9

1427 Words
"Pergilah, ada atau tidak adanya dirimu sudah tidak berpengaruh lagi dalam hidupku," jawabku lantang. "Aku sudah mencoba sabar dan mengambil hatimu, tapi kau memang berhati batu," ucapnya sambil melangkah, masuk ke kamar, menurunkan koper dari lemari dan memasukkan pakaian ke dalamnya. Sekarang justru dia yang memutar balikkan fakta dan mencoba menyalahkanku, Dia benar-benar tidak punya malu dan perasaan. "Kau pikir semudah itu menerima penghianatan orang lain? kau pikir aku senaif itu! jangan khawatir aku tidak akan mencegahmu pergi justru aku akan membantumu berkemas-kemas," jawabku sambil membuka lemari dan melempar pakaiannya ke lantai dengan kasar. Dia memungutnya sambil mendelik padaku lalu memasukkan secara acak ke dalam koper. Dia pikir aku akan menahannya, hahaha, tidak akan! "Mulai hari ini jangan datang lagi ke rumah ini, aku tidak sudi menatap wajahmu!" "Kau pikir aku bersenang hati mau bertemu denganmu?? kalau bukan demi anak-anak aku tidak akan bertahan sampai sejauh ini." Dia menjawab dengan sengit. "Jangan berkata seolah-olah aku memaksamu dalam pernikahan kita." Emosiku membakar ubun ubun akibat ucapannya. "Intinya, aku memang sudah lelah denganmu, cobalah duduk dan introspeksi diri sendiri betapa kau sungguh egois, sangat melelahkan punya istri seperti kamu!" jawabnya. Siapa yang menyangka bahwa dibalik kebaikannya dia telah menyimpan dendam dan kebencian yang menumpuk numpuk. Apa katanya tadi? Dia bilang aku egois dan menyebalkan? Dia bilang sangat melelahkan rumah tangga denganku? Ah, sakitnya. "Kalau begitu kenapa tidak kau ungkapkan, katakan saja dengan jujur daripada kau menikah dengan sembunyi-sembunyi, tindakanmu adalah tindakan pengecut!" Aku terduduk sambil menutup wajahku mencoba menghalau air mata yang sebentar lagi akan luruh. Hatiku sangat tertusuk mendengar ucapan pahitnya, teganya dia. "Jangan duduk dan menangis seperti itu, aku tidak ingin merasa disalahkan!" Kali ini dia membentak lebih lantang, menutup kopernya dan menjatuhkan ke lantai sampai menimbulkan suara berdebum yang keras. "Kalau bukan Ayah yang salah lantas, lantas siapa yang salah?" Tiba-tiba kedua anak kami sudah berdiri di depan pintu dan menatap kami berdua, lebih-lebih kepada koper yang kini terkapar di lantai. "Kalian jangan ikut campur, demi Tuhan, aku tak mau berkonflik, aku akan pergi," ucapnya menarik gagang kopernya. "Ucapan Ayah sangat kasar, terdengar tidak nyaman di telinga kami, dan Ayah sudah menyakiti hati Bunda." "Ah, sudahlah, aku minta maaf." Dia mengatakan maaf dengan santai, seolah-olah semua masalah akan habis oleh kata maaf saja. "Tolong tunjukkan sikap bertanggung jawab dan betapa hebatnya Ayah di mata kami, belakangan ini kami sangat kecewa dengan perlakuan ayah," ucap Erwin sambil menatap pada ayahnya, sedang pria yang kini menyampirkan tas laptop ke bahunya, hanya terdiam begitu saja. "Apalagi yang harus aku lakukan? aku sudah berusaha untuk membujuk Ibu kalian? aku sudah minta maaf, aku sudah katakan bahwa keluarga kita akan baik-baik saja. Aku sudah memberikannya analogi bahwa selama ini waktu dan perhatianku tetap maksimalz mesti secara diam-diam aku sudah punya istri dan anak lain. Apa lagi yang harus kubuktikan?" "Sudahlah... dia hanya coba mencari pembenaran! Menyingkirlah dan biarkan Ayah kalian pergi," selaku sambil mengemas air mata di pipi. Sebenarnya tidak ingin menangis tapi tak kuasa diriku menahan luka yang ditusukkan oleh kata-katanya. "Ayah sudah memberikan contoh kepada kami, contoh sikap yang sangat memalukan," ucap Erwin dengan nada dingin. "Kalau begitu terserah kalian saja, mau mencontohnya atau tidak! aku akan pergi." Ya Allah... alih-alih dia mencoba minta maaf pada anaknya, alih alih dia khawatir akan sikapnya yang mungkin bisa memberikan contoh buruk pada anak-anak di masa depan, dia malah bersikap acuh dan membiarkan saja. Setelah selesai berkemas dia lantas berjalan dan menarik kopernya menyibak di antara kedua anak yang berdiri di depan pintu sambil melangkah tanpa bicara lagi. Dengan cepat dia pergi, meninggalkan kami begitu saja tanpa memikirkan perasaanku, dia tidak ingat sama sekali bagaimana kami telah berjuang bersama dari nol. Benar-benar dari keadaan tidak ada, menjadi ada. Dan kini, Pintu terali pagar terdengar ditutup lagi, menandakan dia sudah pergi. Ah, harusnya air mata ini tidak luruh lagi. Tidak untuknya atau untuk pernikahan yang hancur ini. Kenapa ini terjadi? Kenapa ya Allah? * Esok harinya, Kubuka jendela, membiarkan udara yang berebut masuk mempermainkan anak rambutku, kucoba menatap langit, lalu menghirup udara dalam-dalam, mengisi tubuhku dengan energi dan semangat baru. Ada yang berbeda hari ini, tanaman yang masih kering dan belum disiramkan, hal itu kembali mengingatkanku pada Mas imam bahwa semalam dia sudah pergi dari rumah ini. Hati ini sepi, tapi harusnya aku tidak perlu mengingat atau mengharap kedatangannya lagi. Semua itu akan sia-sia. Kubenahi meja dapur, mengeluarkan alat alat kue, memposting di sosial media bahwa aku akan menerima pesanan kue dan laundry. Ada sedikit tabungan yang akan kugunakan untuk memulai usaha dan membeli bahan, harapanku semoga lancar dan laris, karena usaha inilah satu satunya kemampuanku. Tiga puluh menit setelah memposting tiba-tiba sebuah akun menghubungiku via messenger, dia bertanya tentang apa saja kue yang bisa kubuat dan berapa harganya. Hati ini bersorak gembira karena ada pelanggan pertama. Kunerikan nomor telepon dan tak lama kemudian akun yang berfoto profil wanita itu menelepon. "Halo selamat siang. Apakah Mbak bisa membuatkan saya kue tart?" "Iya, Mbak, bisa. Mbak mau kue tart yang seperti apa?" "Kue ulang tahun yang cukup spektakuler, saya ada budget lima ratus ribu," katanya. "Oh tentu saja, saya bisa buatkan," jawabku. "Silakan buatkan karena sore nanti saya akan datang dan langsung memberikan upahnya." "Apa tidak bisa di-DP dulu Rp.100.000 sebagai tanda jadi?" "M-banking aaya lagi terganggu, Mbak nggak perlu khawatir saya akan datang berikan saja alamatnya," ucapnya meyakinkan. Tadinya aku ragu tapi karena begitu membutuhkan uang karena tak lama lagi anakku harus melakukan praktek kerja lapangan di sebuah kantor, akhirnya kuputuskan untuk menerima orderan wanita itu. Dengan diantar oleh Erwin aku menuju toko kue dan membeli semua bahan kue black forest yang akan kubuatkan spesial sesuai dengan harga yang dia inginkan. Sepulangnya dari toko bahan kue, aku langsung giat sibuk di dapur, kubuat kue dengan hati bersemangat, berharap bahwa mudah-mudahan hari pertama membuka usaha membawa berkah. Sore hari wanita yang bernama ibu Rina itu menelpon dan memberikan sebuah alamat, memintaku datang ke sebuah lokasi yang kuanggap sudah familiar. Wanita itu memesankan kue untuk ulang tahun cucunya. Dan ya, alamat itu sama seperti alamat komplek rumah Mas Imam dan istrinya, ingin rasanya kubatalkan saja orderan karena khawatir ketika berjalan ke sana aku akan berpapasan dengan mereka, khawatir mereka akan mengira bahwa aku sedang menguntit kehidupan mereka, namun karena sudah terlanjur, mau tidak mau aku harus mengantarkan kue itu. "Kalau sudah jadi, segera diantar ya Mbak, nanti saya akan menyuruh cucu saya menunggu di gerbang komplek agar Mbak bisa mengantar ke tempat kami." "Tapi, alamat yang Ibu berikan sudah alamat yang benar kan?" tanyaku berhati-hati. "Sudah, hanya saja saya tidak punya nomor rumahnya karena itu, saya akan minta salah satu cucu saya untuk menjemput Mbaknya ke depan gerbang kompleks. Jangan khawatir saya sudah pegang uangnya." "Iya, baik Bu. Saya akan letakkan kuenya di dalam kotak, lalu segera meluncur ke sana." "Siap, terima kasih." Wanita itu terdengar ramah. "Sama sama." * Motor Erwin memasuki gerbang kompek itu, Sebenarnya ada rasa malas untuk masuk ke sana, seorang remaja sudah menunggu kami dan mengajak kami untuk mengikutinya. "Ayo ikut saya Bu, Nenek saya sudah menunggu untuk membayar kuenya." "Baik, Dek. Ayo." Entah kenapa motor pemuda itu berhenti tepat di depan rumah Mas Imam. Dia tersenyum padaku dan menyuruh kami untuk membawa kue itu masuk ke dalam rumah Sari. "Masuk aja Bu, bawa kuenya." "Tapi Dik." "Nenek saya di dalam." Perasaanku makin saja tidak karuan rasanya, sementara anakku menatap dengan tatapan yang aku paham juga tidak nyaman. "Ayo Bu," ajak anak itu lagi. "Kayaknya aaya nggak bisa masuk Dek," tolakku. "Rian, mana kuenya?" tanya seorang wanita paruh baya dari pintu rumah Sari. "Ini Nek, udah ada." "Kenapa gak masuk?" Tanya wanita itu dengan lantangnya. Di saat bersamaan, Sari yang menggendong anaknya keluar untuk menyaksikan apa yang terjadi, ditambah juga dengan Mas Imam. Rasanya pecah wajah ini dalam rasa canggung dan memanas hati ini melihat mereka yang berseragam dengan corak yang sama. Suasana rumah mereka tentu saja ramai karena pesta ulang tahun akan dimulai, dan sialnya, Ibu-ibu yang mengantar anak mereka untuk menghadiri ulang tahun anak Mas Imam, kini mengarahkan pandangannya ke arah kami. "Kenapa kuenya belum kunjung dibawa masuk Bu?" tanyanya pada wanita yang memesan kue itu, ternyata ibunya sari. "Itu, si pengantar tidak mau masuk kemari." Sang Ibu nampak tidak sabar sedang aku mulai panas dingin tak karuan. Ingin pergi tapi kuenya belum dibayar, aku membutuhkan uang tersebut. "Oh, siapa ya ... Sayang, coba tolong diambil kuenya," pintanya pada suaminya, yang juga adalah suamiku. Mas imam menuruti permintaan istrinya dan apa yang terjadi selanjutnya... bukan hatiku yang kukhawatirkan lebih hancur, tapi hati anakku yang kini menatap nyalang kepada ayahnya. Kami menderita, sedang mereka merayakan ulang tahun dengan gembiranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD