Bima. “Jadi, bagaimana, Pak?”             “Seperti biasa semuanya sudah diselesaikan secara baik-baik.” Tanpa perlu bertanya Gara sebenarnya sudah tahu. Fredd, ayah tiri Rachel telah mengeluarkan banyak uang agar Rachel selalu selamat dari segala tuntutan yang ada.             “Berarti gue udah bisa pulang kan?”             Gara menyikut lengan Rachel. “Cel,” tegurnya.             Rachel memberengut kesal. “Gue laper, Gar,” tandasnya mengelus perut.             Bima terkekeh dia menganggukkan kepalanya. “Boleh kok,” dia menyodorkan botol berisikan obat milik Rachel. “Cobalah belajar untuk tidak lagi main ke sini, oke?”             Rachel menaikkan sebelah alis menerima botol tersebut. “Kalo gitu kasih gue uang jadi gue nggak akan nyuri lagi,” Rachel mengulurkan tangannya.             Gara menggeram. “Rachel,” suaranya berubah tajam.             Rachel menarik tangannya lagi, dia lalu memakai tas merahnya di punggung. “Gue cuma bercanda kok,” alibi Rachel membela diri.             Lalu Rachel meninggalkan meja Bima lebih dulu. Gara menunduk sekali lagi mengucapkan terima kasih serta minta maaf akan perlakuan Rachel yang sangat menyebalkan ini.             “Cel!” Gara mengejar Rachel yang sudah menjauhi area parkiran. Gadis itu memasang earphone di kedua telinganya, mengabaikan teriakan Gara di belakang walau dia sebetulnya mendengar samar-samar.             “Rachel!” akhirnya Gara berhasil menghadang Rachel. Dia berdiri di hadapan Rachel mencabut paksa earphone di telinganya. “Bisa nggak sih lo jangan bikin orang lain kesel sama sikap lo?”             “Oh, lo kesel sama gue? Kalo lo kesel kenapa lo selalu dateng? Kenapa lo nggak pergi aja dan tinggalin gue sendiri?!” Rachel mencecar Gara. Raut wajah gadis itu menunjukkan jika dirinya sedang tidak ingin berdebat. Temperamen Rachel sedang buruk akhir-akhir ini. Gara harus ekstra hati-hati ketika berucap, jika tidak Rachel bisa mengamuk.             “Gue cuma mau lo berhenti melakukan hal yang hanya merugikan diri lo sendiri, Cel. Kalo lo butuh uang atau sesuatu kan bisa hubungi gue. Jangan kerjain semuanya sendiri karena lo punya gue,” terang Gara. “Sekarang kita pulang, oke?” Gara menggenggam tangan Rachel hangat. Suaranya lembut menenangkan jantung Rachel yang berdegup karena emosi. Dia kelaparan dan menstruasi hari pertama menjadi kombinasi yang cukup membuat harinya tersiksa.             Namun, Rachel terdiam. Sorot matanya berganti menjadi kosong. Dia memandangi tangan besar Gara kemudian perlahan-perlahan dia menaikkan pandangannya hingga menemukan sosok yang selama ini dirindukannya berdiri tepat di depannya.             “Kita pulang, oke?” Orang itu adalah Raga.             Di lain sisi, Gara menyadari perubahan cara tatapan Rachel padanya. Ada yang salah dan dia tahu apa penyebabnya. Gara menggerakkan tangan Rachel agar gadis itu tidak lagi berhalusinasi. Rachel merasakan guncangan bayangan Raga di matanya berangsur-angsur berganti menjadi Gara. Dia mengedipkan matanya cepat, kini ingatan dua jam lalu ketika dia mencuri roti terbayang di kepalanya. Tidak, ini semua kesalahan. Rachel meneguk ludah kelu. Dia lalu melepaskan tangan Gara yang menggenggamnya, dan lantas berbalik memunggungi Gara. “Ayo, tapi kita makan dulu. Gue laper.”             Di belakang, diam-diam Gara memperhatikan Rachel. Sebersit rasa sakit hati itu muncul setiap kali Rachel tidak bisa mengenalinya sebagai Gara.             Mau sampai kapan lo menganggap Raga ada, Cel? Gara membatin sedih dalam hati.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD