00 Prolog

357 Words
Author’s POV Semuanya tentang hidup. Tidak akan ada satupun yang tau serapuh maupun selancar apa jalan hidup yang kita hadapi. Tuhan telah merangkai dan membingkainya sedemikian mungkin. Dan disinilah Grace, menatap pencakar langit diatasnya dengan perasaan mati miliknya. Ia sungguh tidak memiliki perasaan apapun dalam hidupnya, tidak ada warna maupun hiasan kecil yang dapat ia rasakan di hidupnya. Sama sekali tidak ada. Grace berdiri, ia menatap ramainya jalan raya di bawahnya. Ia tidak bisa menampik bahwa ia merasa depresi akan kepergian ibunya yang menghantamnya dengan kuat. Kerabat yang tersisa padanya hanyalah ayahnya, namun ia baru saja mengetahui akar mengapa sang ayah begitu dingin kepadanya. Semuanya bermula dari ia mengalami kekosongan ketika Fiona--- ibunya meninggal secara tidak terduga. Tak hanya itu, ia juga baru mengetahui bahwa dirinya bukanlah anak kandung dari ayahnya, Ferdinand. Ia terguncang begitu ia mengetahui fakta tersebut yang belum sempat ia cari tahu kebenarannya. Setelah apa yang sudah ia perjuangkan agar sang ayah memperhatikannya, kini ia mengerti mengapa sang ayah begitu dingin kepadanya. Ia tidak habis pikir, segitu kejamnya kah Tuhan dalam hidupnya? Air matanya terasa kering, untuk menangis pun ia tidak bisa karena ia sudah banyak menangis dalam hidupnya. Tidak ada lagi yang selalu menghiburnya di kala Ferdinand--- ayah Grace mengabaikan keberadaannya, Tidak ada lagi yang selalu mengasihi Grace seperti ibunya mengasihi dirinya. Bahkan ayahnya sendiri seakan tidak pernah menginginkan kehadiran Grace di dalam hidupnya. Gadis itu lelah, Ia tidak dapat menahan dirinya ketika ia mengetahui jika sang ayah sudah lama berselingkuh dari ibunya, Fiona. Ia berusaha bertahan untuk melawan pahitnya hidup melalui diary yang ibunya tinggalkan untuknya. Diary itu merupakan kekuatan yang Fiona harap Grace bisa mewarisinya. Grace menatap lurus ke depan. Hatinya berdenyut kencang mengingat pahitnya hidup yang harus ia jalani. Ia benci hidup ini. Mengapa semuanya terasa kurang adil? Namun bodohnya, ia tidak pernah bisa membenci ayah itu. Disamping ayahnya sendiri yang menolak dirinya, ia juga harus menelan pil pahit karena sang ayah lebih memihak kepada sang adik tiri. Belum lagi, perlakuan sang ibu tiri yang secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap gadis itu. "Cukup sudah,” katanya yang kemudian memanjat pembatas rooftop dan berdiri di atasnya. "Selamat tinggal, hidupku,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD