Satu

2804 Words
Kita mungkin salah satu keajaiban dunia, ketemu langsung gencat senjata padahal baru saling menyapa. "Kenalin nama gue Bulan Acalista, umur gue 16 tahun. Btw, kemaren gue gak ikut MOS. So, mungkin ini first time kalian liat muka gue. Salam kenal ya, " ujar Bulan di depan papan tulis. Tepatnya di hadapan semua murid 10 Ipa 3. Matanya menatap jemuh rekasi seisi kelas. Gak jauh berbeda sama reaksi Elina di pojok kanan sana. Mereka melongo dengan kerutan di dahi. Apa yang salah? "Apa kamu punya saudara di sini?" Bulan menoleh pada suara tegas Ibu Lia, sang wali kelasnya. "Maksud ibu, apa kamu punya abang atau kakak di sini?" lanjut Bu Lia memperjelas pertanyaanya. Bulan mengangguk. "Saya punya abang di sini," balas Bulan yang membuat seisi kelas heboh bisik-bisik. Apaan dah, batin Bulan kesal. "Assalammulaikum, Bu." Bulan menoleh ke daun pintu. Itu cogan tadi, batin Bulan. Lagi-lagi dia ketemu mata dengan cowok ganteng dengan setelan urakan seperti brandal. Cowok itu meletakkan buku-buku tebal di atas meja Bu Lia asal. "Udah tuh Bu bukunya," ujarnya dengan nada tak ikhlas. "Ibu gak usah bawa saya ke Bu Rumi lagi deh." Bu Lia terkikik, cowok itu emang paling anti sama rekannya, Bu Rumi—guru Bimbingan Konseling. "Iya, udah sana kamu duduk aja." "Nah gitu dong, Bu." Raut bahagia menghiasi wajah Bumi yang merupakan pahatan sempurna Sang Kuasa. "Sekali-kali berbuat baik sama murid kan gak ada salahnya." "Kamu mau cermah apa mau duduk?" balas Bu Lia lalu mengangkat penggaris besinya. Bumi langsung terkekeh. "Saya duduk aja deh," ujarnya lalu menghampiri bangkunya di pojok kiri ruangan, urutan ke dua dari depan. "Ok, jadi kamu punya abang di sini?" ulang Bu Lia dan Bulan pun mengangguk. "Kalau ibu boleh tahu siapa namanya?" "Assalammualiakum, Bu." Teriakan anak cowok di ambang pintu itu membuat atensi Bu Lia berpindah dari Bulan. "Maaf saya telat lagi. Jalanan macet banget, Bu. Itu antrianya panjangggg sampai tak terkira," celoteh seorang anak cowok berkulit putih layaknya chinesee. "Kamu lagi!" desis Bu Lia jemuh. "Bulan kamu duduk di sebalah Jonah sana." Seorang cowok berwajah datar mengangkat tanganya. Dia duduk di bangku paling depan pojok kiri. Bulan lantas berjalan pada cowok tersebut sementara Bu Lia menjewer telinga cowok Chinese di ambang pintu. "Gue Jonah." Bulan yang baru saja duduk lantas menoleh ke samping. Dia mengulas sedikit senyum, lalu menjabat tangan cowok itu yang terulur. "Gue Bulan," ujar Bulan lalu menarik balik tanganya. "Gue Bumi." Bulan menoleh ke belakang. Oh, cogan urakan itu. "Gue Bulan," kata Bulan acuh. Bumi berdecak. "Ck, giliran sama gue lo gak mau senyum." Bumi tidak terbiasa diperlakukan sedemikian oleh cewek langsung protes. Bulan sendiri malah mengedikan bahunya acuh, membuat Bumi bersungut kesal sementara Jonah menahan tawa. "Most wanted." Bulan melirik pada Jonah yang berperawakan jangkung dengan wajah dingin. Alisnya saling bertautan. "Siapa?" "Dia." Jonah melirik sekilas Bumi yang sedang bertopang dagu . "Oh," balas Bulan acuh. "Gue first ngelihat dia aja udah paham kalau di cogan. Tapi indra ketujuh gue berkata kalau dia rada eror." Bulan memelankan suaranya pada kata 'eror'. Bumi yang kupingnya panjang jelas tidak tuli akan hinaan tersebut. "Emang," balas Jonah lalu terkikik. "Sialan lo! Baru juga jadi anak baru tapi udah gak sopan aja sama gue. Lo tahu gak gue siapa hah?" gusar Bumi menaikkan suaranya. Kebetulan sekali Bu Lia lagi mengintrogasi Si Chinasee di luar. Bulan bukannya menjawab tapi dia malah terkikik. "Eh, lo malah ngetawain gue. Wah, ini bendera perang nih?" Bumi menaikkan lengan bajunya hingga menampakkan otot lengannya yang seksi. "Gak usah sok buka-bukaan lo. Itu otot masih kalah sama punya Andrew Taggart aja bangga," cibir Bulan sambil memiringkan tubuh ke belakang. "Wah, apa-apaan nih lo bandingin gue sama itu bocah. Ada niat terselubung apa lo heh?" Bulan memutar bola matanya malas. "Bener yang kita bilang dia emang eror," bisik Bulan pada Jonah. Bumi yang naik darah tiba-tiba menarik kuncir kuda Bulan. Dia tidak pernah menerima perlakuan terhadap semacam itu dari cewek manapun, hal wajar kalau ia marah seperti dipijak harga dirinya. Bulan memekik lantaran karet rambutnya putus. Alhasil rambutnya tergerai sempurna. Bulan benci hal itu. Aura panas langsung mengelilinginya. "Sial! Lo cari masalah sama gue hah?" berang Bulan lalu terang-terangan menatap dua manik gold Bumi tajam. Cowok itu tak mau kalah. "Tadi lo duluan yang mulai, bego." "Apa lo bilang gue b**o? Heh ngaca dong lo di cermin sono. Sebanding gak otak lo sama gue?" Bulan bahkan tak segan melempar buku tulis Bumi ke wajah cowok itu. Dia punya prestasi segudang, terutama akademik. Tidak ada yang bisa mengatakannya bodoh, itu tidak sesuai dengan fakta lapangan. Bumi mengerjapakan matanya. Jaguar emang cantik tapi kalau udah marah emang ngeri, pikirnya. "Lo suruh gue ngaca? Heh Jaenab, asal lo tahu aja ya gue ini kapten basket handal se-ibu kota. Lo yang harusnya ngaca, oon." Bulan memukul lengan Bumi keras dengan buku yang ia ambil dari meja cowok itu. "Heh, suparman. Siapa yang nanya lo jadi kapten basket heh? Gue bilang otak lo gak sebanding dengan gue, oon. Lagian Michael Jordan menang olimpiade tingkat Internasional aja gak songong kayak lo." "Eh, tukang KDRT. Pertama gue bakalan laporin lo ke polisi, karena lo udah mukul lengan antik gue." Bumi mengangkat lengannya. "Kedua lo lupa atau emang oon sih. Main basket itu butuh strategi. Strategi itu otak yang ngatur. Mabuk lo bilang otak gue gak sebanding dengan lo. Heh, FYI olahraga itu membutuhkan kerja otak yang lebih daripada belajar," cecar Bumi geram. Bulan memutar bola matanya malas melihat cowok itu celoteh. "Bodo amat," balas Bulan acuh. "Gue gak ada nyuruh lo jelasin itu semua." "Idih, emang bikin naik darah ya lo, Jaenab. Tadi lo sendiri yang mulai. Giliran gue jelasin amnesia lo. " Brug Bulan menggebrak meja kuat. Seisi kelas menjatuhkan dagu melihat pertangkaran keduanya. "Nama gue bukan Jaenab, b**o!" "Dan nama gue bukan Suparman," balas Bumi tak mau kalah. "Lo tadi yang mulai duluan ngatain gue Jaenab, g****k," geram Bulan memukul lengan Bumi. Cowok itu meringis. "Gue lupa. Kayaknya gue gak pernah ngomong kayak gitu deh. Otak lo error nih," balasnya santai. Bulan melirik kanan dan kirinya mencari properti yang bisa membantunya. Yuhuu, sebuah penggaris besi di hadapan Jonah menjadi senjatanya. Plak "Anjirrrr, tangan gue sakit b**o!" teriak Bumi kala penggaris besi menyentuh keras lenganya. Dasar cewek jelek plus psycho, desis Bumi dalam hati. "Lo emang butuh di kasih pelajaran nih kayaknya." Bumi berdiri dan berjalan mengikis jarak dengan si gemuk Bulan. "Come on sayang, sini gue pites ginjal lo." Cewek itu mengangkat penggarisnya sebagai tameng. "Apaan? Lo mau gue pukul lagi hah?" Pletak Bumi tanpa pikir panjang menjitak keras kepala Bulan. Ia sama sekali tak peduli kalau cewek itu geger otak. "Sakit b**o," geram Bulan lalu berdiri dan hendak melayangkan penggarisnya pada Bumi. Cowok itu secepat kilat merebut penggaris di tangan Bulan dan melemparnya sembarangan. "Sekarang mampus lo ditangan gue." Pletak "Jangan songong sama yang lebih tua" Bulan mencoba memukul keras lengan Bumi sebagai p*********n. Tapi cowok itu dengan cepat menghindar. Pletak Lagi satu jitakan keras mendarat di kepala Bulan dengan mudahnya. Ya mau bagaimana lagi, tubuhnya Bumi yang lebih tinggi menindasnya. "Sakitttt b**o," geram Bulan semakin naik darah. Ia dengan gencar menyerang Bumi dengan pukulanya. Saking banyaknya bahkan tak jarang serangan itu kena di badan sasaran. Namun itu bukan apa-apa. Tubuh Bumi kuat dan tidak mudah rapuh pastinya. Tidak mengenal gender Bumi menarik dua tangan Bulan ke belakang tubuh cewek itu sendiri. Alhasil Bulan yang merasakan nyeri meringis minta dilepaskan. Oh, tidak semudah itu Ferguso. "Janji lo bakalan nurut sama gue?" Bumi menawarkan kesepakatan. Bulan menyorot tajam manik Bumi. "Ogah! Bahkan sampai Monas pindah ke Amerika gue tetap gak bakalan mau nurut sama lo, Suparman." "Lo mau gue buat lebih parah lagi heh?" ejek Bumi dengan seringai devil di bibirnya. "Lo mau gue nangis heh?" ancam Bulan. Bumi mengerenyitkan dahinya. Cewek aneh. Tapi sedetik kemudian dia mengangguk. "Nangis aja. sekalian penuhin tuh kolam renang sekolah," balas Bumi sadis. Jonah dengan santainya hanya diam mengamati. Ah, dia memang selalu begitulah.Dasar cowok b**o, desis Bulan geram. "Ibuuuuuuuu," teriak Bulan saat tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan agar Bumi melapaskan kedua tanganya. Bu Lia secepat kilat muncul di ambang pintu. "Bumi!" Guru itu mendelik tajam pada Bumi. Cowok itu langsung beradaptasi dengan memeluk Bulan. Modus, desis Jonah. "Lo sih, tadi kan gue udah bilang jangan lari-lari. Lihat nih tangan lo jadi merah gara-gara jatuh kan. Kalau geger otak gimana? Sayangi tubuhmu, minum yakult setiap hari." Dengan sok perhatiian Bumi menggenggam tangan Bulan, plus dengan mengoceh nasehat untuk mengecoh cara pandang Bu Lia padanya. "Udah jangan teriak lagi. Mana yang sakit?" Bumi gencar memeriksa setiap sela jari Bulan. Drma yang bagus dan membuat Bulan menatap malas d**a dihadapannya. Dasar cowok b*****t! Lihat aja lo nanti batin Bulan tidak terima. Bu Lia yang memang sudah ketinggalan beberapa adegan lantas percaya. "Udah Bulan, kalau sakit ke UKS aja. Makanya kalau di kelas itu hati-hati. Kadang-kadang ada setan yang jahil loh." Iya setanya si Bumi, batin Bulan. "Bumi kamu bantuin dia ya, ibu mau lanjut di luar." Bumi mengangguk. Bulan langsung menarik tubuh dari dekapan Bumi. Dengan sadis ia melompat-lompat di atas sepatu cowok itu. Alhasil Bumi meringis. "Kaki gue b*****t," desisnya tajam lalu mendorong Bulan pelan. "Iya, kaki lo emang b*****t. Sama kayak orangnya, bangsat." Bumi yang sudah tertantang jelas ingin membalas lagi. "Udah damai aja." Keduanya melirik Jonah tajam. "Gak bisa," balas keduanya bersamaan. Jonah memutar bola matanya malas. "Jadi lo berdua mau tinju-tinjuan sampai mati gitu?" Miracle, Jonah mengeluarkan kalimat panjang untuk sekian waktu vakum melakukannya. "Bul, lo anak baru. Ngalah aja napa," ujar Elina ikut nimbrung. Bulan memutar bola matanya malas. Lalu kembali duduk di bangkunya dengan wajah seram. Kenapa memangnya kalau dia anak baru? Harus ngalah? Dimana ia menemukan aturan semacam itu? Mentang-mentang Bumi ganteng, salah pun jadi benar. Bulan mengepalkan tangannya diam-diam. Lihat saja, dia akan membalas. "Nah gitu dong, jadi cewek emang kudu kalem," ujar Bumi duduk di bangkunya. "Merah semua nih badan gue," lanjutnya memeriksa lengan kanan dan kirinya. "Kalau bekas bibir Mbak Lisa sih mending, ini bekas penggaris karatan beuh mana tahan." "Yang gue pukul cuma lengan lo. Kenapa badan jadi di bawa-bawa?" sewot Bulan tak terima. "Iya, Jaenab gue yang salah. Lo mah super bener," balas Bumi tak ingin memperpanjang masalah. "Widih, korban KDRT lo," ujar Jack Januarda, lalu duduk di sebelah Bumi. Nah cowok itu lah yang memiliki kulit paling putih dari seisi kelas. Orang-orang menyebutnya Si Chinase. Bumi yang sedang mengelus lenganya lantas mengangguk. "Iya gue jadi korban KDRT tanpa ikatan perkawinan." "Lah gimana ceritanya?" kepo Jack lalu bertopang dagu. "Eh, ada anak baru. Kenalin gue, Jack Januarda. Cowok baik dan cukup sombong" Bulan yang mendengar itu hanya diam. Dia sedang tidak mood melayani omongan manusia. "Gak mood," ujar Jonah mewakili perasaan Bulan. "Gak mood?" Dahi Jack mengkerut. Tapi gak banyak sampai kayak kerutan professor sih. Maklum dia kan pakai prodak anti aging hehehe. "Eh, lo kenapa gak mood? Ah, gue tahu. Napa cinta lo di tolak sama Bumi, ya? Santuy, Si Bumi mah emang suka sok jual mahal. Bentar lagi kalau udah karatan dia juga bakal obral diri. Yang sabar ya, neng." Bulan membalikkan badannya dengan sorot mata tajam. "Heh, kulit mayat dari mana asal mulanya gue cinta sama si Suparman hah?" sentaknya yang membuat Jack terkejut. Cewek itu membentaknya keras. "Gue gak mood sama sekali gak ada hubunganya sama cinta yang ditolak sama Mr.Bumi. Lagian suka sama dia aja gue ogah." Bulan dengan sinis kembali membalikkan badannya. "PMS," gumam Jonah yang membuat Bumi dan Jack tergelak. Bulan melirik cowok datar itu tajam. Jonah menahan senyum. Tidak, dia tidak pernah bertemu perempuan yang menatapnya galak seperti itu. "Apa?" tanyanya pura-pura tak tahu. Bulan memutar bola matanya malas lalu menjatuhkan kepalanya di atas tas. Ia lelah untuk hari ini. Diam jalan terakhirnya. **** "Ngapain lo duduk di sini heh?" ujar Bumi tak suka kala melihat Bulan duduk bersama Jonah dan Jack di bangku kantin. Pria ganteng itu mendudukan badanya di hadapan Bulan, sementara Jonah dan Jack ada sampingnya. "Gue lagi nanya, Jaenab." Bumi menggeram kala Bulan tak kunjung menjawab pertanyannya. "Benar-benar gak sopan banget lo sama orang ganteng. Perlu gue rukiyah kah?" Mendengar hal tersebut Bulan lantas mengalihkan pandangan dari ponsel di tanganya. "Mau makan lah, bego." Bulan membalas sarkas, benar-benar tidak menjaga image padahal ini hari pertamanya di sekolah. "Gitu aja pakai nanya. IQ lo emang rendah ya?" Lagi-lagi Bulan berhasil menyulut emosi seorang Bumi Aldiatama Azelix . "Wah, lo ngibarin bendera perang lagi nih. Ok, gue terima." Bumi mengangguk-anggukan kepalanya tanda yakin dia menerima peperangan yang dikibarkan oleh Jaenab, alias si Bulan itu. "Heh, Jaenab IQ lo berapa sih kok songong amat. Ah, gue tahu..." "Gak usah banyak bacot lo!" potong Bulan lebih dulu. "Idih, siapa juga yang banyak bacot. Yang ada lo tuh yang banyak bacot, Jaenab," balas Bumi tak terima. Bulan memajukan wajahnya lebih dekat ke wajah Bumi. Cowok itu langsung memundurkan wajah, tatapan tajam dari manik Bulan mengandung magic yang membuat hatinya berdesir. "Heh, Suparman lo kalau banyak bacot ngaku aja. Jangan lempar batu sembunyi tangan deh. Jadi cowok kok gak gentle." Bumi memutar bola matanya malas. "Idih, siapa juga yang lempar batu sembunyi tangan. Yang ada lo tuh yang lempar tangan sembunyi batu." "Gak maksud!" desis Bulan. "Iya, sama kayak lo gak maksud!" Jonah menghela nafas pelan mendengar kalimat-kalimat dua bocah tersebut. "Lo berdua jangan ribut lagi deh. Lihat nih Si muka triplek udah panas kupingnya," kata Jack seraya menunjuk wajah datar Jonah. "Dia yang mulai," balas Bumi cepat. Dia tentu tidak mau di salahkan. Itu prinsip Bumi. Bulan memutar bola matanya malas. "Gue? Heh, yang ada dari tadi lo yang mulai duluan, bego." "Diam!" peringat Jonah dengan nada dinginya. Jack terkikik. "Nah diam kan lo berdua," ejeknya senang. Bumi menatap malas Bulan di hadapanya. "Ngapin lo masih di sini? Pergi sana, tuh masih banyak bangku yang kosong," tunjuknya pada bangku kosong lainya. "Kok lo yang sewot sih. Ini bangku emang punya nenek moyang lo heh? Gak kan? So, diam deh lo. Lagian gue kesini itu sama Jonah kok," cerocos Bulan geram. "Jonah itu kawan gue." "So?" Bulan dengan songong memasang tampang bodo amatnya. Bumi mendengus. "Phuff! Emang susah ya debat sama orang oon," gumamnya sendiri. "Iya, susah debat sama orang oon. Kalau yang ngajak debat itu manusia idot kayak lo," balas Bulan tak mau kalah. Jonah berdiri. Semuanya tentu heboh. Cowok itu kalau sudah marah bisa mengalahkan perang nuklir. "Eh, lo mau ke mana?" sergah Jack. "Mau pesan apa?" Jonah tak mengubris. Ia malah menatap kepada Bulan. Bulan berpikir sekejap. "Gue mau soto, batagor, bakso, ketoprak, sama minumanya guava juice." "Lo mau traktir gue? Gak usah sok-sok baik deh. Masih kaum missqueen aja udah sok traktir-traktiran. Gue masih punya uang kali," cerocos Bumi tiba-tiba. Bulan menyipitkan matanya. "Traktir lo? Hah? Gue nraktir lo?" "Iya lah, lo pesan empat porsi kan? Gue tahu satu porsinya buat gue kan? Gak, gue gak mau ya di traktir orang kayak lo!" "Idih, kepedeaan banget hidup lo! Gue pesan empat porsi itu buat gue sendiri, mas. Ya kali gue mau traktir lo. Ogah, bego." Jack terkikik. "Mampus lo! Makanya jangan kepedean," ejeknya pada Bumi. Cowok itu menatap ke arah lain. "Apaan sih," balasnya tak suka. "Ah cieeee-cieeee malu nih ceritanya," goda Jack menoel dagu Bumi. Cowok itu menghempas kasar tangan Jack. "Jauhin tangan kotor lo dari gue, b**o!" desis Bumi kesal. Rasanya ia tak ingin berniat menatap Bulan dalam waktu dekat ini. Sungguh rasa malu telah berkumpul di wajah dan juga hatinya. Lo sih kepedeaan! desis Bumi pada dirinya sendiri. Seumur-umur baru kali ini dia kepedean tingkat dewa kepada seorang cewek. Dasar Bulan si ajaib! "Jadi?" Bulan kembali menoleh pada suara Jonah yang datar. "Batagor sama ketopraknya di bungkus. Dua nya pakai mangkok aja." Bumi tergelak. "Mau camping lo, Jaenab?" ledeknya yang mendapat tatapan setajam silet milik Bulan. "Bukan urusan lo!" desis Bulan lalu membuka ponselnya. Jonah yang sudah lelah berdiri lantas pergi ke stand kantin. "Eh, gue belum pesan makanan, b**o," heboh Bumi menoleh pada Jonah yang sudah mengantri di salah satu stand kantin. "Udah ah, gue mau pesan makanan. Laper," ujar Jack lalu berdiri dan ikut mengantri bersama Jonah. Bumi melayangkan tatapan tajam pada Bulan. Cewek itu hanya menautkan alisnya, tak takut sama sekali. Bumi berdecak. "Ck, ini semua gara-gara lo sih." Cowok itu bangkit dan ikut mengantri di stand kantin. Bulan mengedikan bahunya acuh, lalu mulai berselancar di blog pribadinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD