7 Tahun Kemudian...
"Halo yah?"
"El? Langsung ke kantor naik taksi. Ayah ada meeting mendadak. Nggak bisa jemput kamu di bandara. Bunda juga lagi gaenak badan. Ayah suruh istirahat."
"Oke yah, ini El dijemput sama Lexia."
"Oke salam dari ayah untuk Lexi. Kalian baik-baik."
"Iya yah.."
Baru saja El menutup pintu, seorang gadis berambut pendek tengah melambai dengan tawa lebarnya ke arah El. Memang dasarnya tawa bisa menular, buktinya kini El ikut tertawa lebar menerima sambutan itu. El rindu gadis itu. Hampir sebulan ia tak bertemu Lexia.
Langkah El sedikit cepat menghampiri Lexia, seperti dua kutup magnet yang saling tarik-menarik jika dipertemukan. El memeluk Lexia erat. Menghirup aroma s**u dari rambut gadis itu.
"Lexi long time no see." Ujar El.
"Hmm i miss you El." Bisik Lexi.
"Miss you too." El mengurai pelukan mereka, menatap wajah cantik Lexi dengan saksama. "Potong rambut ya?" Tanya El.
"Iya, gimana? Bagus nggak?"
"Cantik."
Lexi puas mendengar El memujinya. Ia membantu El membawa koper pria itu. "Gimana perjalanan bisnisnya? Lancar? Banyak cewek cantik nggak?"
"Banyak banget, tapi murahan semua."
"Bukan murahan El, pergaulan bebas di sana sudah biasa."
"Sama aja."
"Dih, nanti kamu disangka homo lagi."
El menarik gadis itu ke dalam rangkulannya. "Idih biarin. Aku ngga peduli kata orang."
"Masih nunggu dia ya?" Tanya Lexi.
El menggeleng, "Berkali-kali kamu tanya ini ke aku Lex, aku udah ngga ada perasaan apa-apa ke dia. Kan dia yang pertama nyakitin aku. Lagi pula 7 tahun lalu aku masih bocah, labil-labilnya manusia."
"Ih tapi kamu juga nyakitin dia El."
"Aku udah lupain semua Lex. Sejak aku putusin buat kuliah di luar negeri. Ketemu kamu yang ceria dan cerewet banget ini. Aku udah cukup punya temen yang bisa diajak kemana-mana dan bisa dibuat pacar sewaan buat pamerin ke yang lain."
"Idih aku nggak mau jadi pacar kamu El. Judes begini."
"Judes apaan? Akutuh baik tahu."
"Tapi gila sih. Kalo pacar aku tahu kamu gunain aku buat jadi pacar bohongan kamu. Bisa-bisa aku diputusin beneran El."
Tak terasa obrolan mereka selama di gedung bandara terhenti sebentar karena harus memasuki mobil Lexi yang terparkir. El memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil Lexi sebelum kemudian memasuki mobil menyusul Lexi.
"Sampai mana tadi obrolannya." Tanya El seraya memasang sabuk pengaman.
"Sampai reaksi pacar aku kalau tahu aku dibuat bahan pamer kamu." Balas Lexi.
"Oh iya, masalah itu ngga mungkin tahu lah lex. Kan pacar kamu di Inggris. Pulang aja tunggu berbulan-bulan. Santai. Kalau tahu dan kalian putus, aku kenalin sama rekan kerja aku yang kaya. Kalo ngga mau kamu sama aku aja, meskipun kamu ngga cinta nanti lama-lama juga cinta kok."
"Idih! Enak banget nih orang kalo ngomong. Ogah! Aku nggak mau ah! Udah ah ayo ke kantor. Om kris udah nungguin kamu."
"Siap princess."
Mobil mereka melaju. Kali ini El tidak bisa bersantai karena harus menyerahkan berkas laporan secepatnya. Jadi, mau tidak mau ya El tidak ada waktu untuk istirahat. Ia harus segera ke kantor.
30 menit cukup untuk mereka sampai. El langsung turun dari mobil Lexi. "Aku titip koper aku dulu ya Lex. Nanti aku ambil ke apartemen kamu." Ujar El terburu-buru.
"Oke aku tunggu di apartemen ya."
"Makasih Lex. Aku turun dulu."
Lexi dan El sama sama turun. Namun sampai beberapa langkah Lexi ingat ia membawakan baju kerja El. Dari Thalia tentu saja. "El!" Panggil Lexi sedikit keras. El membalikkan badannya karena panggilan itu. Lexi menjunjung tinggi paper bag yang ia bawa. "Dari tante Thalia, kamu mau ke kantor masa pake baju sesantai itu?"
"Oh iya lupa. Sorry." Buru-buru El menghampiri Lexi lagi. Mengambil paper bag dari tangan Lexi sebelum akhirnya pergi dari sana. El berlari cukup kencang karena dikejar waktu. Tak peduli beberapa karyawan yang memberikan hormat kepada direktur mereka.
Selesai mengganti pakaian, ia segera ke ruangan ayahnya untuk memberikan berkas penting tersebut.
Saat di luar ruangan El bisa mendengar suara tawa ayahnya. Hal itu semakin membuat El bingung. Siapa tamu yang datang? Kenapa ayahnya bisa selepas itu tertawa? Bukankah ayahnya bilang ada meeting?
"Siapa yang datang?" Tanya El kepada sekertaris ayahnya.
"Maaf pak saya kurang tahu, karena pak Kris yang menyambut tamunya sendiri dari luar ruangan. Bahkan tidak mengisi buku tamu."
"Terus saya boleh masuk? Pak Kris nggak pesen apa-apa?"
"Pak Kris berpesan berkasnya diserahkan kepada saya karena harus segera dikerjakan. Lalu anda disuruh langsung masuk saja."
El menyerahkan berkas kepada sekertaris Kris. Kemudian memilih mengetuk pintu ruang kerja ayahnya sebelum masuk.
Mata El langsung membulat karena terkejut melihat Leo yang tengah berbincang dengan ayahnya. Tawa dari wajah kedua pria paruh baya itu bahkan belum pudar. Meski pandangan keduanya sudah teralih pada sosok El yang berdiri mematung.
El langsung menormalkan raut wajahnya. Ia tersenyum kepada Leo dan ayahnya setelah itu. Tak seharusnya ia melebih-lebihkan dengan terkejut.
"Ini El." Ujar Kris.
"Halo El. Kamu sudah dewasa aja sekarang." Ujar Leo kepada Elmarc.
Dengan langkah berat El menghampiri Leo dan ayahnya yang duduk di sofa, dengan dua cangkir teh yang masih penuh. El menyalimi tangan Leo dan ayahnya bergantian.
"Halo om, apa kabar." Ujar El.
"Baik, kamu bagaimana?"
"Baik tentu om."
"Sekarang om bakal menetap di Indonesia. Tante Angel juga sudah bosan om tinggal terus karena urusan kerjaan di Singapore. Oh ya, katanya kamu udah jarang main ke rumah? Kenapa El?"
"Tahu sendiri om, El kuliah di Harvard. Selama kerja juga sibuk banget. Jadi nggak bisa jengukin tante Angel. Tapi kadang kalo tante main ke rumah bunda juga El ketemu."
"Iya tante bilang ke om. Makasih loh El inget tante pas kamu beliin make up bunda kamu." Ujar Leo.
"Iya sama-sama om, El selalu inget tante kalo beliin bunda make up."
"Tapi angel nggak berubah Leo. Aku juga sering dipalakin make up sama dia."
"Hahaha ya tahu sendiri lah kalau..."
Akhirnya kedua pria paruh baya itu asyik sendiri dengan obrolan mereka. Membuat El mau tidak mau terdiam lama menyimak. Sebenarnya ia sudah tidak betah berada satu ruangan dengan Leo. Jika mengingat masa lalu saat Leo diam-diam menyetujui keputusan Tarisa untuk pergi membuat hati El sesak tak beralasan. Meski ia sudah yakin bahwa ia sudah membunuh perasaannya kepada Tarisa sekalipun.
"Oh ya, Tarisa juga sudah pindah ke sini. El nggak jenguk Tarisa? Sudah 7 tahun lamanya kalian nggak ketemu kan? ."
Raut wajah El yang awalnya masih bisa tersenyum kini berubah datar. Hanya beberapa detik sebelum El kembali memasang senyum palsunya. "Taris sudah lulus kuliah om?" Tanyanya basa-basi. Tentu untuk mengalihkan pembicaraan. Mana mau El jenguk Taris? Yang ada nanti Taris ketakutan seperti dulu.
"Sudah, dia lulus satu tahun lebih cepat. Katanya ingin cepet-cepet pulang ke indonesia."
"Kenapa om?"
"Nggak tahu, dia emang aneh El. Dulu pas minta pindah juga mendadak. Minta pulang juga mendadak." Balas Leo. Ia sudah tidak mempermasalahkan masa lalu karena pikirnya El sudah melupakan hal tersebut. El, Taris, keduanya sama-sama dewasa saat ini. Leo hanya tidak tahu jika El masih merasakan sakit jika mengingat masa lalu.
Dan dengan sindiran keras El kembali menjawab. Ia juga menyandarkan punggungnya di kepala sofa. "Mungkin punya masalah dengan pacarnya om. Makanya pengen cepet-cepet pulang ke Indonesia." Balas El.
Nyatanya sindiran El tidak bereaksi pada Leo. Pria paruh baya itu tak merasa bahwa saat ini El sedang menyindirnya.
"Mungkin saja, tapi selama om di sana, om nggak pernah lihat Taris pacaran sih."
"Diem-diem kali om."
Leo hanya menggeleng. Kris tahu putranya sedang menyindir Leo. Namun untung saja Leo tak merasa. Kris menjadi penengah, ia kembali membuka suara. "Kapan-kapan kita makan malam bersama. Sudah lama kan?"
"Tentu. Tarisa pasti senang." Balas Leo antusias.
"Ehm.. yah, El ke ruangan dulu ya. Ada yang harus El selesaikan." Sanggah El, ia sudah benar-benar tidak betah berada di ruangan itu.
"Tentu tentu."
"El ke ruangan dulu om."
"Iya El. Maaf mengganggu jam kamu."
"Ah enggak kok om. Permisi."
El pergi dari sana. Wajahnya yang ia pasang seceria mungkin langsung berubah datar. Ia bahkan keluar dengan melonggarkan dasinya.
El tak ke ruangannya, ia memilih untuk ke atap. Atap sedang sepi karena memasuki jam kerja, jadi ia bebas menghirup udara segar di sana. El butuh asopan oksigen bersih saat ini.
Baru saja ia pulang dari luar negeri. Tubuhnya sudah lelah, harusnya ia pulang dan berendam air hangat. Namun Kris malah menyuruhnya segera ke kantor hanya untuk bertemu Leo. Kali ini El tidak mengerti dengan maksud ayahnya. Sudah jelas-jelas Kris tahu jika El pernah bermasalah dengan Leo maupun Taris. Meski itu sudah 7 tahun berlalu.
"Tarisa? Aku ingin melupakan nama itu. Nama dari pecahan masa lalu."
"Ini sudah berlalu. Tidak seharusnya aku marah. Aku sudah membunuh perasaan ini sejak lama. Dan aku bukan El dengan pikiran labil seperti dulu. Sadarlah El." Ujar El menepuk-nepuk pipinya sendiri.
"Mau tidak mau hal ini pasti terjadi. Aku juga akan bertemu dengan bocah itu. Ah dia sudah tidak bocah sekarang. Umurnya 21 tahun. Dia sudah dewasa. Dan aku tidak tahu seperti apa dia sekarang. Pasti kekasihnya tampan, banyak yang menginginkannya." Tambah El.
El mengeluarkan rokok dari dalam sakunya. Seberubah apapun ia di masa sekarang. El tetaplah El dengan segala kebandelan yang ia punya. Ia tak bisa dengan mudah melepaskan kebiasaan merokoknya.
El mengotak-atik handphonenya. Menelepon Lexia sahabatnya. Tak berapa lama Lexia mengangkat telepon El. "Lex."
"Apa El."
"Nanti temenin makan malem dong Lex."
"Idih makan sendiri lah, aku malem nanti mau maskeran di apartemen."
"Gitu banget sih Lex? Mood aku rusak nih hari ini."
"Kenapa lagi sih El? Masalah kerjaan?"
"Bukan."
"Terus?"
"Ngga tahu, rusak gitu aja."
"Yaudah deh aku temenin. Tapi kamu jemput aku ya di apartement. Sekalian ambil koper kamu."
"Iya Lex. Makasih ya."
"Oke aku tutup dulu ya. Aku mau mandi."
"Iya, aku juga mau pulang. Mau jengukin bunda. Kata ayah ngga enak badan."
"Iya."
"Ketemu nanti malem."
"Oke El."
"Bye.."
"Bye.."
El putuskan untuk Mengakhiri obrolan mereka melalui via suara. Kembali El menenangkan pikirannya. Memejamkan mata untuk merasakan angin berhembus menerpa wajahnya. Pemandangan kota memang sangat indah di siang atau malam hari jika di lihat dari atap kantor El. Pemandangan yang cukup menenangkan pikirannya. Dengan segala hiruk-pikuk kemacetan dan suara klakson mobil maupun motor yang saling bersautan.
"Cukup lupakan. Semua hanya masa lalu dan segala ambisi untuk memiliki dia. Sekarang sudah tidak lagi. Jadi lupakan saja. Jika bertemu pun kami bukan siapa-siapa selain teman masa kecil."
_________
Rupanya takdir sangat senang mempermainkan manusia. Pagi sekali El sedikit terlambat karena semalam asik dengan Lexi. Nyatanya mereka tak hanya makan malam. El mengajak Lexi ke club untuk mendengar musik disko yang cukup memekik telinga. Rupanya El sangat stress.
Alhasil saat ini El terlambat masuk kantor. Jika ayahnya tahu pasti ia akan terkena siraman rohani. Pasalnya Kris tidak setuju jika El pindah ke apartemen meski putra tunggalnya sering menjenguk mereka, tapi El ingin mandiri, semakin dewasa ia semakin memiliki ruang privasinya sendiri. Dan Kris mau tidak mau harus mengizinkan asal El mau sering pulang ke rumah.
Ia melihat sekertarisnya yang ada di meja luar ruangan menyambutnya. "Selamat pagi pak."
"Pak Kris ngga ada telepon ke sini?" Tanya El langsung menanyakan intinya.
"Enggak ada pak."
"Uh syukurlah."
Belum selesai El lega, sekertarisnya kembali bersuara. "Tapi pak Kris baru saja ke sini pak. Beliau bilang sedang ke kamar mandi. Sebentar lagi ke mari lagi."
El pasrah, Kris pasti akan mengomel padanya. "Yasudah, kirim scedule ke meja saya."
"Baik pak."
El memilih untuk memasuki ruangannya. Baru beberapa langkah ia langsung menghentikan langkahnya kala melihat seorang gadis duduk di sofa ruangannya. Menelanjangi keadaan sekeliling dengan gestur tubuh gugup.
El ingin membalikkan badannya dan pergi dari sana. Ia masih tidak siap bertemu gadis dari masa lalunya. Tarisa. Yah, gadis itu Tarisa. Masih sama kecuali wajahnya yang terlihat dewasa dan semakin cantik.
Untuk apa gadis itu datang ke ruangannya? Kenapa gadis itu punya nyali? Sejak kapan? Hanya itu yang ada di benak El. Tarisa terlihat berbeda dari dulu. Cukup membuat El terkejut. Apalagi dengan kedatangannya.
Tarisa akhirnya sadar jika El sudah berada satu ruangan dengannya. Sontak gadis itu berdiri dari duduknya. "Kak El." Sapanya.
- To be continue -