Tawaran Pernikahan
"Hani, menikahlah denganku," pinta Dimas.
Hani yang baru saja meneguk minumannya, hampir saja tersedak mendengar ucapan lelaki yang belum genap satu jam bertemu kembali dengannya. Setelah bertahun-tahun tak ada kontak sama sekali diantara keduanya.
Pertemuan tak sengaja mereka hari ini, membawa Hani dan Dimas duduk bersama di sebuah coffe Shop.
"Tawaran macam apa itu!" ucap Hani.
Jika saja tawaran itu Dimas lontarkan beberapa tahun lalu, tentu saja Hani dengan senang hati menerimanya. Namun, tidak dengan saat ini, Dimas telah memiliki istri.
Dimas menghela napas berat, ide yang memang terdengar sangat gila tiba-tiba muncul diotaknya setelah kembali bertemu dengan Hani. Gadis yang dulu sempat menghuni hati Dimas. Dulu, Dimas kira cintanya kepada Hani bertebuk sebelah tangan, hingga ia enggan menyatakan perasaannya kepada gadis yang dicintainya.
"Kamu sudah punya istri, Mas!"
"Tolong," mohon Dimas.
"Aku nggak mau jadi perusak rumah tangga mu," kata Hani.
"Aku dan Mala sudah lima tahun menikah, Han. Tapi selama itu, aku dan dia belum punya momongan," tutur Dimas.
"Masih ada pilihan lain selain menikah lagi, Mas. Adopsi misalnya?" tawar Hani.
Dimas menggeleng cepat.
"Ibu nggak mau, aku sudah berulangkali ingin adopsi bayi. Berujung ibu marah besar," balas Dimas.
"Tapi tidak dengan menikah lagi, Dimas. Masih banyak cara lain," Hani menyebutkan beberapa cara agar Dimas dan Mala bisa berjuang mendapatkan momongan, tapi dari semuanya sudah Dimas beserta istrinya coba. Termasuk bayi tabung. Namun, dari berbagai cara yang dicoba, sama sekali belum membuahkan hasil. Usaha keduanya selalu gagal.
Hani menghela napas berat, cukup prihatin mendengar kisah rumah tangga Dimas.
"Ibuk sudah lama mengenalmu, pasti setuju kalau kamu jadi istri kedua ku, Han," kata Dimas.
"Aku, butuh waktu buat mikirin ini, Mas."
Hani beranjak dari tempatnya. Dimas secepatnya mengikuti langkah wanita itu, meraih tangan Hani.
"Biar aku antar," kata Dimas, ia tak mau mendengar penolakan dari Hani.
Sepanjang perjalanan, Dimas mengenang kenangan saat keduanya masih sering bersama. Dimana hubungan tanpa status itu masih terjalin erat. Saling merasa memiliki, meskipun tanpa pernyataan cinta terlontar dari bibir Dimas maupun Hani. Dimas juga membahas awal perkenalan mereka, sepupu Hani yang menjadi perantara hingga Dimas dan Hani bisa saling mengenal sampai hubungan mereka semakin dekat.
Mereka harus terbentang jarak ketika Hani melanjutkan pendidikannya di kota lain, memupus harapan Dimas untuk selalu bersama. Hingga Dimas memutuskan untuk menikahi Mala yang satu kampus dengannya.
"Kerja dimana sekarang?" tanya Dimas, pertanyaan yang harusnya Dimas katakan saat bertemu lagi dengan Hani tadi. Bukannya malah langsung mengajak Hani menikah tanpa basa-basi.
"Masih sekitar sini, di pabrik," ucap Hani.
"Kuliahmu?"
"Nggak lanjut, kurang biaya," ungkap Hani.
"Sudah lama kembali ke kota ini, Han?"
Hani mengangguk, "Sekitar lima tahun lalu."
"Curang! Kamu tak datang ke pernikahan ku!" kesal Dimas.
"Aku tidak diundang, kenapa harus hadir?" tanya Hani.
"Maaf. Aku akan mengundang mu di pernikahan kedua ku, Han."
"Sebagai mempelai wanita," lanjut Dimas.
Hani tak menjawab ucapan Dimas, ia ingin segera turun dari mobil lelaki itu. Tak ingin memperpanjang pembahasan tentang tawaran menjadi istri kedua Dimas.
"Boleh aku mampir?" tanya Dimas.
Mereka sampai di rumah Hani, rumah kecil sederhana dengan cat yang mulai memudar.
Keduanya saling tatap. Hani mengangguk pelan, yang sebenarnya tak sejalan dengan pikirannya. Harusnya Hani melarang lelaki itu mampir ke rumahnya.
"Bapak ibumu di rumah?" tanya Dimas.
"Mereka sudah berpulang," kata Hani, ia memutar anak kunci, membuka pintu rumahnya.
"Oh, maaf, Han. Sudah lama nggak tukar kabar, banyak banget yang terlewatkan," balas Dimas.
Keduanya masuk ke dalam ruang tamu. Dimas mengamati sekeliling, semuanya tak berubah. Masih sama seperti terakhir dirinya ke rumah itu sebelum mengantar Hani ke setasiun. Membuat perasaan lamanya, kembali membuncah di d**a. Seakan waktu sengaja mempertemukan mereka untuk kembali bersama.
"Tidak perlu repot buatin minum, Han. Santai saja," tolak Dimas, ia hanya ingin lebih banyak mengobrol dengan Hani.
"Semua masih sama ya, Han," seloroh Dimas.
"Apanya?"
"Suasananya, rasanya, orangnya," tutur Dimas, matanya menatap kewajah Hani. Wajah yang telah lama ia rindukan.
"Hanya perasaanmu saja, Mas. Banyak yang berubah," kata Hani, ia memalingkan wajahnya. Risih dengan tatapan Dimas padanya.
Baru lima menit Dimas berada di rumah Hani, ponsel yang berada di kantong celananya berdering.
"Dimana, Mas?" tanya Mala.
"Dari coffe shop, tadi tak sengaja bertemu teman lama," balas Dimas, matanya melirik ke arah Hani.
"Masih lama?"
"Setengah jam lagi. Kenapa, Mal? Mau titip sesuatu?"
"Nggak, cuma mau tanya kamu dimana. Nanti ke showroom, kan?"
"Iya, nanti ke showroom dulu. Sambil ngecek mobil yang baru dapet tadi."
"Oke, Mas. Aku tunggu di showroom."
Panggilan Dimas dengan istrinya berakhir, Hani hanya jadi penikmat obrolan sepasang suami-istri itu. Hani rasa hubungan Dimas dan Mala masih sangat harmonis, terlepas masalah mereka yang sulit memiliki anak.
"Masih boleh di sini, kan, Han?" tanya Dimas.
"Terserah kamu, Mas," ucap Hani, ia merasa sudah seperti selingkuhan Dimas.
"Kita bukan lagi orang asing, Han. Sudah saling kenal, bahkan aku masih menyimpan rasa itu untukmu. Aku dengan sungguh, memintamu jadi istriku, Han," ucap Dimas.
"Kamu juga sebatang kara di sini, aku takut terjadi sesuatu denganmu. Menikahlah denganku, biar ada yang melindungmu," lanjut Dimas.
"Ini terlalu terburu-buru untukku, Mas. Aku rasa lebih baik usahakan lagi, jika keinginanmu hanya seorang anak. Pulanglah, istrimu menunggumu," ucap Hani.
"Belum ada setengah jam, Han."
"Baik, setengah jam. Jangan bahas tentang keinginanmu untuk menikah denganku," kata Hani.
Sepeninggal Dimas dari rumahnya, Hani masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya. Niatnya menghilangkan penat menghabiskan waktu liburnya bekerja untuk ngopi, malah menjerumuskan dirinya bertemu dengan Dimas beserta rayuannya.
"Ada-ada saja laki-laki itu," gumam Hani. Ia harap Dimas tak akan datang lagi dengan niatan diluar nalarnya itu.
Lain halnya dengan Dimas, tekatnya sudah sangat bulat untuk segera menyunting Hani. Melebur sesal dimasa lalunya yang tak sempat memiliki Hani. Beruntungnya gadis itu sampai sekarang belum memiliki pasangan, sehingga jalan untuk menikahi Hani masih terbuka lebar.
"Kamu akan menjadi milikku, Han," ucap Dimas, mantap. Ia memacu mobilnya, mengarah ke Showroom mobil miliknya. Usaha jual beli mobil bekas yang ia rintis sejak awal menikah dengan Mala. Yang tadinya hidup pas-pasan, kini serba kecukupan dan berkelimpahan berkat kegigihan Dimas yang diiringi doa dari istrinya.
"Semringah sekali, Mas?" tanya Mala, kala mendapati sang suami sampai di tempatnya.
"Iya, kan ketemu kamu," balas Dimas.
"Gombal banget, sih."
"Harus dong, Sayang," kata Dimas, ia memeluk pinggang istrinya. Beriringan masuk ke dalam Showroom.