1. Kakek Penjaga Hutan

2563 Words
 Permintaan maaf berkali-kali terucap. Empat perampok itu menjadi pengikut setia sekarang. Jira memberi sebuah tugas untuk menjaga setiap sisi perbatasan kota Bunga, karena ingat rasa takut pangeran Sora. Penasaran mereka tentang Jira yang berada di hutan kembar tengah malam. Bahkan kudanya tidak terusik dengan pertarungan singkat dan suara mereka. Jira menceritakan tujuannya sekaligus bertanya tentang keberadaan bunga melati. Namun, mereka tidak tahu. Hanya mengatakan jika daerah barat bukit tempatnya berasal ada banyak tumbuhan obat. Jira punya arah tujuan sekarang. Dia akan pergi menyusuri jalan ke barat.   "Sampaikan pesanku pada Pangeran Sora jika kalian dipihakku. Dia tidak akan curiga meskipun kalian mengaku sebagai perampok." ujar Jira tenang memutar-mutar serulingnya sambil bersandar pohon.   Teruwang heran mendengar perkataan Jira yang sangat meyakinkan. Pikirnya tidak mungkin seorang pangeran membiarkannya begitu saja hanya mengaku sebagai utusan Jenderal Jira. Orang lain bisa melakukan hal yang sama.   "Eee, apa kota Bunga sangat indah, Jenderal?" tanya Teruwang setelah mengusir pemikirannya.   "Tentu saja. Sangat indah seperti namanya. Kenapa bertanya?" Jira melirik.   Teruwang tersenyum kecil. Niat ingin menjaga Jira dari gangguan malam, justru mereka yang kelelahan. Hanya Teruwang yang menemani Jira terjaga. Mereka ingin menemani Jira dalam perjalanan, tetapi Jira memberinya tugas lebih besar. Jira mengancam jika kota Bunga dalam bahaya, mereka yang akan kena imbasnya. Tentu saja Jira bicara dengan nada bercanda. Meskipun keramahan Jira sedikit membuat mereka lega, masih ada rasa takut karena Jira seorang Jenderal.   "Ah, aku hanya pernah mendengarnya saja. Tidak pernah masuk ke kota Bunga. Sangat beruntung bertemu denganmu dan melihat kota itu. Apakah berita itu benar?" tanya Teruwang menyelidik.   Jira masih bermain dengan serulingnya di jari. "Berita apa, Paman?"   "Berita tentang kekuatan kota Bunga mulai melemah. Itu akan berdampak besar, 'kan?" tanya Teruwang lagi menganggu meyakinkan. Seketika Jira berhenti bermain seruling. Rautnya menjadi datar menatap pengikut barunya. Teruwang salah tingkah takut bersalah.   "Benar. Itu sebabnya aku di sini. Bunga melati harus kudapatkan secepatnya. Untuk itu... Beritahu aku jika kotaku dalam bahaya." ucap Jira tanpa mengalihkan pandangan.  Teruwang sedikit tersentak. "Bagaimana caraku mengabarimu? Kau berkelana ke seluruh penjuru negeri. Tentu saja sangat sulit menemukanmu, Jenderal!" menggaruk kepalanya dengan bingung.   Jira tersenyum. "Ah, itu mudah. Kau cari saja ahli surat di kota Bunga. Suruh dia membuat surat dan wussss... Dalam sekejap surat itu akan terbang mencariku." jawab Jira sambil meperagakan tangannya seperti bermain trik.   "Wah, apa itu semacam sihir?" tanya Teruwang semangat.   "Iya, semua orang di kota Bunga punya keahliannya masing-masing. Kalau kau menyuruh orang lain yang membuat surat terbang, percuma saja. Hanya orang yang punya keahlian itu yang bisa. Karena surat kami lain, terbuat dari kelopak bunga khusus. Bahkan ada yang bisa menghidupkan tumbuhan yang sudah mati, seperti Yang Mulia Ratu Rui Cenchana." terang Jira.  "Itu menakjubkan! Jenderal, kau juga punya keahlian luar biasa? Selain cantik dan berani, sihir apa yang kau miliki?"   "Ck, kekuatan kecil hanya untuk penghibur hati. Kau jangan memujiku seperti itu." jawab Jira sedikit tertawa. Teruwang ikut tertawa pelan. "Aku berbeda dengan mereka, tapi hanya aku yang bisa melakukannya, mengubah setiap warna tumbuhan dan bunga sesuai keinginanku. Sering kali warna bunga sangat aneh karena ulahku, haha. Aku pergi sementara waktu... Kota itu juga kehilangan warnanya. Seakan kota biasa tanpa kelebihan," Jira melanjutkan ucapannya dengan nada pelan.  Dia tahu jika Teruwang akan menyuruhnya agar tidak bersedih, tetapi Jira merubah ekspresinya menjadi sangat ceria, membuat Teruwang heran. "Kau mau lihat kekuatanku? Lihatlah!"   Dengan senyum lebar Jira merubah rumput menjadi warna-warni. Ketua perampok itu sangat takjub. Jira melakukan sihir seperti permainan.   "Aku juga dengar di kota Air punya kekuatan yang sangat hebat. Dia bisa memikat siapapun dengan mudah. Kota itu sangat indah dan penuh air. Banyak desa yang terpisah karena air, membuat mereka terlihat seperti pulau kecil, hahaha. Tidak ada salahnya jika kau mencari bunga melati di sana." ujar Teruwang masih terkesan dengan rumput yang selalu berubah warna karena Jira terus menggerakan jarinya.   "Aku juga tau, tapi aku akan mencari di bukit tempatmu tinggal terlebih dahulu. Kalau ada yang lebih dekat, kenapa tidak?" Jira menjawab santai.   Teruwang hanya tersenyum sambil mengangguk. Seakan mendapatkan permainan unik karena warna, dia terus melihat rumput. Sampai Jira menghentikan aksinya dan menyuruh Teruwang istirahat. Namun, Teruwang juga menyuruh Jira istirahat. Masih ada beberapa jam untuk menjelang pagi. Karena anak buah barunya itu tidak mau menurut, Jira hanya mendesah pasrah dan memilih memainkan seruling.   Menutup matanya, perlahan meniup bambu itu. Dingin tiada angin malam. Hutan sunyi itu kini dipenuhi suara seruling Jira. Iramanya menyiratkan sebuah harapan. Jauh melayang ke tempat bunga langka berada. Tidak sadar Teruwang merasa mengantuk. Dia tertidur bersama teman-temannya yang semakin lelap. Tanpa membuka mata juga tidak berhenti membuat alunan mendayu sampai malam sudah terlewat.   Matahari terbit bersamaan dengan Jira berhenti bermain seruling. Diam-diam dia pergi dengan kudanya sebelum para perampok itu bangun. Jira hanya meninggalkan pesan di selembar daun, agar mereka melaksanakan perintahnya, kalau tidak akan dapat hukuman dari Jira. Saat para perampok itu bangun dan melihat surat daun itu, mereka mengerti dan benar-benar menjalankan tugas. Mereka merasa senang setelah bertemu dan kalah dengan Jira.  Jira terus menunggang kuda tanpa tujuan. Dia hanya mengikuti firasatnya untuk pergi ke arah barat. Menyuruh kudanya agar lebih cepat berlari, pandangannya serius melihat sekeliling yang tidak ada bunga, hanya pohon dan semak belukar. Hingga Jira sampai di jurang pembatas hutan kembar. Jira menyuruh kudanya berhenti. Dia memandang ke depan yang masih ada hutan dengan warna daun yang berbeda.   'Tua dan muda seakan dilambangkan dari hutan kembar ini,' pikir Jira.   Dia turun dari kudanya dan memeriksa tinggi jurang, mengernyit dan pusing karena jurangnya sangat curam.   "Cen Cen, kita tidak bisa melewati ini, 'kan? Tapi tidak ada jalan lain," ujar Jira bicara dengan kudanya tanpa berpaling dari jurang.   Kudanya meringkik seakan menjawab. Jira berlari ke kanan ke kiri, tidak ada jalan pintas.   "Bagaimana ini? Aku harus ke seberang sana. Mau lompat sudah jelas maut yang akan datang," gumam Jira berpikir.  Kudanya kembali meringkik sambil mengangkat kakinya, membuat perhatian Jira teralihkan. Dia menenangkan kudanya bingung. Kudanya terus meringkik tanpa sebab dan menatap jurang. Seketika Jira mengerti dan berbalik. Sangat terkejut karena melihat seorang kakek tua berekspresi marah.   'Dari mana datangnya Kakek itu?' tanya Jira dalam hati.  Rambut putih membawa tongkat dengan keriput di dahinya. Mereka beradu pandang dan Jira merasa bingung.   "Siapakah kau, Kakek? Dari mana kau datang?" tanya Jira.   Kakek itu memukulkan tongkatnya pada tanah dengan keras. Seketika tanah itu retak hingga ke arah Jira. Segera Jira membawa kudanya mundur beberapa langkah. Memandang kakek itu heran. "Kakek, kenapa kau menyerangku?" nada bicaranya sedikit kesal.  Kakek itu justru sangat marah. Jira waspada sambil memegang tali kudanya kuat.   'Aku mengerti. Dia pasti penjaga hutan ini, tapi kenapa dia marah padaku?' batin Jira.   Kakek itu kembali ingin menyerang, tetapi Jira menahannya. "Tunggu dulu! Apa yang membuatmu marah? Aku tidak mungkin menyerang seorang kakek." tanya Jira kemudian mendekat perlahan. "Jangan mendekat, gadis konyol!" seru kakek itu membuat Jira berhenti. "Beraninya kau masuk ke wilayahku dan menggangguku!" lanjutnya.  Jira semakin bingung. "Mengganggu? Mengganggu apa? Bagaimana bisa aku mengganggumu kalau kita baru kali ini bertemu? Aku datang dengan tujuan baik, Kek." jelas Jira masih menghargai.   "Omong kosong! Semua orang yang datang ke sini hanya ingin merusak hutanku. Mereka ingin merubahnya sesuai keinginan mereka. Itu tidak akan terjadi selama aku ada di sini, tapi kau... Kau dengan mudahnya merubah rumput hijauku menjadi warna-warni, gadis konyol!"   Kakek itu sangat murka. Jira tersentak, dia hanya bermain. Tidak menyangka akan berakibat pada kakek sang penunggu.   "Aku tidak sengaja. Semalam hanya istirahat sebentar, tidak bermaksud yang lain." Jira berusaha menjelaskan, tetapi kakek itu menyela berteriak.   Memutar tongkatnya menghadap langit. Jira melebarkan matanya. Seketika tanah di sekitar Jira seakan longsor membentuk lingkaran. Sangat terkejut menatap longsoran itu. Namun, tanah yang dia pijak tidak ikut hilang seakan mengambang.   'Apa ini? Ilmunya sangat tinggi!' batin Jira.   Jira tidak bisa mengabaikan kakek itu. Tidak terima dengan perbuatan yang sudah keterlaluan, Jira mengatakan jati diri dan tujuannya. "Aku Jenderal Jira dari kota Bunga. Tujuanku ke sini untuk mencari bunga melati, bukan berurusan denganmu! Kalau kau menentangku maka rasakan akibatnya, tapi kalau tidak maka tolong bantu aku menyeberangi jurang. Sungguh aku tidak berniat buruk pada rumput ataupun hutanmu. Lagipula rumput itu sudah kembali hijau, apa masalahnya?"   Bicara tanpa henti karena kakek itu masih mengerutkan dahi.   "Siapa lagi yang bisa bermain dengan tumbuhan kalau bukan dari kota Bunga? Aku sudah tau dan aku tidak peduli meskipun Jenderal sekalipun! Kau sudah menggangguku maka aku akan mengganggumu!" seru kakek penjaga hutan.   Dengan suara serak mengucapkan mantra yang tidak Jira mengerti. Namun, tiba-tiba tanah bergetar mengeluarkan akar yang tersembunyi menjadi hidup dan mengeluarkan suara aneh. Jira melongo tidak percaya. Dia berbalik bingung menatap sekeliling yang semakin banyak akar hidup. Akar-akar itu menuju Jira seakan ingin menusuk. Kudanya juga takut, meringkik semakin membuat Jira panik. dia tidak bisa lari karena terhalang lubang melingkar di sekitarnya.   'Ini sudah keterlaluan! Tidak ada cara lain selain melawan,' pikir Jira.  Mengambil posisi siap bertahan dan menatap kakek itu sebentar yang hanya menatap masih bertahan dengan dahinya yang berkerut marah. Jira berdecak dan memutar bola mata jengah. Tidak ingin melukai kakek tua hanya karena masalah kecil, justru dia yang berada dalam masalah.   Jira terbelalak saat akar-akar kecil itu berubah membesar saat berada di dekatnya dan menyerang. Serangan dan tangkisan sebisa mungkin Jira bertahan bersamaan melindungi kudanya yang ikut diserang. Kakinya bergerak lincah berputar-putar seiring akar hidup itu tidak memberinya celah.   'Sial! Ini tidak berhasil!' batinnya kesal karena serangan yang dia berikan tidak membuat akar-akar itu menyerah, justru semakin kuat dan bertambah banyak. Kudanya meringkik lagi karena kakinya terlilit akar membuat Jira semakin kesulitan. Dengan geram dia berteriak marah pada kakek itu.  "Lepaskan kudaku!"   Karena lalai, tangannya pun ikut terlilit. Di susul sebelah tangannya dan kedua kaki hingga perut. Jira terangkat melayang oleh akar itu. Meronta dan meringis saat ujung salah satu dari akar tepat di depan wajahnya seakan mendesis.   "Dasar akar jelek!" ejek Jira. Akar itu semakin melilitnya membuat Jira kesakitan. Namun, melayang di udara membuat mendapatkan sebuah petunjuk. Jira mengernyit melihat kakek itu yang berdiri di atas jurang tidak berpijak tanah.  'Ha!? Dia melayang? Apa itu juga sihirnya?' pikir Jira.  Melihat lebih teliti memastikan penglihatannya tidak salah. Jira menggeleng kecil merasa takjub dengan kekuatan kakek itu. Masih meronta mencoba lepas, tidak sengaja pandangannya terarah ke kudanya. Dia tersentak lagi. Cen Cen sedang menghentak-hentakkan kakinya berusaha melepaskan diri hingga tidak sadar kakinya sering melewati lingkaran kosong tanpa tanah itu tanpa terjatuh.   'Cen Cen juga sama? Dia sangat tenang seperti berpijak tanah. Itu berarti jurang dan longsoran itu bukan sihir. Apa ini ilusi kakek itu? Jika iya, maka tidak perlu khawatir lagi!' bicara dalam hati sambil berpikir cara lepas dari akar hidup.  Mengambil seruling di pinggangnya dengan jari yang tidak terlilit dengan sekuat tenaga. Memutar seruling itu dan menyentuh lubang khusus buatannya sampai muncul sebuah belati kecil nan tajam. Jira menusuk akar itu kuat sampai dirinya terlepas. Jatuh tepat di samping kudanya dan segera berdiri tanpa merasakan sakit, langsung menginjak lubang tanah yang longsor. Sesuai dugaannya, dia seperti menginjak tanah. Tersenyum lebar dan sedikit melawan akar-akar yang terus menyerang. Berhasil membebaskan kudanya dari lilitan dan segera menungganginya.   "Cen Cen, cepat!" seru Jira sambil menarik tali kudanya. kudanya meringkik sambil mengangkat kaki depannya dan segera berlari menjauh dari akar-akar itu yang mengejarnya. Kakek penjaga hutan itu terkejut. Jira mengarah padanya tanpa takut untuk menyeberangi jurang. Dia melewati kakek itu begitu saja dan berlari di atas jurang seakan melayang hingga sampai di hutan kembar satunya. Dia berhenti dan berbalik, menatap kakek itu yang juga menatapnya marah.  "Kakek tua! Jaga hutanmu baik-baik atau aku akan merubah semua pohon di sini menjadi kelabu! Setelah itu tidak akan ada lagi yang tumbuh dengan baik. Hutan kembar akan tinggal nama, kau mengerti!? Ilusi yang bagus, Kakek! Kau hebat, sayangnya pemarah." teriak Jira.  Akar-akar hidup itu berhenti di sekitar kakek penjaga hutan. Masih bergerak-gerak dan mengeluarkan suara seakan mengancam Jira. "Kurang ajar! Tidak ada yang bisa mengubah hutanku!" Kakek itu marah lagi dan mengarahkan tongkatnya ke arah Jira. Seketika akar-akar itu menyeberangi jurang mengejar Jira lagi.   Jira terbelalak. "Dasar kakek tua yang pemarah! Aku hanya mengancam bercanda, dia marah lagi." gumam Jira dan mengajak kudanya berputar arah.   Kuda itu berlari cepat membawa Jira keluar dari hutan. Akar hidup terus mengejarnya. Napas Jira terengah setelah bertarung sia-sia. Melirik ke belakang dan membuat kudanya berlari lebih cepat lagi. Perbatasan hutan sudah mulai terlihat, tetapi akar hidup itu berhasil mendahului dan akan menyerangnya.   "Ayo Cen Cen!" teriak Jira panik.   Kudanya meringkik dan segera membawa Jira keluar hutan. Akar hidup itu berhenti, tidak bisa keluar dari hutan dan kembali ke tempat asalnya. Jira mengatur napas dan menatap hutan itu, mendesah lega sambil mengelus kepala kudanya.   "Akar itu sudah tidak ada, aku bisa bayangkan kakek itu marah. Cen Cen, ayo pergi!" ujar Jira menarik tali kudanya dan membuat mereka berbalik arah, melanjutkan perjalanan dengan santai.  ~~~  Karena lelah berada di atas kuda, Jira turun dan menuntun kudanya. Perutnya terasa lapar, tetapi di sekitarnya tidak ada tumbuhan yang menghasilkan buah. Jalan yang penuh rumput dan tidak ada pohon, tidak ada rumah atau toko sampai tiba di kota lain. Jira terus mengusap perutnya sambil celingukan. Berhenti berjalan dan mengikat kudanya dengan sebatang kayu yang ditancapkan di tanah. Kudanya langsung tidur kelelahan, melihat itu Jira merasa kasihan. Jira pergi mencari beberapa buah, tetap tidak berani pergi jauh meninggalkan kudanya. Namun, usahanya sia-sia, tidak ada satu pohon pun kecuali hutan tadi, dan Jira tidak ingin kembali.   Jira mengambil serulingnya mencoba memanggil burung-burung kecil untuk meminta bantuan. Setidaknya, hewan terbang itu mengerti isyarat serulingnya. Sayangnya, satupun burung tidak ada yang datang, membuat Jira heran.  'Aneh! Kalau di kota Bunga, ini selalu berfungsi. Kenapa di sini tidak?' Pikir Jira.  Jira mencoba memanggil burung-burung lagi, tetapi hasilnya sama. Jira berdecak pasrah dan kembali ke kudanya. Duduk capek dan merebahkan diri di hamparan rumput. Berpikir tentang perkataan Teruwang jika bukit tempatnya tinggal ada banyak tanaman obat. Namun, Jira tahu jika setelah ini akan ada sebuah kota. Bukit mana yang dimaksud pengikutnya itu, Jira pikir berada di dalam kota.  "Cen Cen, aku tidak menemukan makanan ataupun air. Kita harus menahannya sampai tiba di kota selanjutnya," gumam Jira.   Tidak ada jawaban dari kudanya yang tertidur. Jira mendengus, memandang langit cerah dan mengernyit silau. Merasa bosan dengan pikiran yang terus melayang tentang bunga melati, Jira memilih bermain seruling. Terlentang dan menutup matanya, meniup pelan dengan merdu, sampai dia tertidur.   Siang menjadi sore, langit tiba-tiba gelap dan mulai menurunkan air. Jira terbangun karena wajahnya basah, membuka matanya perlahan dan duduk seketika. Dia menatap langit yang sebentar lagi hujan lebat akan datang. Jira segera bangun dan membawa kudanya pergi untuk berlindung. Angin berhembus sangat dingin, membuat Jira menggigil. Kudanya juga tidak sanggup berlari kencang, hingga hujan turun semakin deras. Jira basah kuyup, mencari tempat berteduh. Semakin bingung karena kudanya juga kedinginan.   Jira menarik tali kudanya lebih kencang, kudanya mengerti dan terus berlari. Hujan membuat kudanya kesulitan melihat, dia terjebak dalam lubang lumpur dan terjatuh, membuat Jira juga terjatuh. Pakaiannya jadi kotor, dengan segera Jira membantu kudanya berdiri lagi.  'Ini buruk sekali! Aku bisa mati kedinginan dengan perut kosong, Cen Cen juga sudah lelah. Harusnya, kota berikutnya tidak jauh dari sini.' Batin Jira celingukan menatap sekeliling mencari perbatasan kota.   Bibir merah mudanya memucat dan menggigil. Jira lebih mengkhawatirkan kudanya, mengelus kudanya dengan panik. Lalu, Jira mencari lagi dengan pandangan. Seakan mata tajamnya bisa menembus apapun termasuk air hujan, dia melihat sebuah bangunan jauh di depan sana. Kemudian, menuntun kudanya dengan jalan cepat hingga sampai ke gerbang kota. Jira tersenyum meskipun napasnya terengah, sepanjang jalan di perbatasan sudah terdapat pohon, Jira membawa kudanya berteduh di pohon besar samping gerbang perbatasan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD