Meet Wulan

1984 Words
Dentum musik keras terdengar di seluruh ruangan. Bahkan tidak pelan pula, sampai terdengar hingga keluar. Belum lagi dengan lampu disko warna warni yang bisa membuat orang—yang belum terbiasa—sakit mata. Banyak orang berkelompok, berkumpul memenuhi sudut dan ruangan-ruangan VIP yang disediakan, memberikan kebebasan akan apapun yang ingin mereka lakukan. Lebih dari 50 orang di lantai dansa, terlihat sedang asyik bergoyang mengikuti alunan musik yang dimainkan oleh seorang DJ. Sesekali mereka berteriak bagaikan orang kesetanan, sembari mengangkat gelas berisi minuman beralkohol tinggi-tinggi. Di sana, di salah satu sudut meja bar, dua orang pria dengan kemeja kerja yang sudah tidak rapi lagi—kedua lengan bajunya sudah menggulung hingga siku, menampilkan otot lengan yang kekar—sedang asyik berbincang. Meskipun bisa dilihat, jika salah satu dari mereka sudah terlihat setengah sadar. Matanya sudah memerah, bahkan terkadang omongannya juga melantur. Namun, keduanya masih sangat menikmati alunan music seperti yang lainnya. Jangan lupakan dengan satu sloki minuman yang ada di depan mereka masing-masing. “Bimo, lo masih sadar, kan?” Lelaki yang dipanggil Bimo itu menoleh, menatap pria yang memanggilnya. Bimo tersenyum samar, sambil sesekali mengerjap untuk tetap sadar. “Lo nggak percaya kalau gue masih sadar, Ar?” “Ya udah, kalau gitu kita ngefloor, yuk. Cupu kalau ke kelab cuma duduk-duduk aja.” Bimo tidak menjawab, malahan mengayunkan tangan kanannya sebagai tanda dia tidak ingin mengikuti ajakan Arya. “Nggak asyik lo!” Bimo kembali hanya tersenyum mendengar cibiran Arya. Lalu dia menoleh pada Arya yang sedang asyik menikmati liquid di gelasnya. “Gimana? Ayoklah!” Lagi-lagi Bimo hanya tersenyum menanggapi kawan di sebelahnya. “Males, lo aja,” jawab Bimo. Kemudian mencecap sedikit minuman dari gelas di tangan kirinya. “Payah lo,” cibir Arya. “Udah, ayo! Lupain masalah lo.” Bimo mencebik, senyum miring tercetak lagi di bibirnya. "Mana mungkin gue bisa lupa, Ar. Gue kehilangan cinta pertama gue, di depan mata gue sendiri. Kehilangan Vanya! Cewek yang gue sayang! Dan lo tahu apa yang lebih menyakitkan selain itu?” Arya diam. Sebenarnya tidak perlu Bimo lanjutkan, Arya sudah tahu semuanya. “Kenyataan bahwa yang tega membuat gue hancur kayak gini, yang tega membunuh Vanya adalah orang yang udah gue anggep sahabat, bahkan keluarga gue sendiri. Gila nggak tuh?!” Arya menghela napas, ditepuknya pundak Bimo, bermaksud menenangkan, tapi sepertinya percuma. Bimo masih terlihat gusar, apalagi dalam kondisi setengah sadar seperti sekarang ini. Dalam hatinya, Arya selalu berharap Bimo dapat melupakan peristiwa tragis yang merenggut nyawa Vanya—kekasihnya—cinta pertamanya saat masih SMA. Peristiwa itu sudah bertahun-tahun berlalu, tapi Bimo masih mendendam akan hal itu. Mendendam pada pelaku penusukan Vanya. “Mau sampai kapan lo kayak gini? Udah ada putusan pengadilan, Bim. Lo juga tahu, kan? Kalau—” “Diam, Ar! Kalau lo di sini buat kasih ceramah ke gue, mendingan lo pergi. Gue nggak butuh!” Arya menggeleng pelan melihat kondisi sahabatnya yang sepertinya harus segera ditolong. Arya bukan khawatir dengan kondisi fisiknya, tapi lebih khawatir dengan kondisi mental pria yang sekrang menumpukan kepalanya di meja bar. “Gue nggak mau lo salah ambil langkah, terus nyesel. Itu aja, sih. Bahkan lo juga udah kehilangan jejaknya, kan?” Bimo tidak langsung menanggapi ucapan Arya, tangannya malahan terulur memberikan isyarat pada bartender untuk mengisi kembali gelasnya yang kosong. “Tenang aja, cepat atau lambat gue bakalan nemuin dia lagi. Dia ngga akan bisa lari kemanapun. Mau sembunyi di lubang semut pun, bakalan gue kejar. Dia akan tetap menderita selama gue masih hidup. Gue ngga akan lepasin dia. Apa yang dia terima sekarang, nggak sepadan dengan apa yang udah dia lakuin ke Vanya! Nggak bisa ganti nyawanya.” Arya hanya menggelengkan kepala melihat Bimo yang sepertinya sudah sangat mabuk. Sesekali Bimo menekan pangkal hidungnya untuk membuat matanya tetap terjaga. Namun sial, sepertinya salah satu syaraf di otaknya yang mengatur kantuk tidak mau bekerja sama. Sempoyongan Bimo berdiri, sebelah tangannya mencengkeram kuat pinggiran meja bar. Sebelah tangannya yang lain terangkat ke arah Arya, menolak bantuannya. Kemudian ia menyambar gelas berisi minuman yang baru saja diletakkan bartender di hadapannya. Arya ingin menghentikan gerakan Bimo, namun terlambat, Bimo lebih cepat. Ditenggaknya minuman itu hingga tandas. Lagi, Arya kembali menggeleng dan prihatin melihat kondisi Bimo. “Inget, Bim. Besok lo masih harus ke kantor. Jangan minum banyak lah.” “Berisik lo!” “Bos yang baik kan bisa jadi panutan karyawannya.” “Gue nggak mabuk. Gue masih sadar. Udah ah, ayo, gue laper. Kita cari makan di pinggir jalan." "Makan di sini aja," tawar Arya. "Nggak kenyang. Berisik lagi. Yuk ah, setirin gue. Ngantuk nih," jawab Bimo sambil lalu, memecah kerumunan manusia yang masih asik berdansa. Arya mengikutinya dari belakang. Badan Bimo yang sedikit sempoyongan beberapa kali menabrak tubuh-tubuh di depannya, namun tidak ia hiraukan. Tapi, tiba-tiba dia berhenti, membalikan badannya. Dilihatnya Arya yang berdiri sambil menatapnya bingung. Bimo lantas meraih pundak sahabatnya sejak SMA itu, kemudian mengajaknya berjalan beriringan menuju pintu keluar kelab. “Ar, lo emang sahabat gue yang paling baik,” ujar Bimo. Arya memutar bola matanya jengah mendengar ucapan Bimo. Baiklah, tak dipungkiri, dia senang dengan pengakuan Bimo itu. Namun, lama kelamaan hal itu membuat Arya muak. Setiap kali Bimo mabuk—dimana itu setiap hari—dia selalu mengatakan hal yang sama berulang kali. Ini untuk yang pertama hari ini. Arya yakin selama perjalanan pulang nanti, Bimo akan terus mengucapkannya. “Jangan mabuk dulu, Bim. Berat badan lo.” Bimo hanya tertawa mendengar ejekan Arya. Langkahnya semakin terasa berat, rangkulan di pundak Arya semakin mengencang. Bahkan Arya yang memiliki postur mirip dengan Bimo, mulai kewalahan membopong tubuh pria mabuk ini. Seketika Bimo merasakan dingin di d**a kirinya. Pandangan matanya turun ke dadanya sendiri, dilihatnya kemeja warna birunya basah. Ia menggeram kesal. Ditariknya sebelah lengannya yang tadi merangkul Arya, kemudian berusaha membersihkan bajunya, berharap esok cairan yang baru saja membasahi tubuhnya tidak akan meninggalkan noda. Bimo mengangkat pandangannya, di depannya seorang gadis sedang menunduk dalam. Bimo menghela napas malas, dia paling benci berurusan dengan perempuan, apalagi jika dia cengeng. Bimo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ditelitinya gadis di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sepertinya dia pelayan di kelab ini. Terlihat dari pakaian yang dipakainya, berwarna hitam dengan logo kelab yang terbordir rapi di saku d**a kiri. “Lo kalau kerja yang bener bisa ngga sih?” geram Bimo. Meskipun pelan, tapi suara Bimo berhasil mengintimidasi gadis yang masih menundukan kepalanya. Kedua tangannya meremas ujung bajunya, gugup, takut. Bimo kesal karena tidak mendapatkan jawaban. “Kalau ditanya itu dijawab! Jangan cuma nunduk doang!” bentak Bimo kembali. Kali ini suaranya mampu menarik beberapa pasang mata yang tadinya sibuk dengan urusannya sendiri. Masih tidak ada jawaban. Bimo semakin kesal. Dia maju selangkah mendekati gadis yang kini terisak, terlihat dari pundaknya yang naik turun dengan cepat. Arya bergegas menarik lengan Bimo, dia tidak ingin Bimo lepas kendali hanya karena bajunya tidak sengaja basah. Tapi Bimo menghentakann cengkeraman Arya di lengan kokohnya. Dia semakin mendekati gadis pelayan itu. Bimo menghentikan langkahnya tepat di depan gadis yang semakin dalam menundukan wajahnya. Sedikit Bimo membungkuk, mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu. “Bisa angkat pandangan lo? Gue butuh liat muka orang yang udah berani bikin basah gue,” bisik Bimo pelan. Gadis itu menggeleng. Reaksinya malah membuat kemarahan Bimo membuncah. Kembali ditegakkan tubuh tegapnya, tangan kanannya terulur ke wajah gadis itu. Kasar Bimo memaksa gadis itu untuk menengadahkan wajahnya. Seketika jantung Bimo serasa berhenti berdetak melihat wajah di hadapannya. Matanya tak berkedip, manik matanya menatap tajam ke dalam mata yang masih menangis di hadapannya. Tapi sedetik kemudian senyum miring tercetak kembali di bibirnya. Tidak hanya Bimo, Arya yang berdiri tak jauh dari sana juga sama terkejutnya melihat wajah gadis yang bergetar ketakutan di hadapan Bimo. Berkali-kali dia menelan ludahnya, takut jika Bimo bertindak nekat. Dia harus menghentikan Bimo sekarang juga. “Bim, lepasin dia,” Arya berusaha setenang mungkin membujuk Bimo, ia tidak ingin menyiram bensin ke kemarahan Bimo yang sudah tersulut. "Arya, lihat siapa yang ada di depan kita?" tanya Bimo datar sambil tetap memegang ujung dagu gadis yang kini berusaha mengusap air matanya. “Jangan di sini,” bisik Arya. Bimo menulikan telingannya dari ucapan Arya. Dia masih terfokus pada kedua mata di depannya yang kini berkilat menatap tajam ke arahnya. “Gue bilang juga apa, cepat atau lambat gue pasti nemuin jalang ini.” "Hai, Wulan," sapa Bimo. Wulan yang tadinya juga tak kalah terkejut saat mendapati Bimo di hadapannya, langsung menepis tangan Bimo. Secepatnya berusaha mentralkan ekspresi wajahnya. Lalu tak mengacuhkan Bimo, dan memilih memunguti pecahan gelas yang berserakan di bawah Bimo. "Aw!" pekik Wulan. "Bim! Lo apa-apaan sih?" Arya menatap kesal kepada Bimo dan mendorong tubuh Bimo mundur. Arya segera berjongkok, berusaha menyingkirkan kaki kanan Bimo yang sengaja menginjak jemari Wulan. "Ikut aku!" Bimo menarik paksa tangan Wulan. Menyeretnya menuju pintu keluar kelab, tak ada lagi langkah sempoyongan, kini digantikan dengan langkah lebar dan amarah yang bercokol di benak Bimo. Bimo terus menarik tangan Wulan, tak mempedulikan Wulan yang terseok mengikuti langkah cepat Bimo. Diseretnya Wulan sampai di pelataran parkir basement gedung. Napas mereka terengah, keduanya berlomba menghirup oksigen untuk memenuhi rongga parunya. "Jadi kamu lebih milih jadi perempuan malam daripada nikah sama aku?!" Bimo membentak Wulan, rahangnya mengeras, tatapannya menghujam ke dalam manik mata Wulan. "Jawab Wulan! Jangan diam aja!" Bimo mulai kehabisan sabar menunggu Wulan membuka mulutnya. Tetap tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Wulan. Bimo melangkah mendekati Wulan, dicengkeramnya kedua lengan Wulan kencang. Wulan meringis menahan sakit, namun tetap berusaha melepaskan diri. "Aku mau jawaban, Lan. Aku nggak butuh diam kamu!" desis Bimo tepat di telinga Wulan, membuat Wulan seketika merinding. Bimo berusaha mengatur napasnya yang masih sedikit terengah. Bimo berusaha menahan amarahnya yang sudah meminta untuk dimuntahkan. Perlahan Bimo menyatukan keningnya dan kening Wulan, sambil matanya terpejam. Mengatur napas sembari menunggu jawaban dari Wulan. Sedangkan gadis mungil didepan Bimo sendiri, sedang memejamkan matanya kuat-kuat, tak ingin melihat ekspresi marah Bimo. Apalagi, kini wajah mereka hampir tak berjarak, dapat dirasakannya hembusan napas Bimo yang mengenai bibirnya. Tanpa dinyana, Bimo mengatupkan bibirnya ke bibir Wulan. Dikecupnya lembut bibir Wulan, perlahan kecupan itu semakin kasar dan menuntut. Wulan sekuat tenaga menyatukan bibirnya, menolehkan kepalanya, tapi percuma. Tangan kiri Bimo sudah berada di tengkuk Wulan, menahan kepalanya untuk menghindari ciuman Bimo. Wulan berusaha mengumpulkan tenaga di kedua tangannya, mendorong keras tubuh Bimo. Perlu usaha ekstra memang, tapi sepadan. Karena akhirnya Wulan berhasil terlepas dari ciuman Bimo. Tubuh Bimo terhuyung ke belakang karena dorongan Wulan. "Cukup Bim! Udah cukup lo nyiksa gue! Bikin hidup gue menderita!" teriak Wulan frustasi. "Nggak akan pernah cukup! Ini belum seberapa! Ini nggak sebanding dengan apa yang kamu lakuin ke Vanya!" "Cukup! Jangan sebut nama dia lagi! Berapa kali mesti gue bilang? Gue nggak bersalah! Pengadilan udah buktiin itu!" "Hukum di negeri ini bisa dibeli! Kamu bisa saja menyuap hakimnya." Wulan menggeleng tak percaya mendengar kalimat Bimo. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Sebisa mungkin dia tahan, dia tidak ingin menangis kembali di depan Bimo. Itu hanya akan membuat Bimo merasa menang karena telah berhasil menyakitinya, membuat hidupnya menderita. "Berapa kata maaf lagi yang mesti gue ucapin, biar lo nggak gangguin hidup gue lagi?" "Sampai mati kamu ucapin kata maaf, itu nggak akan pernah cukup. Kamu tahu kenapa? Karena itu nggak akan membawa Vanya kembali!" Sebuah tamparan dilayangkan Wulan ke pipi Bimo. Ia sudah tidak tahan mendengar tuduhan Bimo. Tuduhan yang selama bertahun-tahun terus dialamatkan padanya, sedangkan bukti serta pengadilan mengatakan kalau dia tidak bersalah atas kematian Vanya. Namun hal itu seakan hanya angin lalu bagi Bimo. Bagi Bimo, tamparan yang baru saja diterimanya tak seberapa sakit dibandingkan sakit di hatinya, karena kehilangan orang yang dicintainya. Bimo tak peduli itu, dia kembali meraih tubuh Wulan, dijambaknya rambut Wulan, memaksanya mendongak menatap wajah Bimo. "Aku mau kamu gantiin Vanya di sisi aku. Selamanya," geram Bimo. Wulan mendorong mundur tubuh Bimo. Tatapan tak percaya dilayangkannya pada Bimo. "Lo gila! Psycho!" teriak Wulan, kemudian melangkah pergi meninggalkan Bimo. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD