Meet Bimo

1968 Words
Wulan berjalan cepat di sepanjang lorong gang menuju kosnya, sembari sesekali menengok ke belakang—terlalu takut jika seseorang menguntitnya. Malam ini, setelah bertemu dengan Bimo dia meminta izin pulang lebih awal dari jam pulang kerjanya. Wulan terlalu takut untuk berlama-lama berada di satu tempat dan satu waktu yang sama dengan Bimo. Lelaki itu bisa melakukan hal apapun, hanya untuk membuat Wulan bertekuk lutut memohon ampun agar pria dengan segala kepemilikiannya itu tidak menghancurkan hidup dan masa depan Wulan. Berada di titik terendah, mengemis, dan menjadi b***k Bimo adalah hal-hal terakhir yang akan dikabulkan Wulan untuk Bimo.  Wulan segera mengambil kunci pintu kos dari dalam tasnya, kemudian memasukannya ke lubang kunci. Setelah masuk ke kos, Wulan gegas menutup dan mengunci kembali. Sebentar dia sempatkan untuk mengintip dari balik horden jendela kamar kosnya, memastikan tidak ada orang yang mengikutinya, terlebih lagi Bimo. Setelah yakin, Wulan terduduk letih di sofa ruang tamu yang merangkap ruang makan bagi Wulan. Punggungnya bersandar di sandaran sofa yang sudah tidak empuk lagi, beberapa bagiannya sudah berlubang dan busanya mencuat keluar. Wulan memijat pelan pundaknya, merenggangkan ototnya, berharap letih segera pergi dari tubuhnya. Wulan melirik sekilas ke arah dapur, yang letaknya dengan ruang tamu ini hanya dipisahkan sekat kayu ukir. Seketika lapar mulai menghampiri perutnya. Sedari siang dia belum sempat makan, hanya mengisinya dengan sebungkus roti selai kacang dan dua botol air mineral berukuran sedang. Wulan menghela nafas sembari mengelus perutnya yang menggeram minta diisi. Matanya kemudian terpejam, kantuk menyerang, membuatnya enggan untuk bangkit dari duduknya. -------------- "Beneran pak, sumpah! Saya nggak nyuri uang sepeserpun," Wulan bersikukuh dengan argumennya, dua jarinya membentuk huruf V, seraya dia bersumpah. Namun, lelaki tua di depannya ini seolah enggan mendengarkan penjelasan Wulan. Terlihat dari sikap tak acuhnya yang terus menatap layar ponsel saat Wulan berbicara. "Pak Dodi, demi Tuhan, saya nggak mencuri uang itu. Saya juga nggak tahu kenapa bisa hilang. Kemarin waktu saya hitung itu pas. Langsung saya masukan di brankas seperti biasanya." "Ah, sudah diam saja kamu. Saya nggak percaya kamu lagi. Hanya di shift kamu uangnya hilang! Lagian saya juga baru dapet laporan, kalau kamu pernah terlibat kasus pembunuhan, sudah kamu saya pecat!" Wulan tertegun dengan pemecatannya. Dia berani bersumpah saat ini juga, bahwa bukan dia pelaku pencurian uang hasil penjualan produk di minimarket. Bahkan tanpa Wulan duga, sekarang atasannya juga mengungkit kisah kelam dalam hidupnya. Kisah yang menahan ia untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Saat inilah, kali pertama Wulan yakin bahwa seseorang dari masa lalunya telah datang kembali dalam hidupnya. Mencoba menghancurkan apapun yang ingin diraih Wulan. ------------ "Bu, beneran saya nggak bohong. Bukan saya yang ngambil kalung ibu. Bahkan saya nggak pernah masuk kamar ibu. Saya sadar di sini saya hanya sebagai seorang baby sitter dan nggak lebih." "Alah, jangan banyak alasan kamu. Kenyataannya kalung saya ada di tas kamu kan. Untung saya geledah dulu sebelum kamu pulang. Apa jadinya kalau kamu berhasil mencuri ini? Bisa rugi banyak saya! Ini itu kalung mahal!" "Tapi sumpah! Saya nggak mengambilnya. Saya nggak ada niatan untuk itu. Saya bener-bener hanya ingin kerja halal, bu." "Alah banyak alasan kamu. Sekarang kamu pergi dari rumah saya, dan mulai besok nggak usah datang ke sini lagi! Lama-lama nggak cuma harta benda yang kamu curi, suami saya juga ntar!" ----------- "Ampun, Bu. Jangan pukulin saya lagi," Wulan tersungkur di depan rumah majikannya, tempat kerja barunya selama satu bulan ini. "Dasar nggak tahu diuntung! Udah bagus kamu saya terima kerja di sini!" Seorang ibu-ibu setengah baya mengangkat sebuah sapu dan memukulkannya ke tubuh Wulan. "Bapak yang mau perkosa saya, Bu." Wulan berusaha menjelaskan pada ibu itu, namun percuma. Amarah sudah membutakan mata dan hati majikannya. "Nggak cukup cuma jadi pembunuh, kamu sekarang mau jadi pelakor juga! Pergi kamu dari rumah saya!" Wulan pikir, hanya sementara. Namun, kenyataan berkata lain. Orang dari masa lalu itu selalu menemukan cara untuk menjatuhkan Wulan, tanpa peduli betapa terpuruknya kondisi Wulan. ----------- "Ampun, Bu. Ampun!” igau Wulan dalam tidurnya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Wulan. Tubuhnya bergerak gelisah, matanya terpejam kuat. Mimpi itu, kembali datang. Mimpi buruk yang sudah lama berusaha Wulan lupakan. Mengapa sekarang kembali lagi? Apa karena pertemuannya dengan Bimo? Memang laki-laki itu adalah sumber petaka bagi Wulan. Bertahun-tahun dirinya tidak bisa lepas dari Bimo. Kemana Wulan pergi, dimana Wulan tinggal, dimana Wulan bekerja, Bimo selalu tahu. Bahkan tanpa belas kasihan tega melakukan apapun agar Wulan kehilangan pekerjaannya. Wulan seketika terbangun. Napasnya memburu. Diusap kasar wajahnya, membasuh keringat dingin di keningnya. Wulan bangkit menuju dispenser air, mengambil segelas air mineral untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Mimpi buruk itu kembali lagi. Membuat tubuh kecil Wulan bergetar, lalu luruh. Wulan mendekap kedua lututnya, menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya, dan menangis. Bimo sama sekali tidak memberikan Wulan pilihan untuk dipilih. Pria itu memaksa Wulan harus kembali memulai misi melarikan dirinya. Wulan enggan harus melakukan konfrontasi secara terang-terangan dengan Bimo. Sudah dipastikan dia akan kalah, karena Wulan tidak memiliki amunisi yang cukup untuk membungkam mulut pedas Bimo. Pernah dulu sekali dia melawan Bimo, tapi konsekuensi yang diterima Wulan terlalu besar, kekalahan telak yang membuat Wulan harus memenuhi permintaan Bimo untuk selalu berada di sisi pria itu, dengan kata lain menjadi istrinya. Wulan masih waras, berada di sisi Bimo sama saja dengan berjalan menuju maut. Kabur, menghilang, hanya itu yang bisa Wulan pikirkan. Namun, kabur dari Bimo tidak semudah membalikan telapak tangan, dan di sinilah Wulan sekarang, dan dalam kondisi dan posisi sebagai mangsa yang bersembunyi dari predator. Wulan perlu sesuatu untuk menenangkan pikiran kalutnya. Dia bangkit dan membuka kabinet gantung di atasnya. Dibuka sisi bagian kiri, dan diambilnya sebuah kotak yang berisikan minuman coklat instan favoritnya. Diseduhnya coklat instan itu di dalam sebuah mug. Wulan menghidu aroma coklat yang menguar memenuhi indera penciumannya. Diletakkannya mug coklat itu di atas meja ruang tamu yang merangkap sebagai meja ruang makan, dibiarkannya agar coklat itu menghangat, sembari memasak air untuk mandi. Wulan berjalan menuju kamarnya, diambilnya satu setel baju tidur dan dibawanya menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian, segera dibasuh tubuhnya untuk menghilangkan penat di tubuhnya. Air hangat memijat pelan tubuh Wulan, merilekskan syaraf-syarafnya. Tak berapa lama, selesai mandi Wulan kembali duduk di sofa tuanya. Diambilnya sebuah koran pagi yang tadi sebelum berangkat kerja ia simpan di kolong meja. Dibukanya lembar demi lembar koran itu, beberapa halaman dia lewatkan begitu saja. Tangan Wulan berhenti membalik saat matanya menangkap judul kolom 'lowongan kerja' di salah satu sisi lembar koran. Wulan meraih mug berisikan coklat hangatnya, matanya terus menyusuri tiap kata dan kalimat yang teruntai membentuk harapan bagi Wulan. Sesaat Wulan bangkit masuk ke kamarnya untuk mengambil sebuah spidol berwarna merah. Dilingkarinya beberapa lowongan kerja yang sekiranya cocok untuk dirinya yang hanya lulusan Kejar Paket C. Jangan bertanya mengapa Wulan tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Selama dia ditahan, menunggu proses peradilan kasus pembunuhan yang dituduhkan padanya, mimpinya untuk kuliah di universitas favorit, menjadi dokter hanyalah harapan kosong. Dia bahkan tidak sempat menyelesaikan pendidikannya di SMA. Ditambah lagi dia tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah. Kedua orang tuanya tidak meninggalkan warisan apapun saat keduanya pergi untuk selamanya, di hari ia dinyatakan bebas oleh pengadilan. Ironis. Ditambah lagi kehadiran Bimo yang terus menguntitnya, menjungkir balikkan hidupnya. Setiap kali Wulan ingin memulai kehidupan barunya, disaat itulah Bimo berhasil memporak porandakan impiannya. Setelah malam ini, Wulan yakin, Bimo tidak akan melepaskannya begitu saja. Setelah hampir tiga bulan dirinya berhasil sembunyi dari Bimo, kini dia harus berlari lagi untuk menyelamatkan hidupnya, sebelum Bimo menghancurkannya. "Lan...Wulan..." panggil sebuah suara dari balik pintu. Wulan menoleh ke sumber suara, dahinya mengernyit, tengah malam begini siapa yang bertamu? Wulan bangkit, membuka sedikit horden jendelannya, dilihatnya sesosok wanita yang seumuran dengannya sedang berdiri di depan pintu kosnya. Begitu melihat Wulan mengintip, wanita itu memberikan isyarat agar Wulan membukakan pintu untuknya. Wulan kenal siapa dia, mba Intan—tetangga kosnya. "Lan, kok muka kamu pucat sih?" tanya Mbak Intan langsung saat Wulan membuka pintu kos untuknya. "Nggak apa-apa, Mbak. Kurang istirahat aja. Kenapa Mbak malam-malam ke sini?" "Kamu masih minat kerja di kantor mbak?" Wulan mengangguk pelan. Melihat reaksi Wulan yang kurang bersemangat, sedikit rasa kecewa menghampiri hati Intan. "Yakin? Kalau udah nggak minat juga ngga apa-apa, Lan. Nggak usah dipaksain. Lagian kerja jadi office girl itu lumayan berat. Belum lagi kamu harus berhadapan dengan berbagai macam karakterisktik orang di kantor." Wulan menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Mbak. Kerjaan saya yang sekarang juga sama kan, menghadapi orang juga? Tapi seenggaknya, kalau jadi OG saya nggak perlu kerja di malam hari kayak sekarang ini." "Ya udah, kalau begitu besok pagi kamu siap-siap ya. Berangkat bareng mbak, ntar mbak yang boncengin kamu sampai kantor. Setelah ketemu sama HRD, nanti mbak tinggal." Wulan mengangguk sambil tersenyum. "Ya udah aku balik dulu." "Ati-ati, Mbak." "Kamu beneran nggak apa-apa?" Mbak Intan masih belum yakin meninggalkan Wulan dalam kondisi seperti sekarang ini. "Tenang aja, Mbak. Aku beneran baik-baik aja. Ini cuma kecapekan aja. Soalnya tadi rame banget di kelab."  Mbak Intan menatap kedua netra Wulan, memastikan bahwa gadis di depannya ini memang baik-baik saja, kemudian pamit meninggalkan Wulan yang kembali dalam lamunannya. Baiklah, sudah Wulan putuskan. Ia akan mengambil kesempatan yang diberikan Mbak Intan, semata-mata hanya untuk kabur dari Bimo. Jika tidak berhasil? Ah sudahlah, dipikirkan nanti saja. Esok hari Wulan akan mencoba peruntungan ini. Bekerja sebagai office girl bukanlah sesuatu yang buruk. Wulan toh sudah terbiasa melakukan pekerjaan berberes dan bersih-bersih. Wulan juga yakin, gaji yang akan dia terima akan lebih besar—walaupun sedikit—daripada bekerja sebagai pelayan di kelab. Hal terpenting adalah dia tidak perlu pulang malam lagi. ------------------- "Bim, harus banget ya lo lakuin ini semua sekarang?"  Arya menatap Bimo tak percaya, setelah pria itu keluar dari ruang manajer kelab tempat Wulan bekerja. "Harus," jawab Bimo singkat, sembari terus melangkah menuju parkiran mobil. "Lo udah kerjain apa yang gue minta?" "Butuh waktu." "Ck! Bilang aja lo nggak sudi bantuin gue. Ya, kan?" Bimo berhenti melangkah, menatap tajam Arya yang hanya mampu menghela napas lelah. "Cari alamat cewek jalang itu nggak susah buat lo. Tapi lo emang sengaja nggak mau kasih tahu gue, kan?" "Bukan gitu. Selama ini emang susah, lo tahu sendiri dia selalu pindah-pindah. Dan menurut lo thanks to siapa?" "Kalau sekarang? Dia udah ada di depan mata, dan lo masih belum nemuin alamat dia? Harusnya lo tinggal telepon anak buah lo buat buntutin dia." "Udah gue lakuin, Bim. Kan emang butuh waktu. Lo pikir gue jinnya Aladdin?" kesal Arya. Bimo tersenyum miring mendengar jawaban Arya. "Atau jangan-jangan selama ini dugaan gue bener?" Arya menatap Bimo bingung. "Lo sengaja ulur waktu, supaya gue nggak nemuin dia. Karena ..." Bimo sengaja menggantungkan kalimatnya sejenak, membuat Arya juga ikut menahan napas menanti kalimat Bimo selanjutnya. "Lo punya perasaan sama dia." "Sinting!" Bimo terkekeh mendengar u*****n Arya, tapi entah mengapa u*****n itu malahan menambah keyakinan Bimo bahwa sahabatnya sejak dulu ini memang menyimpan rasa untuk Wulan. "Kenapa lo nggak minta aja alamatnya dari manajernya?" usul Arya dengan nada kesal, lalu pergi meninggalkan Bimo. Sebelum Arya mengusulkan idenya, Bimo sudah lebih dulu melakukan hal itu. Bahkan tidak hanya melalui adu mulut, tapi juga adu jotos terlebih dahulu, karena Si Manajer menolak untuk memberikan alamat Wulan. "Kali ini lo nggak akan gue lepasin, Jalang pembunuh!" gumam Bimo pelan sambil memandang selembar kertas berisi alamat kos Wulan. Bimo kembali melaju dengan mobilnya menuju alamat yang didapatkannya. 15 menit perjalanan, Bimo berhenti tepat di depan sebuah mulut gang, dengan senyum manisnya dia menghampiri sekumpulan bapak-bapak yang sedang bermain kartu di pos ronda. Bertanya, memastikan bahwa dirinya tidak salah jalan untuk mencapai kos Wulan. Setelah mendapat kepastian, dia gegas memasuki lorong gang, dan berhenti tepat di depan sebuah rumah mungil bercat putih yang sudah kusam. Bahkan bagian bawah pintunya sudah lapuk. Ingin sekali Bimo menerobos masuk dan memberi pelajaran Wulan. Tapi hati kecilnya menahannya untuk melangkah, lalu berbisik agar Bimo tidak langsung menghajar mati mangsanya. Tapi lebih baik menyiksa mangsanya itu perlahan, sampai Si Mangsa merintih, memohon untuk dikasihani dan diberi kesempatan untuk tidak dibunuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD