bab 3

1440 Words
"Anda tidak bisa seenaknya begitu, Tuan." "Siapa yang bilang begitu?" Salah satu alis Charles terangkat menantang perkataan Sofia yang menolak rencananya. "Saya sendiri yang bilang begitu, Tuan. Karena menjadi sekretaris Tuan itu bukan keahlian saya. Lagi pula, banyak hal yang harus saya lakukan di departemen saya. Saya kepalanya, banyak tanggung jawab yang harus dilakukan dan tidak bisa dialihkan begitu saja," jawab Sofia mantap. Mendongakkan wajahnya menatap tepat pada netra pekat milik pria jangkung di depannya. ‘Ternyata keras kepala juga dia.’ batin Charles dalam diam sembari mengamati Sofia lekat-lekat. Ia pikir Sofia akan takut seperti saat berbincang dengannya di dalam tadi, tetapi sekarang ia berdiri dengan menatapnya tidak berkedip. "Selama kamu masih butuh jabatan di perusahaan ini, maka kamu harus nurut sama kemauan saya," perintah Charles tidak terbantahkan. Alis Sofia semakin mengerut tidak terima. “Kalau saya tidak mahu bagaimana?” tantang Sofia tidak mau kalah. Ia tidak mau menyerahkan jabatannya pada anak yang tidak tahu apa-apa. “Kalau begitu, silakan saja Nona angkat kaki dari perusahaan ini. Saya dengan senang hati tidak memberikan Nona uang pesangon karena membantah perintah saya sebagai atasan.” Bagai mendengar guruh di siang bolong yang cerah. Sofia seketika cukup kaget dan tidak percaya dengan indra pendengarannya sendiri. Apakah ada yang salah dengan kupingnya? Kredit mobil, kredit apartemen, semuanya masih nanggung. Tanpa uang pesangon dan gaji juga, Sofia sadar diri jika dirinya butuh makan, butuh pakaian untuk terus hidup. Apalagi rencananya bulan depan Sofia mau ke Istanbul untuk berlibur. Pupus sudah semua impiannya jika ia membantah ucapan Charles yang seenaknya. "Kenapa kamu diam saja?" Charles melemparkan tatapan sambil menyunggingkan senyuman kemenangan. Sofia memutar malas kedua bola matanya "Mulai kapan kami harus ganti jabatan?" "Sekarang!" perintah Charles dengan wajah puas. Berbeda jauh dengan Sofia yang harus memendam kekesalan di hatinya. *** "Jadi kamu beneran jadi sekretarisnya Bos Levin sekarang?" tanya Sania tanpa mengedipkan matanya walau sesaat. Tidak hanya Sofia dan Sania, tetapi hampir rekan sesama departemennya juga sama kagetnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba bos baru mereka langsung meminta pergantian sekretaris. "Iya, Sof, ini beneran? Kamu nggak sedang bercanda, kan?" tanya yang lainnya kebingungan. "Kalian lihat wajah aku, emang aku lagi bercanda?" Sofia balik melemparkan pertanyaan, sambil telunjuknya lurus mengacung pada wajahnya sendiri. Ia terlihat serius dan kesal di saat yang sama. Berulang kali Sofia memindahkan barang-barang di atas meja ke dalam kardus untuk ia pindahkan ke ruang kerja barunya. "Nggak!" jawab semuanya serempak sambil menggeleng cepat. "Makanya stop menanyakan yang aneh-aneh, deh! Bukan kalian saja yang pusing, pertanyaan kalian itu bikin aku tambah pusing juga!" kesal Sofia menatap satu persatu wajah teman-temannya. Melihat Sofia yang sedikit jutek, semuanya pada pamit meninggalkan ruangannya, menyisakan Sania dan Wina, mantan sekretaris Charles yang terpaksa harus bertukar jabatan dengannya. "San, kamu bisakan ajarin Wina, ajarin dia apa yang harus dia lakukan." Sofia menatap dalam wajah sahabatnya itu dan meletakkan kedua tangannya di atas bahu Sania. "Kamu juga tahu di mana saja file proyeknya, kan? Setelah aku, yang paling tahu tentang departemen ini adalah kamu." "Santaiz Sof, serahkan semuanya sama aku! Akan kupastikan departemen ini baik-baik saja meski kamu nggak ada!" Sania menjeda seketika ucapannya. "Yang penting kamu, Sof. Kamu baik-baik saja, kan? Kamu bisa?" tanya Sania khawatir dengan nasibnya Sofia. "Huft!" Satu keluhan terbit dari bibirnya Sofia. Wajah cantik itu masih lagi terlihat keruh. Sofia membayangkan bagaimana hari-hari yang harus ia lalui di dekat Charles. Wajahnya yang tampan dengan seringai itu terasa menyebalkan di benak Sofia. "Sepertinya hari-hariku bakal lebih indah dari biasa, San!" ucap Sofia sambil bercanda. Dia tertawa di ujung kalimatnya, guna mengurangi rasa kesal yang membludak di dadanya. "Semoga saja, Pak Bos baik-baik sama kamu, Sof," doa Sania ikhlas mengantar kepergian temannya. "Makasih banyak, San, aku pamit, ya! Aku titip Wina dan departemen ini sama kamu San. Ajarin dia yang bener, ya," pinta Sofia sebelum melangkah pergi meninggalkan Sania dan Wina yang masih lagi terpaku di tempatnya berdiri. Sofia melangkah dengan langkah gontai meninggalkan ruangannya, membawa barang-barang yang ia akan butuhkan nanti, lantas menuju kubikel lift untuk kembali ke lantai tujuh, tempat di mana pria menyebalkan itu berada. *** "Ehem!" "Iya, Tuan Charles?" jawab Sofia acuh. "Ke ruangan saya sekarang!" perintah Charles pada wanita cantik itu. Sofia tanpa banyak bicara segera bangkit dari tempat duduknya, membuntuti Charles dengan langkah cepat. Meski ia kesal dengan pergantian yang tiba-tiba ini, Sofia tetap akan melaksanakan perintah yang diberikan kepadanya dengan baik dan profesional. "Berapa yang kamu mau?" tanya Charles tiba-tiba setelah mereka berada di ruangan Charles. "Maksud Anda apa, Tuan Charles?" Tanya Sofia dengan tatapan bengong. “Sebutkan berapa uang yang kamu minta. Saya akan memberikan Anda cek.” “Untuk apa, Tuan Charles? Untuk membeli tubuh saya tadi malam, ya?” Sofia memotong cepat ucapan Charles. “Iya," jawab Charles cepat tanpa malu-malu dan basa-basi. Sakit? Iya sakit emang. Rasanya Sofia seakan diperlakukan seperti w************n yang sedang menjual tubuhnya. Namun, Sofia harus bermain cantik untuk membalaskan rasa sakit hatinya. Agar pria itu sadar jika uang tidak bisa membeli segalanya. Sofia menarik napas dalam, kemudian mengembuskan dengan lembut. Jeda seketika sebelum angkat bicara setelah mengumpulkan semua energinya. “Bagaimana kalau saya katakan, lima puluh persen dari saham Anda di perusahaan ini diubah kepemilikannya menjadi nama saya?” tanya Sofia dengan senyuman termanis yang ia miliki. Charles mengernyit, tidak menyangka jika Sofia meminta lebih dari yang disangkanya. Gadis itu pasti sedang menantangnya sekarang. “Kamu terlalu serakah untuk wanita amatir sepertimu, Nona.” Emosi Sofia mendadak naik, tetapi ia berusaha keras untuk menahannya. “Anda tidak bisa berkata seperti itu, Tuan Charles, karena uang yang akan Anda berikan ke saya itu belum cukup untuk menampung perbelanjaan hidup saya," jawab Sofia. “Maka dari itu saya meminta lebih, guna menjamin keberlangsungan hidup saya, andai saja jika ternyata saya hamil benih Anda nantinya," imbuh Sofia lagi. "Gaji sekarang saya tidak akan cukup untuk menghidup dua orang, kan? Saya ingin tetap cantik selama dan setelah mengandung nantinya." Charles menimbang-nimbang, sepertinya masuk logika juga apa yang dibilang Sofia barusan. “Saya tidak akan memberikan lima puluh persen dari saham saya. Itu terlalu banyak untuk dua orang. Bisa-bisa kamu jadi wanita yang malas bekerja. Namun, saya akan memberikan 15% dari saham saya di perusahaan ini.” Sofia menganga mendengar pernyataan Cahrles. Ia mencari raut atau nada bercanda di ucapannya, tetapi Charles menatapnya datar dan penuh keseriusan. Giliran Sofia yang kaget karena tidak menyangka pria itu menyetujui permintaannya yang tidak masuk di akal itu. Padahal Sofia hanya ingin bercanda dan membuat pria itu semakin kesal. “Anda tidak akan menyesalinya, kan?” tanya Sofia memastikan. "Kalau saya sih senang-senang saja mendapatkan uang segitu." Charles menggeleng. “Saya akan meminta pengacara untuk menguruskan semuanya. Kamu tunggu saja. Sekarang kembalilah ke ruanganmu dan kerjakan semua pekerjaan hari ini tanpa cacat!” perintah Charles. "Baik, Tuan Charles." Sofia melangkah keluar dari ruangan yang bernuansa gelap itu dengan langkah cepat. Setelah kembali ke meja kerjanya, Sofia lantas menyalakan laptop. Charles Levin, pria itu tahun ini berusia 31 tahun. Ia adalah putra tunggal kepada pasangan Maria dan David Levin yang memiliki serangkaian usaha di mancanegara. “Apa? Jadi dia juga seorang pilot sebelumnya?” Sofia bertanya pada dirinya sendiri dengan kedua bola matanya yang membulat sempurna membaca artikel mengenai siapa bos barunya itu. Dia tidak menyangka jika pria yang tidur dengannya semalam adalah pria hebat yang dikagumi oleh semua orang. Rasanya artikel yang sedang ia baca itu hanyalah tipuan mata belaka. “Ternyata pria arogan itu memiliki begitu banyak keahlian, pantas saja dia sombong. Pasti tidak ada yang tidak bisa dia lakukan,” desis Sofia. “Jadi aku bener-bener sibuk dong mulai sekarang? Duh, kenapa aku harus jadi sekretarisnya, sih?" gumam Sofia, lagi-lagi wanita cantik itu bicara sendiri. Untungnya dia hanya sendiri di ruangannya. Jika ada orang lain, mungkin gosip jika dia adalah orang gila bisa menyebar. Kring!! “Astaga buset!” Sofia terlonjak kaget saat telepon di atas mejanya berbunyi. Ia terlalu asyik dengan kegiatannya hingga mengabaikan sekitar. Dengan cepat wanita itu mengangkatnya, “Halo?” “Kamu tahu di mana Restoran Dunkin?” Sofia sangat mengenali suara itu tanpa bertanya siapa yang sedang berbicara dengannya. Ia sangat kenal dengan nada dan logat bicaranya yang angkuh dan tidak basa-basi itu. Siapa lagi jika bukan bos barunya yang galak dan egois, Charles Levin. “Iya, saya tahu, Tuan Charles.” “Jam istirahat siang ini, kamu temani saya ke sana.” Tuut … Telepon itu dimatikan secara sepihak tanpa menunggu jawaban dari Sofia. Wanita itu menatap gagang telepon di tangannya dengan tidak percaya. “Enak jadi bos, ya? Bisa seenaknya sama pegawainya. Mentang-mentang jabatannya tinggi, dapat bayaran tinggi, menganggap bawahan sebagai b***k lagi,” ucap Sofia lalu meletakkan gagang telepon, mengurut pelan dadanya yang naik turun menahan emosi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD