Bab. 2 - Mantan yang Terlupakan

1396 Words
Masa lalu bagimu mungkin hanya kisah yang harus ditutup dan dilupakan, tapi bagiku masa lalu adalah jalanku menemukanmu dan membalas semua perbuatanmu di masa kini.. Pilihanmu cuma ada dua Mengakui salah dan meminta maaf Atau memaksaku menggunakan caraku untuk membalas semuanya - Dipta – *** Sabtu sore sekitar pulul empat lewat, Tiara dan Lani naik ke pesawat. Anehnya, mereka berdua tidak mendapatkan nomor kursi yang bersebelahan, akan tetapi bersebrangan. Mulanya Tiara menyuruh Lani menukar nomor kursinya, tapi orang yang dimintai tukar keberatan dan menolak. Mau tak mau, mereka pun duduk secara terpisah. "Hai..." sapa seorang pria yang duduk di sebelah Tiara. Wajahnya seperti tak asing dan pernah Tiara temui sebelumnya. Tapi ia lupa siapa. Ia pun hanya membalas dengan senyum datar dan memalingkan muka ke arah jendela. "Kamu Tiara kan?" Mendengar namanya disebut, Tiara kaget. Ia pun mengangguk membenarkan. Berpikir mungkin pria di sampingnya hanya tukang modus saja. Penampilannya memang keren dan wajahnya tampan. Kulitnya juga tampak bersih. Ditambah senyum manis yang selalu merekah. Hanya saja, Tiara sudah tak lagi berminat mencari mangsa. Ia pensiun dari status playgirlnya. "Kamu lupa sama aku?" "Maaf? Siapa ya? Apa kita saling kenal?" balas Tiara tak mengerti. Pria itu menggelengkan kepala tanda tak heran. Ia menarik napas sekali dan mengulum senyum bingung. "Wajar kalau nggak ingat. Terlalu banyak mantan yang kamu miliki sebelumnya." "Mantan? Kamu?" Tiara ternganga tak percaya. "Ya. Aku salah satu mantanmu. Lebih tepatnya, mantan ketiga puluh satu." "What?!" Tiara memicing tak percaya. Alisnya menaut naik turun penuh tanda tanya. "Nggak usah kaget," balas pria tersebut. Kemudian Tiara berusaha mengingat-ingat kembali rentetan momen bersama pria-pria yang pernah ia kencani. Nihil. Semua samar dan sulit diingat sepenuhnya. Tak ada yang spesial dalam kenangan Tiara. Kecuali hanya senang-senang saja. "Serius kamu mantanku? Siapa namamu? Maaf aku benar-benar nggak ingat." Tiara mengurut kening. Entah sangking kebanyakan nama mantan, atau memang dasarnya ia yang kurang pandai mengingat masa lalu. Urusan bisnis Tiara juara. Tapi, urusan asmara ia hanya jago memikat dan membuat para pria patah hati. Sisanya, ia enyahkan dari memori begitu saja. "Nggak masalah. Aku bisa mengerti. Kamu cantik, banyak yang menyukaimu. Bukan salahmu kalau terlalu mudah melupakanku." "Boleh aku tahu siapa nama kamu? Ada bukti kalau benar kamu mantanku?" tuntut Tiara sarkastis. Sangking banyaknya rentetan daftar mantan pacar, Tiara sampe bingung sendiri. Kadang, ia bisa lupa dengan mudahnya. "Namaku Dipta. Biar kutunjukkan sesuatu." Pria yang baru saja memperkenalkan namanya itu pun lantas membuka galeri ponsel. Ia hanya menyalakan ponsel, tapi memasang mode terbang. Jadi, tak akan masalah meski dalam pesawat sekali pun. Kemudian ia menunjukkan beberapa foto dan video bersama Tiara. "Ini di Korea kan?" Tiara ternganga tak percaya. "Hem... di Korea ya?" Ia menimbang kembali ruang kendali ingatannya. Dipta mengangguk. "Sudah ingat?" tanyanya berusaha memastikan. "Ehm sepertinya sudah terlalu lama. Seingatku ini awal-awal aku memulai karir bekerja di sana. Sekitar enam atau tujuh tahunan lalu apa ya? Jadi, maaf ya kalau aku bener-bener nggak ngeh. Bukan mau sengaja, tapi seriusan, soal mantan memang ingatanku parah banget," tukas Tiara secara gamblang dan jujur. "Mungkin masa lalu bagi kamu cuma cerita singkat. Atau, mantan itu cuma koleksi yang pernah dimiliki terus dimusiumin sampe berdebu dan kamu lupain dengan gampangnya." Tiara hanya mesem sambil garuk tengkuk. Ia bingung harus menjawab apa. Antara malu bercampur rasa bersalah. Tapi, ia tak mau pura-pura ingat, padahal ia tak ingat. Lebih baik jujur daripada memulai sesuatu dengan kebohongan yang bisa saja malah akan berkelanjutan nantinya. "Bagaimana kabarmu?" "Aku baik. Alhamdulillah... Kamu? Kok bisa ya ketemu di sini?" Tiara tak percaya kebetulan. Tapi sekarang, ia malah mengalaminya sendiri. "Aku juga baik. Kalau dua orang dipertemukan kembali, biasanya ada dua alasan mendasar." "Apa?" "Pertama, untuk menyelesaikan apa yang belum sempat terselesaikan. Kedua, untuk memperbaiki apa yang pernah salah di masa lalu." Tiara tertegun sesaat. Seperti tak asing dengan kalimat tersebut. "Menurutmu pilihan mana yang berlaku untuk kita?" tanya Dipta blak-blakan. Tiara gugup ditanya demikian. Sebelumnya ia memang ahli memikat hati para pria. Namun sekarang ia malah bingung harus bersikap bagaimana dan menjawab apa. Efek patah hati membuatnya lupa jurus-jurus jitu yang biasa ia pakai untuk melunakkan lawan jenisnya. "Mungkin kita bisa menjadi teman?" balasnya mengambil jalan tengah. Dipta mengulum senyum tipis dan mengangguk saja. "Mau ke Jojga juga kan? Liburan?" "Iya. Dipaksa sama ituh," Tiara menunjuk Lani yang sudah lelap ke alam mimpi. Ia heran, kenapa hampir semua orang mudah tertidur di dalam pesawat begini. Mungkin ia merasa hanya dirinya yang telinganya berdengung terus akibat tekanan dalam pesawat. Jadinya tak bisa tidur dengan santai dan nyenyak. "Liburan harus dipaksa dulu?" "Lagi nggak mood soalnya. Kamu sendiri?" "Sama. Liburan juga. Jenuh sama kerjaan." "Aku inget pernah punya temen di Korea. Tapi apa iya kita pernah pacaran?" Tiara masih menimbang-nimbang. "Aku bahkan pernah kenalin kamu ke ortuku." "Hah? Seriusan?" "Tiara, sebenarnya kamu ini memang pelupa atau amnesia?" sindir Dipta setengah bercanda. "Aku bener-bener nggak ingat loh. Tapi, wajahmu memang kayak pernah kulihat gitu." "Nanti juga ingat kalau sudah waktunya." "Oh ya, kamu dari Jakarta? Tinggal di sana juga?" "Baru dua bulanan. Ada urusan yang harus dikelarin di sini kemarin. Dan sekarang waktunya liburan." "Nggak menetap?" Dipta menggeleng. "Harus balik ke Korea lagi." "Kenapa nggak di sini aja?" "Bisa saja, kalau berhasil nemuin perempuan yang mau kujadikan istri." Tiara tertawa. "Istri? Wow. Sangat serius dan mulia sekali ya tujuanmu," celotehnya setengah bergurau. "Kenapa?" "Nggak pa-pa. Aku merinding dengernya. Kamu nggak lagi berusaha modusin aku kan?" Tiara percaya diri bertanya. Ia sudah banyak makan asam garam kehidupan. Sepak terjangnya sudah banyak pengalaman. Hal atau situasi macam ini terlalu sering ia hadapi. "Bisa dibilang gitu." "Jangan. Nanti kamu sakit hati." "Kenapa? Kamu putusin lagi?" "Aku bukan perempuan yang bisa diajak komitmen seberani itu. Menikah itu butuh banyak kesiapan, terutama mental. Dan aku belum punya cukup bekal untuk berani ke sana." "Bukannya mentalmu sudah cukup berani untuk ninggalin orang yang sayang sama kamu?" Sejenak Tiara tertegun. Kalimat itu terdengar jelas sebagai bentuk sindiran yang tepat sasaran. Gadis itu menarik ulasan senyum getir. Ia menyadari kesalahannya selama ini. Dan berharap tak mengulangi lagi. "Setiap manusia pernah salah. Begitu pula denganku. Kalau bisa, aku pengen minta maaf sama semua orang yang mungkin udah kusakitin tanpa sengaja atau dengan sengaja." "Benar kah?" "Kalau bisa." "Kenapa? Kamu memutuskan berhenti dengan hobimu gonta-ganti pasangan?" "Kayaknya kamu dendam banget ya sama aku?" Tiara mulai menyadari sesuatu. Sejak tadi ia merasa bagai digiring dalam satu opini. Walau sudah mencoba disangkal, pada dasarnya fakta menunjukkan niat jelas Dipta. "Sedikit..." "Oke. Aku minta maaf?" "Apa menurutmu itu cukup?" "Kamu masih suka sama aku?" Dipta terdiam. Bola matanya menatap lurus retina Tiara. Gadis itu tersentak untuk sesaat. Belum pernah ada yang berhasil mendobrak paksa pintu hatinya dengan tatapan seteduh itu. Jiwanya diliputi kegamangan. Ia berusaha kembali menemukan kepingan memori yang belum berhasil terekam ulang. Kenangan tentang Dipta, sang mantan yang terlupakan. Baru sekarang Tiara menyesali satu hal. Ia yang hanya keseringan berkencan sebentar, paling banter sebulan dua bulan. Kini menyadari kenaifannya. Banyak waktu telah terbuang sia-sia tanpa ada ia dapatkan apa-apa. Proses penglupaan diri yang ia tekan selama ini hanya terpaku pada satu nama, hanya Abrar. Dan itu belum menemukan hasilnya. Di saat semua nama begitu mudah terhapus dalam angannya. Tiara terjebak dengan pandangan mata Dipta sekarang. Memaksa dirinya memutar ulang kenangan yang lama berlalu. "Sepertinya aku sedikit mengingat tentang kamu..." lirihnya meragu. "Katakan apa yang kamu ingat?" "Aku memang pernah bertemu kamu. Tapi, aku ragu soal kita pernah jadian." Keduanya hening. Mulai larut dengan pikiran masing-masing. Kehadiran Dipta yang tiba-tiba berhasil mendatangkan rasa penasaran dalam pikiran Tiara. Sementara, Dipta hanya bisa menunggu, sejauh mana Tiara melupakan semuanya. "Atau begini saja, bagaimana kalau kita memulai perkenalan kembali," tawar Dipta. "Baiklah..." "Boleh aku jadi temanmu?" Tiara mengangguk setuju. "Yang lalu biarlah berlalu. Maaf karena melupakan kamu..." ucap Tiara tulus. Dipta hanya tersenyum. Keduanya berjabat tangan seolah baru pertama kali berkenalan. Tiara tak tahu, ada lengkungan senyum aneh di sudut bibir pria yang duduk di sampingnya ini. Pandangan tajam dua matanya menghunus pasti, seakan ingin mengabarkan pada dunia, ada sesuatu yang ia simpan dan hendak utarakan di saat waktunya tiba. Entah apa itu.. 'Aku akan buat kamu mengingat semua dan menyadari letak kesalahanmu, Tiara..' batinnya penuh tekanan mendalam. Sementara Tiara masih mencari-cari kepingan ingatan dalam benaknya. Nama Dipta masih agak asing baginya, walau ia merasa seolah pernah ada nama itu dalam hidupnya. 'Dipta? Mantanku? Yang mana sih?' Jiwanya menerka-nerka tak karuan. Ia hanya bisa mengurut kening sekilas, karena masih samar tak jelas dalam benaknya. ==♡Sweet Holiday♡==
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD