FS • 01

857 Words
"Cinta itu buta, walaupun tahu dia tak tercipta untuk kita, tapi kita masih berani mengharapkannya." **** MEREKA hanya bisa melihat laki-laki itu dari jauh. Cowok tanpa ekspresi yang kini menggandeng tangan cewek lain menuju kantin. Sedang tiga orang yang menyaksikan semua itu hanya bisa diam, saling tatap, kemudian menghela napas kasar. "Gue nggak tahu, deh, kapan Buaya satu itu tobat," ujar cowok berambut cokelat lurus yang panjangnya sampai melewati telinga, kulitnya agak kecokelatan, dan lengan yang cukup kekar. Cowok bernama Januar Pratama yang merupakan aktivis kampus itu kini menoleh ke arah dua teman ceweknya, Lav dan Nisa. "Gue ragu dia bisa tobat," ujar Nisa sembari menghela napas kasar. Si cewek berambut pendek seleher dengan hidung mancung dan bibir seksi. Nisa terkenal sebagai cewek tercantik dan terseksi di fakultas mereka, sosok perempuan yang diidam-idamkan semua kaum laki-laki yang ada di sana. "Lion pasti tobat, suatu hari nanti," gumam Lavinia Radhella atau Lav. Si Cantik kutu buku berambut panjang yang diikat ke belakang. Dandanannya terlalu sederhana, pakaiannya biasa saja, tapi prestasinya selalu menjadi acungan jempol semua mahasiswa. "Lo bilang begini, bukan karena lo mau jadi pacar dia yang selanjutnya, kan, Lav?" Tama menjawab dengan nada suara tidak senang. Terutama saat dia membayangkan Lav dan Lion akan berakhir menjadi sepasang kekasih keesokan harinya. Lav memasang senyum tipis. "Nggak mungkinlah, kasta kita beda jauh. Gue bukan cewek yang berani maju buat bersaing sama aktris kampus." Nisa mendengkus keras. "Elo juga aktris kali, Lav, aktris tercerdas se-Universitas, hahaha!" "Bisa aja lo, Nis." Lav ikut tertawa bersama, walau dalam hatinya, Lav menginginkan Lion menjadi miliknya. Kasta hanya alasan semu, karena uang bisa dicari, tapi tidak dengan isi hati. Ketika hati telah memilih, apakah manusia bisa mengubahnya sesuka hati? Tidak mungkin. "Tapi serius, ya, cewek kayak lo bener-bener bakal jomplang kalau sama Lion, Lav!" celetuk Tama, terlihat sekali ia tidak akan menyetujui jika kedua temannya itu sampai memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman biasa. "Iyalah jomplang!" Nisa tertawa terbahak-bahak. "Satunya buaya darat, satunya korban cinta!" Lav menatap Nisa sengit. "Apa tuh maksudnya?" "Ya ...." Nisa mengedipkan sebelah matanya berulang kali. "Kita tahulah sejarah kisah cinta lo yang selalu berakhir tragis mulu. Mereka semua deketin lo, karena ada maunya aja, kan?" Lav menundukkan kepalanya. Semuanya itu memang benar ... merela mendekatinya, karena sebuah alasan. Lav menerima mereka juga kadang tanpa perasaan. "Yang terakhir kali siapa itu namanya? Si Drake? Cowok bedigasan gitu, kenapa lo mau-mau aja terima ajakan pacaran dia, sih?" tanya Nisa yang tidak habis pikir dengan isi kepala sahabatnya satu itu. Sedangkan Lav tersenyum simpul. Drake memang terkenal nakal, badboy, dan masih banyak alasan lainnya, tapi dia pria yang baik. Lav bahkan berpikir untuk mencoba mencintainya, tapi hatinya telah tertanam nama paten milik orang lain. Ketika Drake mengetahui kenyataan itu. Pria itu pergi dan menduakan Lav. Padahal, saat itu Lav sedang berusaha keras untuk move on. Tama menepuk pelan pundak Nisa. "Lo suka banget naburin garam di atas luka orang, ya? Gimana kalau ternyata selera Lav cowok bedigasan kayak Drake, gitu?" "Drake orangnya baik, dia nggak pernah kasar sama sekali ke gue waktu kita masih pacaran," jelas Lav, agak sedikit membela mantan kekasihnya yang selalu dicap buruk di mana-mana. Tama tersenyum masam. "Iya, dia juga bukan tipe buaya darat kayak cowok di belakang lo itu, kan?" Lav dan Nisa sontak menoleh menatap Lion yang ternyata telah bergabung dengan mereka bertiga. "Kapan sampai?" tanya Lav secara spontan saat melihat Lion ada di sana. "Barusan." Lion memalingkan muka ke arah Tama. "Nggak dilanjut lagi ghibahannya? Gue mau ikut dengerin." "Kagaklah, orang yang dighibahin ada di sini, kalau dilanjutin lagi, lo bisa-bisa mutilasi kami!" celetukan Tama membuat Nisa langsung menjitak kepalanya dengan keras. "Dasar oon! Lo perlu les sama Lav lima kali sehari biar agak pinteran dikit!" saran Nisa sambil meniup-niup tangannya yang barusan memukul kepala Tama yang keras sekali. Sambil memegangi kepalanya, Tama menatap Lav dengan penuh maksud terselubung di balik tatapan matanya. "Mau, ya?" "Iya, nanti siang kalau jam pelajaran kelar, kita ke perpustakaan. Nisa nggak mau ikut sekalian?" tawarnya sopan dan ramah seperti biasa. Nisa menggeleng cepat. "Gue absen, ya, mau jalan sama gebetan!" "Om-om lagi, Nis?" Kepo si Tama. "Yang penting, kan, isi dompetnya," balas Nisa santai dengan senyum tanpa dosa. Lav tersenyum tipis, dia memalingkan wajah menatap Lion yang juga tengah menatap matanya. Netra abu-abu dan hitam itu beradu, mereka tidak sadar saling tatap lama sampai suara Tama menyadarkan mereka untuk kembali ke realita. "Lo ikutan nggak ikutan sekalian, Li?" "Nggak, gue punya urusan." "Oke, jadi kita dating berdua entar siang, ya, Lav?" tanya Tama memastikan, agak senang juga akhirnya dia bisa berdua-duaan dengan seorang Lavinia Radhella. Lav tersenyum miring. "Bukan berdua, tapi bertiga." Dia mengangkat buku di tangannya. "Sama ini juga, jangan lupa!" "Iya, iya, astaga! Untungnya lo baik, kalau enggak udah gue sleding dari lama, karena sakin ngeselinnya!" Tama, Nisa, dan Lav tertawa, kecuali Lion yang hanya bisa menatap ketiganya tanpa ekspresi. Mereka memang menyenangkan, tapi dia belum bisa melebur bersama mereka secara keseluruhan. Hanya cewek itu yang bisa menenangkan dan membuatnya merasa nyaman. Hanya dia yang sanggup membuat Lion bertahan di lingkaran persahabatan itu, karena cewek itulah ... satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya selama ini. ___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD