Bab. 3 - Siapa dia?

1142 Words
Terkadang melupakan adalah jalan terbaik merelakan Namun, bukan berarti mudah untuk dilakukan *** "Hei lepaskan!" "Apa yang dilepaskan?" "Kamu menarik tasku!" "Apa?" Tiara menoleh ke belakang. Tasnya tersangkut pintu mobil. Tapi ia menuduh Dipta yang sengaja menarik. Pria itu berdecak sambil turun dari mobil dengan santai. Ada insiden ban bocor di pertengahan perjalanan tadi. Dan kebetulan lagi Tiara bertemu Dipta. Ia pun mendapatkan tawaran tumpangan. Mau tak mau ia menerima karena temannya merengek dengan alasan perut mulas, jadi harus buru-buru sampai penginapan. Terlebih keduanya punya tujuan sama. Ke tempat yang sama. Bahkan sampai tiba di kamar pun, ternyata mereka bersebelahan. Benar-benar kebetulan yang sangat beruntun dan aneh. Tapi Tiara tak mau ambil pusing. Lani berterimakasih pada Dipta dan temannya. Sedangkan Tiara sudah sangat kelelahan, langsung masuk dan merebahkan diri di atas kasur empuk. "Gue nyari nyokap dulu ya!" kata Lani setelah meletakkan koper miliknya di dekat tempat tidur. Benar sekali, mereka menginap di penginapan sederhana milik kakek nenek Lani. Karena keduanya sudah sepuh, sekarang ibunda Lani yang meneruskan mengurus. Meskipun sederhana bertemakan seperti rumah pribadi, kebersihan dan pemandangan di sekitar halaman cukup asri dan sejuk di pandang mata. Kamarnya juga tidak terlalu banyak, itu sebabnya pengunjung yang hendak menginap harus memesan jauh-jauh hari. Terlebih harga sewa per hari juga termasuk lumayan terjangkau. Sementara Tiara tertidur sangking lelahnya, Lani ke luar kamar. Ia mengecek ponsel dan mengirim sebuah pesan ke nomor seseorang. Tak lama, dari kamar sebelah seseorang muncul sambil memasukkan ponsel ke saku celana. Lani mendekati Dipta. "Gimana? Aman?" tanya pria tersebut seolah tak seperti orang asing. "Sejauh ini sih masih aman. Nggak ada kecurigaan apapun. Tapi kok aneh ya, masa Tiara sampai nggak ingat sama sekali sih?" "Mungkin karena saya pakai nama panggilan lain." "Kenapa nggak langsung pakai nama yang bersangkutan?" "Saya ingin dia mengingat sendiri." "Akan sulit." "Sepertinya begitu." "Berjuanglah!" "Terimakasih atas bantuannya." "Saya senang kalau kamu bisa kembali meluluhkan hati Tiara. Dengan begitu, dia nggak akan terus tersiksa mengingat cinta pertama yang kandas tanpa terungkap." Dipta hanya tersenyum tipis. Lani pun undur diri dan permisi mencari ibunya. Meninggalkan Dipta yang termenung sejenak dalam sebuah kenangan masa lalu. Bertahun silam lamanya, tapi masih cukup jelas tersimpan dalam memori. "Kenalin nih, namanya Tiara. Cantik kan? Aku mau kenalkan ke orang tua." "Baguslah kalau begitu." "Setuju?" Dipta hanya angkat bahu sekilas. Ia melirik seorang gadis cantik berkulit mulus di samping saudara kembarnya. Tubuh semampai yang proporsional, mata indah dengan bulu mata lentik tanpa kepalsuan, bibir yang terlihat merona hanya dengan polesan lipstik pink, serta pakaian sederhana yang terlihat rapi juga cocok dipandang mata. Gadis itu mengulurkan tangan seraya tersenyum ramah. Memperkenalkan namanya pada Dipta. Keduanya berjabat tangan sebentar. Sampai orang tua Dipta datang memanggil untuk segera masuk ke rumah. "Kalian kembar?" "Ya bisa dibilang serupa tapi tak sama. Cuma wajah dan badan yang mirip. Tapi selebihnya bener-bener bersebrangan banget." "Oh ya? Lumayan kelihatan sih. Kamu cenderung lebih humble, kalau dia agak terkesan sedikit kaku." Pria itu tertawa pelan. "Kamu belum kenal dia. Kalau sudan kenal, bisa lain lagi ceritanya." "Kenapa memangnya?" "Dipta itu cuma bisa receh ke orang-orang terdekatnya doang. Kalau masih asing ya biasa saja kelihatannya." "Hmm begitu ya..." "Lebih hati-hati sama dia." "Kenapa?" "Soalnya dia mudah melihat mana yang sungguhan, dan mana yang bohongan." Gadis itu melirik sekilas pada sosok yang dibicarakan. Dua mata legam Dipta nyaris menghunus sampai ke ulu hati Tiara. Ia merinding ngilu dibuatnya. Padahal hanya menatap sekilas, tapi rasanya seperti dituduh melakukan kejahatan saja. "Kenapa dia melihatku begitu?" "Sedang menilai." "Memangnya aku barang?" Pria di samping Tiara hanya mengangkat bahu sekilas. "Merinding. Aku harap cukup sekali ini kamu minta aku datang ke rumahmu!" Dan begitulah sekilas ingatan singkat terbayang dalam kepala Dipta. Ia menghela napas pendek, memutuskan untuk jalan-jalan sebentar ke halaman samping. Ia butuh udara segar untuk menenangkan kecamuk dalam batinnya. Berulang kali meyakinkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja. Tiara akan mengingat segalanya, kemudian rencananya bisa dilanjutkan sesuai keinginannya selama ini. "Seharusnya aku memakai nama saudaraku. Tapi aku nggak ingin menipunya seratus persen. Kecuali memang diperlukan, mau nggak mau harus kugunakan namanya..." gumamnya seorang diri. Malam menjelang, di penginapan tersedia makan malam khusus bagi yang memang menginginkan. Tentunya dengan harga berbeda selain hanya dapat sarapan pagi saja. Memang lebih hemat, tapi jarang yang ikut makan di tempat. Kebanyakan mereka makan di luar sambil menikmati indahnya Jogja di malam hari. Karena masih capek, Tiara dan Lani memutuskan makan di sini saja dulu. Besok baru mulai keliling jalan-jalan. Begitu pula dengan Dipta dan kawannya. Mereka pun masih lumayan lelah. "Boleh kami duduk di sini?" tanya Dipta sopan. "Silahkan," balas Lani ramah. Sejak melihat teman Dipta, gadis ini agak penasaran sesuatu. "Oh ya belum kuperkenalkan. Namanya Juan Lee. Teman saya di Korea. Ibunya asli Malang, Jawa Timur." "Oh pantesan, mukanya kayak perpaduan Korea-Jawa." "Saya juga bisa bahasa," kata Juan dengan logat sedikit medok. Mereka pun duduk dan makan bersama. Tiara tak banyak bicara. Hanya fokus menyantap hidangan di atas meja. Sesekali menimpali pertanyaan jika ditanya. Selebihnya, ia benar-benar lebih banyak diam. Sampai selesai makan pun gadis itu sedikit sekali bersuara. Ia permisi lebih dulu, dan memilih duduk di taman samping penginapan. Lokasi paling sepi dan strategis untuk melamun pastinya. "Apa yang kamu pikirkan?" Tiara terkesiap mendapati Dipta sudah berdiri di samping kursi kayu panjang yang ia duduki. "Cuma cari angin," jawabnya asal. "Cari angin atau cari cara untuk melupakan seseorang?" Tiara hanya berdecak sekilas. "Aku heran, ternyata kamu bisa juga patah hati ya?" "Bagaimanapun juga aku hanya manusia biasa." "Kamu menganggap karma?" Tiara menggeleng. "Aku hanya percaya hal-hal baik selalu datang di saat yang tepat. Karma itu cuma ungkapan untuk orang yang nggak percaya diri pada hidupnya." "Atau orang yang terlalu percaya diri terhadap masalahnya di masa lalu?" "Maksud kamu?" "Hanya bertanya." "Pertanyaanmu seperti menyindir secara jelas." "Kamu merasa?" "Tunggu, apa kamu dendam padaku?" terka Tiara. "Ya, sedikit. Karena kamu melupakanku." "Hmm... aku akan berusaha mengingat lebih keras lagi." "Berjuanglah..." "Apa yang kudapat kalau aku berhasil mengingatmu?" "Sesuatu yang nggak akan kamu sangka-sangka..." Gadis itu tak lagi menjawab. Ia berpaling kembali menatap langit bertabur bintang di atas sana. Sangat berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang mendung bertemankan kesuraman. Patah hatinya terlalu parah, sampai Tiara seperti manusia hidup yang hanya benafas tanpa memiliki jiwa seutuhnya. Di sampingnya, Dipta memandang wajah sendu itu dengan guratan emosi yang sulit diartikan maknanya. "Akan kuberitahu namaku sebenarnya." Pria itu penasaran akan sesuatu. Ia terpaksa mengungkap satu nama yang awalnya tak ingin disebutkan. Tiara menoleh kilat. "Namamu sebenarnya? Maksudnya?" "Septa Malviano Adhitama. Itu nama yang seharusnya kamu kenal di masa lalu." Untuk beberapa saat Tiara termenung, menimbang sesuatu dalam benaknya. Nama itu terdengar tak asing baginya. Tapi siapa? Septa? Siapa dia? "Septa?" "Mustahil kamu melupakan seseorang yang memperkenalkanmu ke orang tuanya dengan sungguh-sungguh..." Lagi-lagi Tiara membisu kelu. Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa ia seolah dipaksa mengingat, sementara pikiran dan hatinya sedang sekarat akibat cinta pertama yang berkarat tak bisa dimiliki. =======♡ SH ♡=======
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD