FS • 02

954 Words
LAV dengan sabar mengajari Tama, sahabat cowoknya yang satu ini memang IQ-nya di bawah rata-rata. Dia kesulitan mencerna mata kuliah, tapi sangat cepat mencerna informasi sekitar. Aktivis kampus yang terkenal paling supel dan humoris, teman yang paling bisa diandalkan ketika mereka berada dalam kesulitan. "Sumpah, ya, lama-lama gue berhenti kuliah aja, deh. Susah banget pelajarannya makin ke sini." "Sabar," ujar Lav seraya memajukan buku yang baru ia dapatkan dari rak perpus. "Yang ini udah ngerti?" "Udah, kayaknya." Tama menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Gue nyari contoh soal yang lain dulu, ya? Lo belajar sendiri di sini?" Lav bangkit dari tempat duduknya. Tama hanya mengangguk dan Lav segera pergi dari sana. Rak-rak tinggi di perpustakaan memang teman gadis itu sejak pertama kali ia kuliah di sana. Dia suka membaca sampai ia nyaris menghafal setiap letak buku di rak perpustakaan. Hingga, ia mendengar suara laki-laki yang ia hafal dengan baik. Suara laki-laki yang selama ini mengisi hatinya. "Nanti malam nggak bisa?" "Maaf, tapi aku lagi datang bulan." Lav mengintip dari balik rak buku. Ia melihat dua orang itu sedang duduk bersebelahan di atas lantai, saling tatap dengan tatapan yang sulit ia artikan. "Sampai kapan?" "Hm, biasanya satu minggu lagi." Lav bisa melihat Lion memejamkan mata sambil menghela napas kasar. "Ya udah, kita putus aja." "Li——" "Lo tahu gue cowok kayak gimana. Gue butuh temen tidur setiap malam, kalau lo nggak bisa, itu berarti hubungan kita berakhir." "Tapi ... cewek, kan, biasa datang bulan, Li?" Lion mendengkus. "Lo mau gue cari cewek lain saat kita masih pacaran?" Lav merasa dadanya sesak. Dia tahu seperti apa Lion, pria itu terkenal dengan kebiasaan buruknya meniduri semua kekasihnya. Namun, baru kali ini ia tahu jika Lion ternyata benar-benar tega. "Li ...." "Cuma itu satu-satunya pilihan yang lo punya." Lav memegangi dadanya. Sesak di hatinya benar-benar membuatnya merasa sakit yang teramat sangat. Lav sudah berniat pergi saat mendengar balasan dari wanita yang berstatus menjadi kekasih Lion saat ini. "Oke, kamu bisa cari wanita lain selama aku datang bulan, tapi kamu nggak boleh pacaran sama wanita itu." Lion mendengkus. Dengkusan yang entah mengapa sanggup membuat jantung Lav berhenti berdetak. Kenapa wanita itu membiarkan Lion menduakannya? Secinta itukah dia dengan cowok itu, sampai apa pun ia lakukan demi tetap menjadi kekasihnya? "Oke." Wanita itu tersenyum tipis sebelum pergi dari sana. Sedangkan Lion tetap di sana, duduk dengan punggung menyender di dinding, sedang kepalanya mendongak, menatap langit-langit perpustakaan. Tidak ada suara yang keluar dari mereka. Embusan napas hanya pertanda bahwa keduanya masih bernapas, sampai Lion menarik napasnya kasar. "Mau sampai kapan lo sembunyi di sana?" Lav tersentak, dia mundur satu langkah, niatnya pergi terurungkan saat ia melihat dengan jelas Lion tengah memandangi tempat persembunyiannya sekarang. Menarik napas panjang, Lav keluar, menghampiri Lion dan duduk di samping cowok itu. "Kapan lo tahu gue di sini?" "Dari tadi." Lion menghela napas kasar. "Lo dengerin semuanya?" "Mungkin." Lav memalingkan pandangannya. "Lo bisa ngasih tahu yang lain kalau lo mau." Lav menggeleng cepat, dia tidak berpikiran seperti itu, bahkan sebaliknya. Entah apa yang sudah meracuni dirinya, dia ingin menyalonkan diri menjadi teman tidur Lion jika cowok itu mau. Karena ... Lav tidak yakin bisa mendapatkannya, mendapatkan cinta Lion saja ia tidak berani membayangkan, apalagi mendapatkan Lion sebagai kekasih, atau malah calon suaminya kelak. Jika dirinya bisa dekat ... atau lebih dekat lagi dengan cowok itu sekarang, sepertinya, inilah satu-satunya kesempatan yang ia miliki. "Li, gue mau jadi temen tidur lo malam ini." Lion menoleh cepat, matanya membelalak, tatapan tidak percaya yang dibalas Love dengan senyuman tipis seraya menundukkan kepala. "Jangan ngaco." "Kenapa? Apa gue nggak pantas jadi temen tidur lo? Karena gue jelek, ya? Jelas aja, sih, daripada cewek-cewek lo selama ini, gue beda sama mereka. Gue nggak ada apa-apanya." Lion menggeram. "Lo yakin mau jadi temen tidur gue?" Perempuan itu hanya bisa diam, kepalanya menunduk dalam. Dia menyukai laki-laki itu sejak pertama kali mereka bertemu. Bersahabat dengannya membuat rasa sukanya tumbuh menjadi cinta. Ketika dia tahu bagaimana pergaulannya, dia hanya bisa diam dan tetap mencintainya. Cinta itu tanpa alasan, cinta itu membutakan, dan cinta itu mematikan. "Gue yakin." "Lav, gue kenal lo udah dua tahun dan gue tahu pasti lo bukan tipe cewek yang mau tidur sama sembarang cowok, tapi kenapa lo——" "Karena gue penasaran, Li." Perempuan bernama Lavinia Radhella atau yang akrab disapa Lav itu tersenyum tipis. "Gue penasaran ...." 'Apa enaknya seks sampai lo selalu ngelakuin itu dengan semua wanita yang ada di kampus kita? Gue penasaran, apa alasan lo kenapa selalu ngelakuin hal itu sama pacar-pacar lo? "Rasa penasaran lo bisa bikin lo celaka ...." "Gue nggak peduli lagi, Li. Gue penasaran dan gue butuh pelarian." Lav memalingkan muka saat Lion menatapnya tajam. "Lo tahu, kan? Gue sering disakiti. Kadang gue pengin lari, gue pengin pengalih perhatian yang bikin gue lupa semua masalah gue sekarang, dan lo ngasih gue jawaban." Lion menggertakkan giginya kesal. Lav mengiyakannya bukan karena perempuan itu tertarik padanya. Dia mengiyakannya karena rasa penasaran akibat pengkhianatan yang diterimanya. Rasa penasaran yang bisa mematikan perempuan itu secara perlahan. "Oke, asal kita tetap buat perjanjian." Love tersenyum tipis. "Selama nggak merugikan, kenapa tidak?" Lion hanya diam menatap perempuan yang dua tahun terakhir bersamanya. Perempuan bodoh yang menawarkan dirinya untuk menjadi teman tidur seorang cowok hidung belang seperti dirinya. Perempuan mana yang tidak merugi ketika dirinya dijadikan pelampiasan nafsu seorang laki-laki? Lion memejamkan mata. Dia berusaha berpikiran logis, mengingat jika Love salah satu temannya, tapi ketika ia menatap perempuan itu sekali lagi, dan ia merasa tidak punya pilihan lain selain mengiyakan tawarannya. "Nanti kalau kalian udah selesai, WA gue." Love sontak menatap Lion kaget. "Lo sekarang lagi sama Tama, kan? Gue nggak bakal gangguin acara belajar kalian dan gue juga butuh nyusun surat perjanjian untuk kita berdua." Lion mengerling. "Karena gue nggak berencana jadiin lo teman tidur gue buat seminggu atau cuma sehari. Lo bisa mundur kalau lo mau dan masih punya harga diri." Lion bangkit, bangun dan segera melangkah pergi. Kata-kata terakhirnya benar-benar menusuk tepat ke ulu hati, tapi ini satu-satunya kesempatan yang Lav miliki. Agar bisa bersama denganmu lebih lama ... apa pun akan kulakukan untukmu, Lionel Abraham.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD