01 Dear Diary...

1377 Words
Author’s POV Tidak ada yang tahu betapa pedih hatinya saat ini. Hanya dialah yang mengetahui betapa rindunya ia dengan sosok ibu yang selalu ada disisinya di saat ia merasa terpuruk karena hubungannya dengan ayahnya yang tidak baik. Gadis itu hanya diam termenung dengan air mata yang masih saja berderai. Menyakitkan, sangat menyakitkan. Gadis yang kerap disapa Grace ini berusaha keras hingga dia mendapatkan cumlaude, namun tampaknya hal itu sama sekali tidak menyenangkan hati Ferdinand, ayahnya sendiri. Ia bahkan tidak hadir pada saat gadis itu wisuda. Dengan pencapaiannya tersebut, gadis itu juga harus menahan kepedihannya karena semua orang tua temannya sangat suportif dan terlihat bangga terhadap anak mereka masing-masing. Sementara dia, ia hanya sendirian menatap iri teman-temannya yang tampak sumringah bersama dengan kedua orang tua mereka. Ibunya, Fiona sudah meninggalkannya dan ayahnya sama sekali tidak memperdulikan dia. Padahal wisuda itu adalah momen yang sangat sakral untuk para mahasiswa yang berhasil memperjuangkan gelar mereka.   Grace menyeka air matanya begitu seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ia berbalik dan ternyata yang mengetuk pintu tersebut adalah asisten rumah tangganya, mbok Inem.  “Nona… Tuan panggil nona untuk turun makan malam,” “Ada apa ini…?” “Apa mbok gak salah ngomong?” Mbok Inem yang seakan mengerti dengan ketidakpercayaan Grace, menggelengkan kepalanya kepada Grace,”Tidak non… Saya udah persiapkan makan malam nya juga atas perintah dari tuan,” Grace bangkit dari kasurnya dan menghampiri Inem yang juga seakan memberikan sesuatu kepadanya, “Ini non…” “Ini apa mbok?” “Ini buku diary nyonya Fiona, non...” Mendengarnya jikalau buku ini adalah buku milik ibunya, gadis itu langsung mengambil buku itu dan memeluknya dengan erat. “Ayo non, tuan sudah nunggu di bawah…” Grace mengangguk dan meletakkan buku itu di rak lemari bukunya. Ia kemudian berbalik mengikuti mbok Inem yang seakan menuntunnya untuk menemui ayahnya yang sudah menunggu. Grace menelan ludah karena ia tidak tahu apa yang akan terjadi dan apa maksud dari ayahnya untuk memanggilnya. Ia sama sekali tidak mengetahui apapun dan tidak ada sesuatu yang dugaan yang melintas di pikirannya. Dia menarik nafasnya ketika dia sudah menarik kursi dan duduk di depan ayahnya. Grace masih menatap Ferdinand yang sampai saat ini belum menatapnya. Gadis itu menunggu ayahnya untuk membuka mulut, tapi tampaknya hal itu tidak akan terjadi, “Ada apa, yah?” tanya gadis itu, menatap ayahnya yang mulai mengangkat kepalanya untuk menatap Grace, “Makanlah…” “T-tapi,” “Makan,” ujarnya dengan dingin yang menuai anggukan kaku oleh Grace. Grace mengambil sendok dan mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Mata nya melirik kepada ayahnya yang sama sekali tidak menatapnya ketika ia makan. Ia sangat penasaran mengenai apa yang akan ayahnya bahas kepada dirinya. Tidak biasanya ia makan seperti ini dengan Ferdinand, bahkan saat Fiona adapun, mereka tidak pernah melakukannya. Setelah makanan itu habis mereka makan, kecanggungan terjadi diantara mereka. Gadis itu berpikir berulang kali apakah dia yang seharusnya membuka percakapan atau tidak. Dan baru saja dia hendak membuka mulutnya, Ferdinand sudah mengeluarkan suaranya terlebih dahulu, “Aku akan menikah,” Bagaikan petir di siang bolong, gadis itu terdiam menatap ayahnya yang juga menilik ekspresi dari gadis itu. “K-kapan?” “Minggu depan,” “Dan ayah baru memberitahuku sekarang?” pungkas gadis itu dengan kaget. Ini sangatlah mendadak bagi gadis itu, “Memangnya kenapa?” “Siapa…”  tanya nya sembari mengepalkan tangannya,  “Siapa dia? Sudah sejak kapan kalian bersama?” “Bukan urusanmu,” “Belum satu tahun ibu meninggal dan sekarang ayah ingin menikahi seorang wanita yang bahkan aku tidak kenal? Ayah, sebenarnya apa kau menganggapku dalam hidupmu? Pikirkanlah perasaan-“ “Untuk apa aku melakukannya?” “Huh…?” “Perasaanmu tidaklah penting bagiku. Tahu dirilah, setidaknya aku membesarkanmu dengan uangku,” Gadis itu tidak bisa membendung emosinya. Grace mengepalkan tangannya dengan mata tajanmnya sudah berkaca-kaca,”Aku tidak pernah memintamu untuk membesarkanku jika kau memperlakukanku seperti ini. Lebih baik kau membunuhku daripada kau-“ “Cukup,” ujar pria itu, menatap anaknya dengan tatapan yang dingin. Sementara Grace, dia membulatkan matanya dengan kekecewaan yang luar biasa. “Minggu depan mereka akan tinggal disini. Bersikap baiklah selagi aku masih menanggung hidupmu dengan uangku,” ujarnya sembari beranjak dari kursinya.  “Mereka?” “Ibu tiri dan adikmu,” “Ayah… j-jangan bilang kau-“ “Kau mengerti kan? Bersikap baiklah kepada mereka atau aku akan menghabisimu,” ujarnya sebelum dia berbalik dan meninggalkan Grace sendirian. “Menghabisiku?” gadis itu menutup bibirnya dengan air mata yang masih mengalir membasahi wajahnya. “Sebenarnya, apa ayah pernah menganggapku sebagai anaknya?” Kata-kata itu menyakitkan hati gadis itu. Ia meremas bajunya dengan erat dengan isakkan kecil yang berusaha ia tahan. Ini menyakitkan, sangat menyakitkan. Ia juga memikirkan perasaan ibunya jika ia mengetahui bahwa Ferdinand sudah berselingkuh dengan wanita lain, bahkan hasil perselingkuhan itu membuahkan seorang anak. Gadis itu berhenti terisak begitu dia teringat dengan buku diary ibunya. Dengan cepat, dia melangkah ke dalam kamarnya dan mendapati buku itu untuk ia baca. Ia penasaran, apakah Fiona mengetahui perselingkuhan Ferdinand atau tidak. Dear Diary, Hari ini aku dan Grace membuat kue bersama. Aku tidak menyangka jika dia cukup lihai mengingat ini pertama kalinya aku mengajarinya. Aku senang melihatnya yang sangat antusias saat menghias kue tersebut. Sayang sekali Ferdinand tidak mencicipi kue yang kami buat bersama. Aku yakin dia akan menyesal karena kue yang kami buat sangat enak! Grace tersenyum ketika membaca halaman pertama dari diary ibunya. Ingatan gadis itu melayang kepada masa dimana ia dan Fiona membuat kue dengan cantik. Mereka berharap jika Ferdinand menyukai kue tersebut, namun sayangnya Ferdinand menolak kue buatan mereka dan memilih untuk meninggalkan kekecewaan yang mendalam bagi Grace. Namun, Fiona tidak patah semangat. Ia berkata jika mungkin Ferdinand sudah makan sebelumnya sehingga ia masih kenyang. Grace yang sangat lugu hanya menganggukkan kepalanya dengan mengerti. “Ibu… aku rindu ibu… hiks,” Gadis itu meluruskan pandangannya begitu ia baru ingat apa yang seharusnya ia cari tahu kebenarannya. Grace membuka halaman buku itu dengan acak hingga dia menemukan suatu foto yang terselip di halaman buku tersebut, “Ini…” Gadis itu melihat lagi dengan jelas, jika ini adalah ayahnya dengan seorang wanita yang berfoto mesra bersama. Di foto itu, Ferdinand tampak masih muda, begitu juga dengan gadis yang ada di foto tersebut. Grace langsung membaca halaman yang berisikan foto itu, Dear Diary, Aku mendapatkan ini di saku suamiku. Aku tidak menyangka dia masih menyimpan foto ini hingga sekarang. Ya Tuhan… pertanda apa ini? Grace dengan cepat membuka halaman selanjutnya, Dear Diary, Aku menanyakan foto ini kepada Ferdinand dan dia menjawabku dengan dingin. Dia bahkan tidak menutupi jika dia masih menyimpan foto ini. Tentu saja aku tahu siapa yang ada di foto ini, tapi Ferdinand tampaknya tidak berusaha untuk menutupinya. Aku tidak ingin berpikir aneh-aneh kepada suamiku, ya Tuhan… apa yang harus aku lakukan? “Ibu…” Grace kembali membalikkan halaman buku itu, Dear Diary, Aku tidak sengaja melihat notifikasi ponsel suamiku ketika ia sedang mandi. Seseorang meneleponnya dan aku mengangkatnya. Aku terdiam ketika suara ini memanggil suamiku dengan sebutan sayang. Aku tertegun, lemas rasanya kaki ini. Aku mengumpulkan keberanianku untuk menanyakan siapa wanita tersebut. Dan begitu aku menanyakannya, dengan santainya dia memberitahu namanya kepadaku. Belum sempat aku membuka mulutku, Ferdinand merampas ponselnya dariku dan menamparku. Aku memegang pipiku yang panas dengan air mata yang sudah terkumpul di pelupuk mataku. Kekagetan ku tidaklah berhenti sampai disini. Dia bahkan sempat tersenyum untuk membalas sapaan wanita itu dan bahkan dia berjanji untuk menghubunginya nanti. Bagaimana bisa dia memperlakukanku seperti itu? Tidakkah dia tahu betapa hancurnya perasaanku sekarang? Selepas dia menutup panggilan itu, dia menatapku dengan sengit dan memperingatkan ku untuk tidak memegang barang-barang miliknya. Aku tidak menyangka jika dia tidak berusaha untuk menutupi perselingkuhannya dariku. Sebenarnya, apakah dia menganggapku sebagai istrinya? Mengapa? Ferdinand… mengapa kau bisa berubah jadi seperti ini? Apa salahku? Gadis itu tidak tahan lagi, ia menutup buku itu dengan air mata yang terus mengalir dari matanya. Jadi selama ini ibunya mengetahui perselingkuhan Ferdinand, namun dia menutupinya dari Grace. Gadis itu kembali meletakkan buku itu di raknya dan membanting tubuhnya di kasur. Ia tidak bisa menahan isakannya, ia mengambil guling dan memeluknya dengan erat. Ia membenamkan tangisannya supaya tidak terdengar sampai keluar.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD