Karen menghentikan mobilnya di depan mansion Terren. Dia turun dari mobil dan menatap mansion besar itu. Ingatan ingatan yang sangat ingin dia lupakan kembali menderanya seperti badai. Menyeret Karen kembali ke masa masa kelam itu. Saat dia mengetahui wajah asli kakak kandungnya. Saat darah mewarnai rumah itu.
Karen menggelenglan kepalanya mengusir semua memori kelam itu. Karen sebenarnya benci kembali ke rumah ini, hanya mengorek luka lama. Tapi, di sinilah dia sekarang di depan mansion besar bergaya victoria kuno milik Terren, semua dia lakukan untuk Queensha.
Karen berjalan mendekati Mansion, menaiki undakan tangga hingga sampai di depan pintu masuk. Dia mendorong pintu besar itu dan berjalan masuk ke dalamnya. Seperti biasa, Terren tidak pernah mengunci pintu rumahnya. Dia ingat saat dulu pernah menanyakan alasannya pada Terren dan jawaban Terren saat itu membuat Karen sadar kalau kakanya adalah iblis.
“Biarkan jika ada pencuri yang mau masuk, akan kuberikan semua yang mereka mau, tapi saat mereka akan keluar, aku akan mengambil apa yang kuinginkan. Nyawa mereka” Terren tersenyum manis dengan sorot mata yang penuh dengan obsesi gila.
Karen merinding mengingat masa masa itu. Karen mengenyahkan ingatan itu, dia lalu masuk ke dalam. Terus berjalan ke arah ruang keluarga dan melihat siluet Terren yang sedang duduk di pantry. Karen berjalan ke arah pantry dan berdiri berhadapan dengan Terren yang menyesap kopinya.
Terren tersenyum melihat kedatangan Karen,”Halo adik kecilku. Apa yang membawamu menemui kakakmu ini di rumah ini? Seingatku kamu membenci rumah ini”, Terren menyeringai.
Karen menggigit dinding mulutnya berusaha mengabaikan ejekan kental dalam suara kakaknya itu. Dulu dia yang sesumbar tidak akan menginjakan kakinya ke rumah ini lagi dan Terren dengan santainya bilang saat itu kalau cepat atau lambat Karen akan menginjakan kakinya ke rumah ini lagi. “Aku mau membicarakan mengenai Queensha”
“Ahh”, Teren kembali menyeruput espressonya dan sedikit tersenyum saat rasa pahit menyengat lidahnya. “ Ada apa dengan Ratuku?”
Karen menggigit bibirnya paham kalau saat ini Terren sedang mengujinya,”Namanya Queensha . Dia bukan ratumu Terren”
Senyum Terren menghilang. Tatapannya begitu tajam pada Karen. Dia lalu melemparkan cangkir kopi yang dipegangnya ke arah Karen.
Karen memekik saat cangkir kopi itu melayang beberapa centi dari wajahnya dan menabrak dinding kaca di belakangnya yang memisahkan ruang keluarga dan dapur,”Terren!”
Terren tersenyum,”Maaf sayang, tanganku tergelincir.” Mata Terren menajam dan senyum itu berubah menjadi seringaian,”Harusnya cangkirku mengenai wajahmu bukan dinding kaca”
Karen tersentak. Keringat dingin mengalir dari dahinya. Rasa takut dan terancam terasa mencekiknya. Dia mundur selangkah. Tatapan Terren dan cara bicaranya kembali mengingatkannya pada malam berdarah itu. Perlahan tremor mengguncang dirinya. Air mata menggenangi iris hazelnya,”Terren..” Suara Karen terasa tercekik.
Terren tersenyum puas. Dia menyeringai turun dari duduknya. Dia berjalan menghampiri Karen dan berhenti tepat di depannya,”Saat kubilang dia adalah ratuku, maka kamu harus menyetujui perkataanku sayang. Kamu tahu kalau aku tidak suka dibantah. Kamu memang adik kandungku tapi seperti yang pernah kukatakan, itu tidak akan menghentikanku untuk menumpahkan darahmu” Terren mendekatkan wajahnya pada Karen dan berbisik di telinga Karen,”Karena kamu adalah adikku, aku bersedia menggunakan tanganku sendiri untuk itu”
Karen tersentak. Dia mendorong Terren keras,”Kamu sudah berjanji pada Hera Terren. Kamu tidak bisa melanggar janjimu”
Terren tertawa keras, “Biar kuulangi janjiku saat itu sayang. Aku berjanji tidak akan membunuh orang lain dengan tanganku sendiri.” Terren menyeringai,”Tapi bukan berarti aku tidak akan membunuhmu. Kamu bukan orang lain bagiku”
Karen tersentak,”Kamu.. Kamu tidak bisa melakukan itu Terren, dia.. Hera sudah..”
“Diam!” Jemari Terren sudah mencengkram leher Karen erat.
Mata Karen membulat, udara mulai menipis dari paru parunya. Matanya berair menatap Terren tidak percaya.
“Kenapa sayang? Kenapa menatapku dengan tatapan itu? Kenapa kamu terkejut? Bukankah kamu sudah tahu siapa aku?” Terren menyeringai mengetatkan cengkramannya di leher Karen. Terren mendekatkan wajahnya pada Karen hingga mereka berbagi udara,”Jangan pernah kamu ungkit lagi kejadian yang menimpa Hera, mulut kotormu tidak berhak membicarakan itu. Atau aku akan bermain main dengan sahabat kecilmu Queensha"
Terren melepaskan jemarinya dan berjalan mundur. Karen menunduk dan terbatuk hebat. Dia menghirup udara sebanyak banyaknya,”Jangan sentuh Queensha Terren!”
Terren menyeringai,”Aku akan menyentuhnya di mana pun yang aku mau. Membawanya hingga tidak bisa lepas dariku. Seperti aku yang tidak bisa lepas darinya. Seperti aku yang terus memujanya”
Karen menggeleng,”Kamu sinting”
Terren tertawa,”Kamu membuatku tersanjung sayang”
“Kamu tidak akan bisa memilikinya Terren! Dia akan menikah!”
Terren menyeringai,”Jika kematian saja tidak bisa memisahkanku dari cintaku, apalagi pernikahan?”
Karen menangis. Air mata mengalir deras dari matanya,”Jangan lukai Queensha. Kumohon. Hidupnya sudah sangat sulit, jangan kamu tambahkan beban dalam hidupnya Terren. Lepaskan dia, kumohon”
Terren tersenyum kecil melihat Karen, adiknya yang sombong memohon padanya,”Aku tidak akan melukai Queensha, selama kamu menjaga kelakuanmu sayang”
Terren tersenyum melihat Karen yang sudah terlihat pasrah kehilangan harapan,”Terimakasih sudah membawa Queensha ke dalam kehidupanku”
_YMO_
Queensha menatap pantulan dirinya di cermin sebuah mini dress yang jatuh sejengkal dari lututnya berwarna merah menyala dengan cowl neck yang rendah, menampilkan belahan payudaranya yang sempurna. Queensha menggigit bibirnya merasa tidak nyaman dengan pakaiannya, dia merasa ini terlalu terbuka. Tapi Karen sudah mewanti wanti dirinya untuk mengenakan pakaian ini di malam pesta lajangnya.
Queensha melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam, harusnya yang akan menjemputnya sudah tiba dari tiga puluh menit yang lalu. Queensha mencoba menghubungi lagi ponsel Karen, tapi kembali sistem yang menjawab.
Queensha duduk di ujung kasurnya siap melepaskan heels yang membelit kakinya, saat suara bel mengganggunya.
Itu pasti Karen.
Queensha berjalan keluar kamar menuju pintu utama dan membukanya.
Sebuah jas maroon yang pertama kali tertangkap indranya, tatapan Queensha naik dan irisnya bertemu dengan iris hitam kelam yang menatapnya penuh obsesi yang tidak bisa dia mengerti.
“Terren”
Terren menatap Queensha tajam. Sesuatu dalam jiwanya berontak liar melihat penampilan Queensha. Begitu cantik dan seksi. Belahan p******a yang indah, kulit putih yang mulus, wajah cantik yang dipoles makeup sederhana. Queensha begitu sempurna, terlalu sempurna untuk seorang manusia. Sesuatu dalam diri Terren bergejolak hebat, memaksa dirinya merengkuh tubuh mungil di depannya dan memilikinya seutuhnya, melakukan segala cara yang akan memisahkan ratunya dari orang lain. Hanya boleh dia yang menyentuhnya, yang menatapnya yang memilikinya. Ratunya, wanita yang dia puja.
Terren mengeraskan rahangnya merasa keinginannya terhadap Queensha tidak bisa dia bendung, terlalu kuat hingga membuat kepalanya sakit dan jantungnya berdetak cepat karena euforia yang sangat kuat.
“Terren?”
Terren mengerjapkan matanya saat Queensha menyentuh lengannya. Tatapannya menatap iris hazel Queensha.
“Kamu baik baik saja? Kamu terlihat sedikit aneh”
Terren terdiam melihat sorot ketakutan di iris Queensha. Dan Terren tidak menyukainya, Queensha tidak boleh takut padanya.
Terren tersenyum kecil,”Maaf, aku sedikit tidak enak badan”
Queensha mengangguk,”Mana Karen?”
“Karen tidak bisa menjemputmu, dia akan menunggu di tempat acara.”
Queensha menggigit bibirnya,”Maaf aku kembali membuatmu repot”
Terren tersenyum kecil,”Aku tidak bisa menolak keinginan adik kecilku kan?”, Terren tertawa kecil dan mengedipkan sebelah matanya. “Mari?” Terren menawarkan lengan kanannya. Queensha tersenyum kecil dan menerima lengan kanan itu. Mereka berjalan berdampingan menuju mobil Terren yang diparkir di pinggir jalan.
Terren tersenyum sepanjang perjalanan, tapi sayang senyum itu adalah senyum iblisnya. Sang iblis yang puas karena satu persatu rencananya telah berhasil. Tinggal menunggu saat yang tepat untuk memiliki sang ratu seutuh.