2. Kota Laki-laki

2569 Words
 Hujan tidak bisa lagi mengguyur mereka, Jira mengeluarkan semua kain tebal yang dia bawa untuk menyelimuti kudanya meskipun basah.   "Bertahanlah, Cen Cen. Aku akan ke kota itu untuk mencari bantuan." ujar Jira sambil mengikat tali kudanya di pohon.   Jira berdiri sambil menyeka air di wajahnya, berbalik menatap gerbang kota itu dengan mengerutkan dahi. Kota yang menjadi halangan bagi perempuan. Jira mengepalkan tangan kesal dengan kota didepannya, tetapi dia butuh bantuan dan harus melewati kota itu dalam perjalanan.   "Kota para laki-laki, di mana tidak ada satu pun perempuan. Hah, sayangnya aku harus cari di sana." gumam Jira lalu melangkah.   Bukan karena perselisihan atau dendam dengan kota laki-laki, tetapi pemikiran mereka yang membenci perempuan, menolak perempuan karena tidak berguna, membuat Jira tidak suka. Mereka berpikir bisa hidup sendiri tanpa perempuan. Menurut rumor, masyarakat kota laki-laki memiliki tenaga yang sangat kuat, bahkan satu orang bisa mengangkat sebuah istana. Dalam hati, Jira juga penasaran dengan rumor itu. Jira berhenti dan bersembunyi di balik gerbang. Kepalanya mengintip karena ada dua penjaga di dalam gerbang. Penjaga itu terus berdiri dengan memegang tombak dan pandangan waspada.   'Hujan sederas ini mereka tetap berdiri? Apa memang sehebat itu laki-laki di kota ini? Aku doakan mereka langsung jatuh sakit!' Batin Jira.   Jira memutar bola matanya memikirkan cara agar bisa masuk. Dia perempuan, pasti kota laki-laki akan menolaknya keras. Jira tersenyum saat mendapatkan ide, berjalan mengendap dan memukul leher kedua penjaga itu dengan sangat cepat, hingga mereka pingsan. Jira celingukan waspada agar tidak ada orang yang melihatnya. Lalu, menatap dua penjaga itu kaget.   "Astaga! Mereka besar sekali!" pekik Jira dan segera menutup mulutnya. Matanya melihat sekitar berharap tidak ada yang mendengarnya. Menghela napas lega dan mengusap wajahnya yang terus dibasahi hujan.  "Katanya, orang-orang di sini hebat. Aku pukul sekali saja langsung pingsan," gumamnya.   Berpikir untuk menyamar menjadi laki-laki. Dia akan menggunakan pakaian penjaga itu, tetapi setelah dipikir dua kali, Jira membatalkan niatnya karena jijik. Dia berjalan mengendap-endap mencari sebuah rumah dan akan mencuri pakaiannya. Jira masuk di rumah sederhana, mengambil pakaian yang dia rasa pantas. Mendesah pasrah saat mengganti pakaiannya di rumah itu. Menggaruk badannya yang terasa gatal dan tidak nyaman dengan pakaian laki-laki.   Ingat kalau diluar masih hujan dan kudanya sendirian, Jira segera kembali dengan samaran sempurna. Penjaga itu masih pingsan membuat Jira leluasa keluar-masuk gerbang perbatasan sambil membawa kudanya. Meskipun sedikit susah, Jira tetap berusaha dan dia mulai bersandiwara. Mengatur suaranya agar mirip laki-laki, dia teriak meminta bantuan. Beberapa orang datang dan langsung menolong Jira dan kudanya. Jira dibawa masuk ke sebuah peternakan kuda, mereka sangat baik merawat kuda Jira. Sedangkan Jira tidak ingin meninggalkan kudanya, membuat dia dan beberapa laki-laki itu berada di kandang kuda.  "Kau ini siapa dan dari mana?" tanya orang yang memiliki peternakan kuda.  Jira berdeham sekali dan menjawab dengan nada berat. "Ehm, namaku Ji. Aku seorang pengembara, kehujanan saat tiba di kota kalian," jawab Jira tanpa melihat orang itu. Jira melirik orang itu yang mengangguk tanpa mencurigainya.  "Ah, Tuan Ji adalah pengembara? Selamat datang di kota kami. Aku pemilik peternakan kuda ini. Kau boleh tinggal sampai hujan reda." ujar orang itu sambil tersenyum.   Jira mendongakkan kepala dan tersenyum ramah. "Sepertinya akan merepotkanmu, Tuan. Aku harus melanjutkan perjalanan besok pagi," ujar Jira seperti laki-laki.   "Memangnya, kau mau ke mana? Apa yang kau cari?" tanya salah satu laki-laki yang bergerumul. Jira menoleh. "Ehm, aku sedang mencari sesuatu yang sangat langka." jawab Jira meyakinkan. Orang itu penasaran. "Sesuatu yang langka? Apa itu harta leluhur?"   "Bodoh! Harta leluhur bukan hal langka! Maaf, Tuan Ji. Kalau boleh tau, sesuatu seperti apa itu? Sesama laki-laki, mungkin kami bisa membantu." ujar yang lain setelah memukul pundak orang yang penasaran.   Jira menatap mereka sambil berpikir. Berdeham lagi dengan suara berat. "Terima kasih tawaran kalian. Aku harus mencarinya sendiri. Ngomong-ngomong, ini kota para laki-laki, 'kan?" tanya Jira. Mereka kompak mengangguk dan pemilik peternakan menjawab, "Iya, di sini tidak ada perempuan. Memangnya kenapa?"   Jira membenarkan posisi duduknya menjadi lebih santai dengan kaki terbuka. "Ah, tidak apa-apa. Hanya saja, tebakanku benar. Aku tidak melihat tanda-tanda perempuan di sini," jawab Jira serius.   "Kami menolak keras perempuan! Tuan Ji adalah tamu kami, mohon menghargai!" seru orang yang tadi penasaran.   Jira terlonjak kaget dan segera menetralkan dirinya. 'Orang itu semangat sekali! Aku juga perempuan!' Batin Jira tidak terima.  "Tenanglah, kawan! Tuan Ji hanya bertanya, benar, 'kan?" ujar pemilik peternakan kuda dan bertanya pada Jira dengan senyum.  "Iya, aku hanya bertanya. Kota ini unik, aku rasa akan dapat banyak pelajaran di sini." jawab Jira meyakinkan.   "Hmm, baguslah! Jangan berharap adanya perempuan, Tuan Ji. Itu tidak akan terjadi di kota ini! Teman-teman, ayo pergi!" seru orang itu lagi dan mengajak semua orang pergi.  Dalam hati, Jira berdecak kesal dengan orang itu. Menatap punggung mereka pergi dan mendengarkan mereka yang sedang berbisik.  "Kau jangan marah-marah! Dia itu pengembara!" desis satu temannya menegur.   "Dia membahas perempuan, aku jadi kesal!"   Saat mereka sudah tidak terlihat, Jira langsung bertanya pada pemilik peternakan kuda. "Tuan, siapa orang tadi? Apa dia sangat mudah marah?" tanya Jira berusaha akrab.   Pemilik peternakan tersenyum dan mengangkupkan tangannya, membuat Jira mengernyit bingung. "Maafkan dia, Tuan Ji. Dia adalah adikku yang sangat menentang perempuan. Sifatnya memang pemarah, tetapi hatinya baik," ujarnya.   Jira ternganga, lalu melepaskan tangan pemilik peternakan kuda yang menangkup. "Tidak masalah, Tuan. Ternyata dia adikmu," ucap Jira.  Pemilik peternakan kuda itu tersenyum dengan pandangan penasaran, "Emm, kau bilang sedang mencari sesuatu yang sangat langka, apa itu? Mungkin, aku bisa membantumu." Jira bersandiwara seakan berpikir sangat keras. Dahinya berkerut dan mengetuk dagunya pelan.   'Aku tidak mungkin mengatakan tujuanku pada orang-orang tadi. Bunga identik dengan perempuan, bisa-bisa mereka marah besar, tapi kalau dengan orang ini, sepertinya dia baik.' Batin Jira.   "Sebenarnya, aku mencari bunga melati." jawab Jira menatap pemilik peternakan kuda serius. Pemilik peternakan kuda mengerutkan dahi. "Bunga melati? Itu sangat langka, mungkin sudah hilang di negeri ini. Kenapa kau mencarinya?" tanyanya heran.  Jira mendesah pelan, "Aku harus mencarinya untuk tugas yang besar. Maaf, aku tidak bisa mengatakannya." jawab Jira menoleh ke kudanya yang tertidur.   "Kalau begitu, aku tidak memaksa. Pengembara pasti memiliki kehidupan yang rumit. Aku sendiri tidak tau keberadaan bunga itu. Sudah sangat lama bunga itu tidak disebut." jawab pemilik peternakan kuda itu. Jira menatapnya lagi. "Kau tidak marah aku menyebut tentang bunga? Aku pikir, bunga juga dilarang di sini." tanya Jira memicing.   "Jujur saja, aku tidak terlalu membenci. Perempuan, bunga dan keindahan apapun itu, aku akan menerimanya kalau diperbolehkan. Sayangnya, kota ini sangat berbeda. Tetapi, aku juga nyaman tinggal di sini, haha." pemilik peternakan kuda tertawa renyah.   "Benarkah? Aku beruntung bertemu denganmu. Lupakan saja tujuanku kemari, aku hanya singgah sebentar." kata Jira tersenyum.   Pemilik peternakan kuda mengangguk. "Ini sudah malam, sebaliknya istirahatlah di dalam." ujarnya sambil menunjuk rumahnya.   "Ah, terima kasih. Aku akan tidur dengan kudaku saja," Jira menolaknya halus.   "Ini sangat dingin, Tuan Ji. Apa kau yakin?" tanya pemilik peternakan kuda sambil mengerutkan dahi.   "Tidak masalah, aku tidak bisa meninggalkan kudaku sendirian." jawab Jira tersenyum.   "Baiklah, kau boleh masuk kalau merasa kedinginan, tidak perlu sungkan." ucapnya dan masuk ke dalam rumah.   Jira hanya menjawabnya dengan senyuman dan menghela napas lega karena sudah tidak ada orang. Dia berdeham mengatur suaranya sambil memukul dadanya pelan yang lelah menirukan laki-laki. Menggaruk lengannya, menahan gatal sejak tadi.  'Jenderal sepertiku mencuri pakaian laki-laki? Ck, aku terpaksa melakukannya. Sshh, gatal sekali!' Batin Jira.   Berhenti menggaruk dan menuju kudanya, duduk sambil mengatur kembali barang yang dia bawa. Rasa lapar sudah hilang sejak dia masuk ke peternakan, melihat kudanya dirawat saja Jira sudah senang. Sekarang Jira memikirkan cara untuk besok sambil mengelus kepala kudanya. Rambut yang dia ikat seperti laki-laki membuat kepalanya pusing, di tambah efek kehujanan, tetapi Jira tidak bisa tidur.   Memandang kudanya dengan senyum tipis. Hatinya sangat tidak nyaman berada di antara laki-laki. Meskipun seorang Jenderal, Jira tetap perempuan. Kota laki-laki ini sangat keras menurutnya. Sedikit merasa terhina karena adik pemilik peternakan kuda yang sempat marah. Jira tidak bisa membiarkan identitas perempuannya terbongkar di kota ini. Rencananya akan menyusuri kota laki-laki secara diam-diam untuk mencari bunga melati. Jika tidak ada, maka dia akan segera pergi.  Menatap hujan yang tidak kunjung reda, Jira mendesah pelan. Banyak kuda yang tertidur di sekelilingnya, Jira tidak keberatan, bahkan merasa senang duduk di sana. Tidak bisa istirahat sampai pagi datang bersamaan dengan hujan yang berhenti. Jira langsung menyadarkan kudanya dan bersiap untuk pergi. Sebelum itu, Jira meninggalkan beberapa koin uang untuk rasa terima kasih.   Dia menuntun kudanya masuk ke kota lebih dalam. Di perjalanan Jira ingat dengan lukanya yang entah sejak kapan sudah sembuh. Meraba lengannya yang sudah tidak terasa sakit. Tersenyum mengingat bubuk obat dari Pangeran Sora yang sangat mujarab. Ini membantunya bergerak lebih bebas. Mata Jira meneliti tatanan kota yang tidak ada tumbuhan bunga, hanya ada pohon dan rumput. Jira mengernyit aneh melihat setiap laki-laki mengerjakan sesuatu yang biasa dikerjakan perempuan, seperti membersihkan rumah, membuat Jira menahan tawa.   'Haha, mereka lucu juga. Apa tidak ada bunga sama sekali?' Batin Jira.   Jira berhenti dan melotot kaget saat melihat seseorang mencabut pohon besar dengan sangat mudah. Orang itu membawa pohonnya ke belakang rumah. "Astaga! Apa aku salah lihat? Orang itu mencabut pohon seperti mencabut rumput!" gumam Jira memekik.   Seketika Jira menutup mulutnya yang bersuara perempuan, matanya berputar-putar memastikan tidak ada yang mendengarnya. Kembali bersikap biasa layaknya laki-laki dan melanjutkan perjalanan. Dalam hati, dia membenarkan rumor tentang masyarakat di kota laki-laki yang sangat kuat. Berjalan pelan sambil mempelajari tingkah laku semua orang, tidak sadar Jira sampai di sebuah pasar. Jira tersenyum takjub, para laki-laki melakukan semua pekerjaan sendirian dan hidup dengan damai. Seseorang menghampirinya dengan ramah, membuat Jira menoleh dan memulai sandiwara.   "Selamat datang, Tuan. Aku melihatmu seperti berasal dari jauh. Mari, mampir ke tokoku, aku punya barang bagus untuk teman perjalanan." ujarnya sambil menunjukkan tokonya.   Jira hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian datang lagi pedagang dari sisi yang lain. "Silahkan mampir ke tokoku, Tuan. Aku punya makanan enak untuk menghilangkan lapar. Kau pasti lelah, istirahat sebentar di tokoku," bujuk pedagang itu.  Jira menatap mereka dengan tersenyum. "Ehm, aku belum lapar dan aku sudah punya barang persediaan. Aku harus melanjutkan perjalanan," Jira menolak dengan halus.  Mereka terus merayu, tetapi Jira menolak dan pergi dengan kudanya. Sepanjang jalan pasar, silih berganti pedagang menawarkan barang dan mengerumuni Jira, membuat Jira tidak nyaman. Lalu, datanglah pedagang senjata yang membawa sebuah pedang dihadapan Jira, membuat pedagang lain sedikit menepi.   "Bagaimana dengan pedangku ini, Tuan? Ini sangat tajam dan luar biasa, cobalah!" pinta pedagang itu sambil mengayunkan pedangnya dan memberikannya pada Jira.  Jira menganga. Dia tidak melihat pedangnya, tetapi melihat wajah pedagang itu. Terpesona karena pedagang senjata itu berbeda dengan pedagang lain. Tidak sadar sampai pedagang senjata itu memainkan pedangnya sedikit dan membuka ikatan rambut Jira. Seketika Jira sadar dan bingung menata rambutnya yang terurai. Lalu, menatap pedagang senjata itu yang tersenyum miring. Semua orang terkejut dan mulai tidak suka dengan Jira.   "Hei, lihat! Dia perempuan!" seru seorang pedagang sambil menunjuk Jira.  "Iya! Kita ditipu! Ayo tangkap dia!" seru orang lain.  Mereka mengepung Jira dan ingin menangkapnya, tetapi ditahan oleh pedagang senjata itu. Jira hanya diam dan menatap pedagang senjata itu dengan penasaran.   'Siapa laki-laki ini? Kenapa dia bisa tau kalau aku perempuan? Dia pandai bermain pedang, sepertinya bukan orang biasa,' batin Jira.   Dahinya masih berkerut bahkan saat semua orang sibuk memarahinya. Tali kudanya dipegang kuat karena orang-orang ingin memisahkannya.   "Eh, tunggu dulu! Penipu ini harus diketahui semua orang, bukan? Bawa saja dia ke penguasa kota!" ujar pedagang senjata itu sambil tersenyum miring pada Jira.  "Siapa kau?!" tanya Jira kesal dengan suara aslinya. Membuat semua orang semakin terkejut dan marah.  "Dia perempuan sungguhan! Ayo kita bawa ke penguasa kota!" seru salah satu orang dan membuat semua orang setuju.   "Ah, biar aku yang membawanya. Kalian bawa saja kudanya." ujar pedagang senjata itu semangat dan mulai mengangkat Jira di pundaknya, membuat Jira memekik. "Hei, lepaskan aku! Aku bukan karung gandum yang dibawa di pundak!" protes Jira dengan kakinya menendang-nendang.   "Diamlah, gadis penipu! Kalau kau melawan, akibatnya semakin parah!" desis pedagang senjata itu tanpa berhenti tersenyum.   Seketika Jira menghentikan tendangannya dan menoleh kesal. "Kau juga penipu, 'kan? Bagaimana kau bisa tau samaranku? Sesama penipu harusnya kerja sama, turunkan aku!" desis Jira. Bukannya menjawab, pedagang senjata itu justru berseru sambil berjalan. "Ayo semuanya! Haha, ini akan jadi pertunjukan yang menarik!"   Sebagian orang membawa kuda Jira dan mengikuti langkah pedagang senjata. Jira tidak panik, dia penasaran dengan laki-laki yang membawanya sekarang. Menatap kudanya yang juga menurut tanpa takut, membuat Jira tersenyum dalam hati.   'Bagus Cen Cen, jangan takut. Kita akan pikirkan cara untuk bebas. Saat ini aku tidak takut sama sekali, tapi apa yang akan kita dapat nanti? Merepotkan saja!' Batin Jira.   Jira menoleh pada pedagang senjata itu yang tersenyum. "Hei, kau! Jawab pertanyaanku!" pinta Jira sedikit keras.   "Kau akan dihabisi nanti, aku yakin itu." pedagang senjata itu berbisik.  "Aku yakin, kau bukan berasal dari kota ini. Siapa kau?" tanya Jira mengerutkan dahi.   "Tepat sekali! Aku datang dari kota lain, hanya ingin jalan-jalan ke kota laki-laki. Kau sendiri? Kenapa bisa ke sini? Penyamaranmu buruk sekali! Sangat mudah dikenali, Jenderal Jira." ujar pedagang senjata itu menatap Jira tersenyum penuh arti tanpa berhenti berjalan.  Seketika Jira terkejut. "Kau tau siapa aku?" tanya Jira berbisik. Pedagang senjata itu kembali menatap ke depan tanpa menjawab. "Ck, katakan siapa kau?! Kalau kau tau aku Jenderal, kenapa membuka penyamaranku di depan banyak orang?" Jira kembali bertanya.  Pedagang senjata itu berpikir sebentar. "Hmm, karena aku sengaja," jawabnya santai.   Jira semakin kesal. "Dasar, orang aneh! Kau pasti pendekar hebat. Dari penampilan dan caramu bermain pedang itu sudah bisa ditebak. Aku yakin, kau bukan pedagang dan sedang mengembara, 'kan? Apa tujuanmu?" tanya Jira.   "Gadis yang cerewet dan banyak tanya!" gumam laki-laki itu.   Jira menganga. "Apa?! Hei, kalau kau memberitahu jati dirimu, aku tidak akan banyak tanya!" balas Jira.  "Iya, baiklah. Kita bicara lagi nanti, setelah kau menghadap penguasa kota. Ini pasti menyenangkan!" ujar laki-laki pedagang senjata itu gembira.   Jira berdecak kesal dan tidak membantah lagi. Menatap orang yang membawanya terus tersenyum membuat hati Jira bingung. 'Senyumnya seperti tanpa beban, tapi perbuatannya membuatku dalam masalah,' Batin Jira.   Pagi berganti siang, Jira tiba di istana kota. Panas matahari membuat kepalanya pusing dan ingin jatuh saat pedagang senjata itu menurunkannya. Jira mencoba berdiri dengan benar sambil memijit kepalanya pelan. "Hei, orang aneh! Keterlaluan kau! Aku akan membalasmu nanti! Aduh, kepalaku pusing." gumam Jira masih tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.   "Aku tunggu pembalasanmu, itupun kalau kau selamat. Semoga masih hidup sampai besok pagi, Jenderal Jira. Aku permisi dulu." bisik pedagang pedang itu tepat di telinga Jira, seketika Jira melotot karena telinganya merasa hangat.   Pedagang senjata itu pergi setelah melambaikan tangan dengan senyum, Jira hanya memandangnya setengah sadar. Kemudian sadar sungguhan saat wajahnya disiram air oleh seseorang. Jira mengusap wajahnya kasar. "Hah! Apa-apaan ini?!" pekik Jira.  Tiba-tiba kudanya meringkik melihat seseorang datang dengan sangat gagah, Jira mengerutkan dahi dan menatap semua orang yang menunduk sambil memberi hormat. Jira menoleh ke depan dan melotot kaget.   'Jadi, dia penguasa kota laki-laki? Terlihat mengerikan sekali! Habislah aku kalau begini!' batin Jira.   "Salam, Yang Mulia! Kami menangkap penipu yang menyamar sebagai laki-laki. Dia, perempuan, Yang Mulia!" seru salah satu dari mereka.   Jira mengerjap dan menatap orang itu kesal. "Aku tidak menipu, ya! Aku hanya menyamar agar selamat!" bela Jira.  "Ini melanggar peraturan di kota kita! Habisi perempuan itu!" seru seseorang yang jauh di belakang Jira.  Jira celingukan mencari orang itu. "Aku hanya lewat dan mencari sesuatu, kenapa harus mati? Ini tidak adil!" teriak Jira.   "Diam! Kau perempuan, tidak berhak menginjakkan kaki di kota ini!" teriak penguasa kota itu. Seketika semua orang tertunduk kecuali Jira. Tanpa takut, Jira menatap pemimpin kota itu dengan tajam. Kedua tangannya mengepal tidak terima. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD