02 Kehadiran Mereka

1432 Words
Author’s POV Hari ini adalah hari kedatangan paling ditunggu Ferdinand selama hidupnya. Dia bahkan sangat banyak membantu untuk membawa beberapa barang yang dibawa oleh kekasihnya, Dahlia. Sementara itu, Grace juga membantu beberapa barang bawaan Clarissa, adik tirinya. Ia tidak pernah melihat ayahnya, Ferdinand bisa tersenyum lepas seperti itu. Selama ini, dia selalu memasang wajah dinginnya terhadap dirinya dan ibunya. Kali ini Ferdinand tampak bahagia. Hal ini tentu memilukan Grace yang selalu memasang wajah ramahnya kepada orang-orang.   Kedutan di hatinya semakin kuat ketika Ferdinand menyapa Clarissa dengan sangat ramah dan lembut. Ferdinand bahkan melewati dirinya, tidak ada senyuman ataupun keramahan yang ia dapatkan dari ayahnya itu. Grace menahan dirinya dengan senyuman ramahnya terhadap Clarissa. Clarissa juga tampak memamerkan senyuman manisnya terhadap kakaknya itu. “Ini kamar kamu,” “Terima kasih kak udah bantuin bawakan barang-barangku,” ujar gadis itu dengan ramah. Grace mengangguk dan hendak meninggalkan dirinya, namun gadis itu mencegatnya, “Hmm? Apa ada yang bisa kubantu?” ujar Grace dengan bingung, “Umm… anu. Bukankah seharusnya kakak marah kepadaku?” “Marah? Marah kenapa?” “Aku dan mamaku. Bukankah kami merusak-“ “Tidak usah di ambil pusing. Aku tidak membenci dirimu kok. Aku bahkan selama ini menginginkan seorang adik juga…” ujar Grace dengan senyuman tulusnya, Clarissa hanya bisa mengangguk kaku. Dia meletakkan tasnya dan melayangkan tangannya untuk berjabat tangan kepada Grace, “Clarissa. Panggil saja Rissa kak,” “Baiklah Clarissa. Aku Grace…” Keduanya saling berjabat tangan dengan senyuman tulus mereka masing-masing. Meskipun keduanya kambali canggung, tapi keduanya saling menertawai satu sama lain karena kecanggungan yang mereka alami, “Baiklah, yuk kita turun,” ajak Grace yang langsung dianggukkan oleh Rissa. Grace berusaha untuk menyakinkan dirinya bahwa perselingkuhan ayahnya dengan Dahlia bukanlah salah Rissa. Rissa hanyalah gadis yang tidak bersalah atas apapun. “Mau ikutan masak buat lunch tidak?” ajak Grace lagi yang diangguki oleh Clarissa. Grace tersenyum dan menyapa mbok Inem yang sedang memotong-motong daging, “Eh nona, ada apa atuh non?” “Ini mbok, Rissa juga mau ikut bantu masak,” “Haduh tidak usahlah non… biar mbok saja,” “Tidak apa mbok, Rissa juga pengen belajar masak,” ujarnya dengan antusias. Melihat keantusiasan keduanya, mbok Inem seakan tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang mereka inginkan, Mbok inem memberikan beberapa siung bawang putih untuk di cincang oleh Rissa, sementara Grace membantu mbok Inem untuk memotong daging. Grace sedikit melirik Rissa yang tampak tidak lihai dalam memotong bawang. Sadar jika gadis itu membutuhkan pertolongan, Grace menghampirinya dan mempraktekkan cara untuk memotong dan mencincang bawang itu. Rissa mengangguk mengerti dan mencoba untuk mempraktekkan apa yang sudah Grace perlihatkan kepadanya. “Aw!” Jari gadis itu teriris dan cukup banyak mengeluarkan darah. Melihat gadis itu yang merintih karena kepedihan, Grace langsung lari ke kamarnya untuk mengambil kotak P3K. Namun ketika ia sudah sampai di dapur, ia melihat Dahlia yang tampak panik melihat jari anaknya yang sudah teriris, “Siapa yang suruh kamu ngiris bawang sih!” “A-ah, Rissa sendiri yang mau kok ma…” “Permisi tan,” ujar gadis itu, meminta Dahlia untuk sedikit bergeser agar dia bisa mengobati jari Rissa. “Pasti kamu! Kamu kan yang suruh-suruh anak saya buat motong bawang padahal kamu udah tahu dia tidak pandai memasak!!” “B-bukan begitu tan, saya-“ “Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Ferdinand ketika ia mendengar kegaduhan. “Ini nih sayang! Dia suruh-suruh Rissa buat motong bawang sampai tangannya tergores begitu!” “B-bukan begitu tan, saya-“ PLAK! Gadis itu tertegun, bahkan ia tidak meluruskan pandangannya ke depan karena tamparan Ferdinand yang tidak ia duga-duga. “Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk memperlakukan mereka dengan baik?” Grace hanya diam. “Tu-tuan, maaf… ini salah saya yang membiarkan mereka untuk membantu saya,” Tidak hanya mbok Inem yang memasang tameng untuk Grace, Rissa juga langsung menghampiri kakaknya itu dan memasang tubuhnya di depan Grace, ”Cukup pa, ini salah Rissa dan kak Grace tidak ada memaksaku untuk membantunya. Aku sendiri yang ingin membantu. Jadi jangan salahkan kak Grace karena ini kemauanku,” “Terserah,” ujar pria itu, meninggalkan kedua anaknya dan mbok Inem yang masih tetap ada di tempatnya. Dahlia memicingkan matanya terhadap Grace dan melewatinya dengan sinis. Setelah keduanya pergi, Rissa berbalik dan mendapati gadis itu yang sudah mengeluarkan air matanya. Tatapannya kosong, ia bahkan tidak meluruskan pandangannya karena sensasi tamparan Ferdinand masih membekas di pipinya. Rissa memegang kepalanya untuk gadis itu menatap kepada dirinya, “Kak… maaf ya…” Gadis itu menunduk sebelum dia tersenyum simpul,”Iya tidak apa kok… oh iya, mana jarimu? Biar aku obati ya…” Rissa menunjukkan jarinya gadis itu dengan cepat mengeluarkan kapas dan beberapa peralatan lainnya untuk mengurus luka di jari Rissa. Gadis itu memaksakan senyumannya di tengah air mata yang masih jatuh. Rissa melihat gadis itu dengan pilu. Ia tidak menyangka jika Ferdinand akan menamparnya seperti itu karena selama ini Ferdinand selalu memperlakukannya dengan lembut dan baik. Ia bertanya-tanya, mengapa Grace harus mengalami perbedaan dengan dirinya. “Oke sip. Selesai…” “Yaudah non, kalian berdua tunggu saja ya. Biar mbok saja yang kerjakan,” Keduanya mengangguk pergi dari dapur itu menuju ke kamar Rissa. Di dalam kamar Rissa, keduanya memutuskan untuk merapikan barang-barang yang ada di koper Rissa. “Aku tidak menyangka jika papa bisa menamparmu,” Grace tersenyum kecil,”Iya… ini pertama kalinya dia menamparku,” “Mengapa bisa begitu? Bukankah kakak juga anaknya? Kenapa dia bisa bersikap seperti itu kepada kakak?” Grace mengendikkan bahunya,”Entahlah, aku juga tidak mengerti,” “Apa perlu aku memperingatkan papa untuk tidak bersikap seperti itu kepadamu?” Grace menggelengkan kepalanya,”Tidak, tidak. Tidak usah… aku gak apa kok,” Gadis itu berbohong. Ia hanya takut jika ia dituduh yang macam-macam seperti yang Dahlia lakukan tadi. Ia ingin mengambil jalur aman agar dirinya tidak menjadi bahan kekerasan seperti tadi. **** Grace melihat pantulan dirinya di cermin. Ia masih memikirkan apa yang sudah Ferdinand perbuat kepadanya. Tamparan itu hampir membuatnya terhuyung ke belakang. Ia kemudian teringat dengan isi diary ibunya yang juga mendapat tamparan dari Ferdinand karena sudah memergoki perselingkuhan Ferdinand itu sendiri. Air matanya kembali keluar dan dia mengusapnya dengan cepat. “Sebenarnya aku ini apa… mengapa tidak ada yang menganggapku?” “Ibu… apa yang harus kulakukan?” ujarnya sembari mengangkat kepalanya ke udara. Tidak berapa lama, gadis itu memutuskan untuk mengambil buku diary Fiona yang ia simpan di rak buku. Dia membuka halaman yang merupakan sambungan dari halaman yang ia dapatkan kemarin. Ia sangat merindukan ibunya dan bertanya-tanya bagaimana Fiona bisa bertahan bersama dengan ayahnya yang tidak mencintainya dengan tulus, Dear Diary… Semenjak kejadian itu, Ferdinand tidak lagi tidur bersama denganku. Ia sering tidak pulang, kalaupun dia pulang, terkadang dia pulang dengan keadaan yang mabuk. Aku melayaninya dan mengurusnya walaupun dia terus mendorongku untuk menjauh darinya. Aku tahu ini bodoh, tapi sebagai seorang istri yang baik, aku ingin melayani suamiku sebagaimana mestinya. Aku ingin menjadi teladan untuk anakku, Grace. Aku ingin dia menjadi gadis yang kuat dan mandiri, aku berharap banyak kepadanya. Disamping itu, aku juga mencintai Ferdinand dari hatiku yang paling dalam… walaupun aku tidak mengerti mengapa dia bisa berubah menjadi dingin kepadaku dan Grace, tapi aku selalu mendoakannya agar dia bisa kembali seperti kami baru-baru menikah… Grace tidak menahan air matanya, begitu dia sadar jika air matanya sudah membasahi buku diary itu, dia dengan cepat menyeka air matanya dan menutup buku itu untuk ia peluk. Sudah ia putuskan, ia akan mengambil jalan seperti ibunya. Ia akan berusaha untuk mengambil hati ayahnya bagaimana pun caranya. Tok tok “Ya?” “Ini aku kak…” Begitu Grace mengetahui jika yang mengetuk pintu tersebut adalah Rissa, ia langsung menyeka air mata nya dan membukakan pintu untuk gadis itu masuk. “Ada apa, Rissa?” “Umm anu, bolehkah kita tidur bersama? Aku baru saja bermimpi buruk dan aku sangat takut sekarang,” Tanpa berpikir panjang, Grace mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke dalam kamarnya. Rissa merasa senang, ia bahkan berlari dan membanting tubuhnya di ranjang milik Grace, “Tempatmu sangat nyaman ya kak…” Gadis itu tersenyum,”Begitulah,” Rissa menatap kakaknya itu dengan tatapan menilai. Dalam sehari ini ia terus tersenyum kepada dirinya dan ibunya. Walaupun Dahlia sama sekali tidak menggubris Grace dan menganggap keberadaaan sang kakak, namun gadis itu tetap tersenyum kepada semua orang., Meskipun begitu, Rissa merasa kurang nyaman, karena baginya gadis itu pasti sedang menyimpan sesuatu atau mungkin menyembunyikan sesuatu yang tidak seharusnya dirinya tahu.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD