8

968 Words
"Bunda, boleh Vito bicara?" Malam ini putraku mendekatiku yang sedang duduk di balkon lantai dua, pemuda itu menggeser kursi sehingga kami duduk berdekatan, memandangi langit malam yang tak lagi berkelipan oleh cahaya bintang. "Boleh aja, Sayang, ngomong aja," ucapku tersenyum. "Apa yang akan Bunda lakukan pada ayah?" "Jujur tidak tahu,apa yang harus bunda lakukan dan kemana hubungan ini, bagaimana kita selanjutnya, Bunda masih belum ada bayang-bayang." "Apa Bunda ingin bercerai?" tanyanya dengan tatapan sedih. "Kalau kalian keberatan Bunda tidak akan melakukannya," balasku "Apa hanya karena wanita bodoh itu, Bunda harus mengalah? kita akan kehilangan ayah. Mungkin saat ini ayah hanya salah jalan, ayah hanya dimanipulasi dan dibodohi, mungkin kita masih bisa memperbaiki ini tanpa harus menghancurkan keluarga," ucapnya dengan suara bergetar. "Bunda kecewa, makin kecewa karena beberapa tahun belakangan Bunda tidak menyadari apa yang terjadi. Di samping itu, sebuah fakta baru terungkap, ayah hanya membagi tunjangan dan bonus pada wanita itu." "Lantas kenapa bunda tidak minta kompensasi, Ayah harus bertanggung jawab! Jika bulan ini Bunda tidak dapat tunjangan dan bonus, maka bulan bulan berikutnya wanita itu tidak boleh mendapatkan apa apa. Jadi adil," ucapnya berapi api. "Bagaimana kalo ayah tidak setuju, di samping itu, ayah punya anak dengan wanita itu," ungkapku resah. "Kalo begitu suruh dia memilih." "Ayah menolak memilih." "Tanyakan pada ayah kepastiannya, ayah tak bisa menyamakan bunda dengan wanita itu, Bunda adalah wanita terbaik di dunia," ucapnya sambil memelukku sebentar, lalu kembali lagi ke kamarnya. Sesaat setelah kepergiannya aku kembali tercenung memikirkan kata-kata anakku, menurutnya aku memang yang terbaik, tapi menurut ayahnya, aku mungkin masih penuh kekurangan sehingga ia menutupi celah kurang itu dengan memiliki wanita baru dalam hidupnya. Namun yang membuatku tak habis pikir, mengapa wanita itu mau-mau saja dijadikan istri kedua? Apakah ia silau pada ketampanan Mas imam yag masih terlihat awet muda di usia empat puluh tiga, ataukah pada penghasilannya? kenapa tega sekali ia menghancurkan rumah tangga kami. Sungguhkah ia murni mengalami kecelakaan lalu mereka berkenalan atau malah Mas Imam yang mengejarnya mati-matian? Aku sudah mencoba usaha untuk melapor ke kantornya, meski respon manager kurang memuaskan namun aku masih tetap berharap semoga atasannya berkenan membantuku untuk menegur Mas Imam. Kalau aku pergi menuntut Mas Imam ke atasan tertinggi yaitu pemilik perusahaan dan berakhir diabaikan lagi, ujung-ujungnya diri ini akan malu, pergi melaporkan ke kantor polisi, polisi pun sepertinya enggan menanggapi sesuatu yang bukan tindakan kriminal. Selagi masih setia pada renungan dan putaran pikiranku, Mas Imam sudah berdiri di belakang. "Aku mendapat teguran dari atasan. Apa kau pergi melapor ke kantorku?" Dia nampak lesu, menghela napas lalu duduk di sampingku, di kursi tempat Vito duduk tadi. "Wah, ternyata atasannya menegurnya, aku senang sekali," batinku. "Apa, aku gak paham, Mas," jawabku acuh, lagi tak mau menatapnya. "Tolong jangan berbohong. Aku sedang bicara serius kepadamu, kenapa kau bisa selancang ini?" "Lancang katamu? Kau itu yang lancang menikah tanpa izinku, untung saja aku pergi ke perusahaan itu dan bertanya, kalau tidak, mungkin sampai sekarang aku tidak pernah tahu bahwa kau menerima tunjangan tambahan dan bonus penutupan proyek lama, kenapa kau lakukan itu padaku dan anak-anak?!" Mau tidak mau aku berdiri, melotot dan meninggikan suara karena tidak mampu menahan. Dipikir-pikir setelah terungkapnya perselingkuhan suamiku, perlahan satu persatu, rahasia yang disembunyikan muncul ke permukaan. Aku makin benci padanya. "Astaga kau ini, uang itu adalah hakku, aku bebas mengaturnya, memisahkannya, melakukan apa saja dengan hasil keringatku. Apa yang kuberikan padamu ada kewajibanku sebagai suami, yaitu, memberi nafkah, harusnya kau syukuri itu." "Masalahnya, nafkah yang kau berikan tidak cukup!" Aku berteriak lantang, tak peduli pada tetangga depan rumah yang mulai membuka jendela balkon mereka untuk mendengar percakapan kami. "Kau ini tidak pandai bersyukur!" "Kau itu yang tidak bisa bersyukur sudah dapat istri yang baik kau masih mencari yang lain." "Untuk apa kucari yang lain, kalau kau sudah baik!" "Lalu apa kurangku, katakan padaku?" Aku mendekat, menabrakkan dadaku dengan dadanya dan menatap sorot matanya dengan taham. "Ayo katakan, apa kurangku?! Kurang cantik berikan uang maka aku akan ke salon! Kurang nikmat dalam bercinta, kenapa tak kau berikan aku uang, agar aku bisa merawat dan meperbaruinya untukmu. Ataukah masakanku kurang lezat, kenapa kau tidak protes? Agar aku bisa mengikuti kelas memasak." "Pikiranmu hanya uang saja!" "Kau pikir, apa yang dipikirkan wanita selain itu? Uang bisa mencukupi kebutuhan wanita dan keluarga, termasuk wanita yang kau nikahi itu, dia mau denganmu, karena uangmu! apa sebagai pria kau hanya memikirkan kenyamananmu saja?!" "Wah, kau ini lama lama memancing emosiku, Kenapa kau begitu egois, padahal selama bertahun-tahun aku tidak pernah berubah padamu. Waktu dan cinta yang kuberikan tetap sama, maksimal, dan aku selalu ada ketika kau butuhkan. Apa kau sadar?" "Itu karena kau menipuku?!" "Hatimu buta, lihatlah Yanti, meski aku telah menikah dan tanpa kamu sadari sudah memiliki anak, rumah tangga kita tetap baik-baik saja. Sebenarnya apa yang membuatmu begitu jahat apa kau begitu dengki dan cemburu kepada istriku?!" Astaghfirullah sombong sekali dia, dan teganya dia mencabik perasaanku dengan menyebut wanita itu istri di depan wajahku. "Ya, aku dengki, aku cemburu, murka karena tipuan dan ketidakadilanmu, sekarang kalau kau masih ingin bersamaku kau tinggalkan wanita itu." "Tidak akan pernah," jawabnya lantang. "Baik, kuanggap kau memilih dia." "Terserah." "Bagus, Jadi kau tidak perlu repot-repot memalsukan slip gaji. semua tunjangan dan bonus bisa kau nikmati dengan Sari dan anak perempuanmu." "Jangan terus menyindir, kau yang seharusnya memohon padaku karena aku yang selama ini menghidupimu." "Itu kewajibanmu, aku istrimu." "Kau hanya wanita yang kebetulan kunikahi, jangan terlalu menuntut seolah kau menggenggam nyawaku." Plak! Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya, namun akibat dari kalimatnya yang tidak bisa ditahan akhirnya tangan ini mendaratkan pukulan di wajah suami sendiri. Ia nampak terkejut terbelalak sambil memegangi pipinya. "Jadi hanya itu nilaiku bagimu?" tanyaku sambil mencengkeram jemari menahan emosi. "Aku akan pergi, mengemasi barangku da tidak akan kembali lagi." "Pergi saja, aku tak membutuhkanmu. Setelah kau angkat kaki maka di titik inilah kita adalah musuh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD