Pagi telah hadir mengganti malam.
Wulan sudah siap dengan atasan kemeja putih dan rok warna hitam. Itu adalah pakaiannya resminya setiap kali datang untuk wawancara kerja. Berkali-kali Wulan memastikan bahwa penampilannya pagi ini sudah rapi, tak terlalu jelek, tapi juga tidak menor.
Sambil memoleskan lipbalm di bibirnya, dalam hati Wulan berdoa agar ia diterima kerja sebagai office girl, karena ini adalah satu-satunya rencana jangka pendek yang mampu menyelamatkan dirinya dari siksa Bimo. Meskipun bayang kegagalan kembali menghantui pikiran Wulan, dia harus memikirkan langkah apa yang harus diambilnya untuk bisa bertahan sementara waktu. Walaupun tidak 100%, tapi Wulan yakin, saat ini Bimo sudah menjalankan kebiasaannya, setelah menghasut majikan Wulan, yang selanjutnya dilakukan pria b***t itu adalah mencari keberadaan Wulan.
Wulan menoleh, saat mendengar ponselnya yang bergetar, tanda sebuah panggilan telepon masuk. Nomor telepon dari kelab tempatnya bekerja terpampang di layar.
"Halo," sapa Wulan.
"Ehm, Lan. Maaf, gini, anu itu..."
Wulan mengernyitkan dahinya, tak seperti biasanya, Fatur—manajer kelab—terbata-bata saat berbicara dengannya.
"Iya, kenapa Pak?" tanya Wulan.
"Kamu mulai hari ini tidak usah datang lagi ke kelab. Nanti saya transfer pesangon kamu."
"Tapi, Pak ... Halo?"
Belum selesai Wulan berbicara, Fatur sudah memutuskan hubungan telepon mereka. Apa yang baru saja didengar Wulan, seketika membuat telinganya memanas. Sial! Ia menggeram kesal. Bimo benar-benar tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk melempar penderitaan ke kehidupan Wulan lagi.
Dengan perasaan marah, Wulan menyambar tasnya yang berada di meja riasnya. Kemudian berjalan cepat ke teras kosnya, menunggu Mbak Intan. Tak berapa lama yang ditunggu tiba dengan motor maticnya.
"Ayo, Lan," ajak Mbak Intan saat berhenti tepat di depan Wulan.
Wulan langsung memosisikan dirinya untuk duduk di kursi boncengan motor. Tak lupa ia memakai helm yang dipinjamkan Mbak Intan. Perjalanan dari kos menuju kantor Intan memakan waktu sekitar 30 menit perjalanan, ini sudah termasuk kendala macet dan berhenti karena lampu merah. Jadi kalau tidak macet, mungkin waktu tempuhnya hanya sekitar 15 menit saja.
Setelah memarkirkan motornya, Mbak Intan segera mengantar Wulan menuju ruang HRD (Human Resources Department) yang terletak di lantai tiga. Tertera nama 'Indra Wicaksono' di daun pintu, beserta jabatannya sebagai Kepala Bagian HR. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, akhirnya terdengar perintah mempersilakan untuk masuk.
Seorang laki-laki dengan kacamata baca, dan rambut yang memutih sedang sibuk membaca dokumen yang ada di tangannya. Sesekali melirik ke arah Mbak Intan dan Wulan yang kini dipersilakannya duduk.
"Pak, ini teman saya yang kemarin saya ceritakan berminat untuk kerja di sini sebagai office girl," jelas Mbak Intan tanpa diminta.
Pak Indra melirik sekilas dari balik kacamatanya yang melorot di hidungnya, kemudian mengangguk setelah menatap Wulan dengan seksama.
"Nanti jam 10, kamu bisa ikut tes dan wawancara di auditorium lantai 6 bersama yang lain," ujar Pak Indra sambil memberikan selembar kertas pada Wulan, yang ternyata sebuah kuisioner tentang pelaksanaan tes penerimaan pegawai baru.
Wulan menerimanya, kemudian melipatnya, dan memasukannya ke tas. Setelah berpamitan dengan Pak Indra, Mbak Intan kemudian mengajak Wulan kembali ke lobi kantor.
"Lan, kamu tunggu di sini dulu. Nanti kurang 15 menit kamu bisa naik ke lantai 6."
Mbak Intan melihat jam tangan yang dipakainya, kemudian berpikir sejenak. "Kamu udah sarapan?" tanyanya lagi.
Wulan menggeleng.
"Masih ada waktu setengah jam sih sebelum jam kerja. Mau sarapan di kantin dulu? Yuk."
Tanpa menunggu jawaban dari Wulan, Mbak Intan langsung menarik tangan Wulan menuju kantin karyawan yang terletak di basement.
Pagi itu, kantin tidak terlalu ramai. Hanya ada tiga orang berpakaian satpam, dua orang supir kantor, dan seorang karyawan wanita yang juga teman satu divisi dengan Mbak Intan.
"Hai Tita," sapa Mbak Intan pada temannya.
"Siapa ini, Tan?" tanya Tita sebelum menyendokan sesuap bubur ayam ke mulutnya.
"Kamu pesen aja dulu, Lan," saran Mbak Intan.
Wulan menurut, dia langsung berjalan menuju salah satu depot makanan yang menjual nasi soto.
"Tetangga kos gue. Dia mau daftar jadi office girl," jawab Mbak Intan.
"Emang lantai mana yang butuh OG? Lantai kita ngga perlu deh kayaknya."
"Emang, lantai 7 yang perlu."
"Uhuk...uhuk..." Tita tersedak ludahnya sendiri saat mendengar jawaban Mbak Intan. Segera saja Mbak Intan menyodorkan segelas es teh manis yang ada di depan Tita, sedangkan Tita sedang sibuk mengelus dadanya yang sedikit nyeri karena tersedak.
"Lo gila! Anak piyik mau lo sodorin ke kandang singa?" tanya Tita dengan nada tak percaya setelah meneguk setengah es teh manisnya.
"Ya gimana lagi. Dia lagi butuh banget, kebetulan dengan pendidikannya ya cuma itu yang cocok sama dia."
Tita mengangguk tanda mengerti, tapi sedetik kemudian bahunya bergidik membayangkan nasib 'anak piyik' kalau diterima bekerja di sini. Mbak Intan tersenyum melihat reaksi temannya.
Setelah menyantap sarapannya, mereka bertiga kemudian kembali ke lobi. Mbak Intan dan Tita pamit terlebih dahulu untuk mulai kerja, sedangkan Wulan memilih untuk duduk-duduk di kursi lobi sembari menunggu jam 10 tiba, masih ada waktu sekitar satu jam.
Wulan mengedarkan pandangannya. Di luar tadi, gedung ini tampak biasa saja, hanya ada tulisan 'Patra Group - Design Consultant' berwarna abu-abu yang terpampang di dinding luar gedung, tapi suasana di dalamnya sungguh berbeda. Nuansa etnik terasa kental di bagian lobi. Mulai dari patung barong khas bali yang bertengger manis di sebelah resepsionis, kemudian foto-foto kain tenun khas Sumatera yang terpajang rapi di sisi sebelah kiri pintu masuk lobi. Ada pula di tiap bantal sofa, sarungnya bermotif batik khas Solo dengan warna kecoklatan. Agak masuk ke dalam, lebih tepatnya di pintu lift, dilapisi kertas stiker dengan gambar tokoh pewayangan. O iya, jangan lupakan aroma terapi yang terdapat di tiap sudut ruangan, menyebarkan aroma bunga melati yang segar. Pasti pemiliknya sangat mencintai budaya Indonesia, batin Wulan kagum.
Sedikit mulai bosan, Wulan bangkit dari duduknya. Dia berjalan mendekati foto-foto kain tenun. Dibacanya dengan seksama keterangan yang berada di bawah masing-masing gambar, sembari mengangguk pelan. Namun, tiba-tiba langkahnya membeku saat padangannya menangkap sesosok yang begitu ingin dihindarinya. Bimo. Ia sedang berjalan dengan sebelah tangannya menelakupkan ponsel di telinga kirinya, kemudian duduk di salah satu sofa yang tak jauh dari tempat Wulan berdiri saat ini.
Tanpa perlu berpikir dua kali, Wulan langsung membalikan tubuhnya, berusaha bersembunyi dari Bimo. Wulan melirik sebentar ke arah Bimo. Dia masih di sana, tapi kali ini pria itu sudah tidak lagi sedang menelepon. Matanya fokus pada layar ponselnya, sesekali dahinya mengernyit. Sepertinya dia sedang membaca hal yang penting. Wulan seketika membalikan wajahnya cepat saat Bimo mengangkat wajahnya, mengedarkan pandangannya ke sekeliling lobi.
Tidak bisa seperti ini terus. Sudah lebih dari lima belas menit Wulan berdiri di tempat yang sama. Seperti orang bodoh, dia melihat pada satu gambar yang sama, foto kain tenun khas Sumatera Barat sedari tadi. Otaknya memikirnya bagaimana caranya pergi menuju lift - lebih baik dia langsung ke lantai 6 - tanpa terlihat oleh Bimo. Perlahan Wulan mengangkat tasnya sejajar dengan wajahnya, kemudian berbalik.
Baru selangkah Wulan melangkah, tubuhnya menabrak seseorang yang sedari tadi berusaha dihindarinya.
"Ternyata bener. Kamu," Bimo tersenyum sinis setelah mengucapkan dua kalimat yang berhasil membuat Wulan gugup.
Jemari Wulan meremas ujung kemeja putih yang dipakainya. Ingin sekali dia segera berlari dari hadapan Bimo, tapi kakinya serasa beku, tak mau berkompromi untuk melangkah menjauh.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Bimo sambil melihat penampilan Wulan dari ujung kepala hingga kaki.
Wulan diam saja, dia berusaha melangkah menuju sofa yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kakinya sudah lemas sekarang. Namun, Bimo ikut beranjak dan duduk di sebelah Wulan.
"Kamu kerja di sini?" tanyanya lagi.
"Menurut lo?" ketus Wulan tanpa memandang Bimo.
"Sepertinya sih baru mau melamar kerja. Kerja apa? Office Girl?" ujar Bimo dengan nada mengejek dan pandangan meremehkan. "Apa demi aku kamu mencari kerja di sini?" lanjut Bimo sambil memainkan kedua alisnya.
Wulan mengernyitkan dahinya. "Maksud lo? Lo juga kerja di sini?"
Bimo menggeleng. "Tapi gue banyak urusan dengan orang-orang di kantor ini."
"Oh, kalau seperti itu, gue pastiin lo ngga akan ketemu sama gue saat lo ke sini," jawab Wulan penuh keyakinan.
Bimo tersenyum simpul, kemudian berdiri dari duduknya. "Gue pergi dulu, gue mau rapat sama orang penting di kantor ini. Kalau lo, mungkin cukup rapat sama sesama ... tukang parkir?" ejeknya, kemudian beranjak menuju lift.
Wulan kembali menggeram kesal. Hatinya ragu, haruskah dia teruskan tes masuk di kantor ini? Bagaimana jika dia lolos? Dia akan sering bertemu dengan Bimo, karena pria itu punya urusan bisnis dengan orang-orang di kantor ini? Wulan bergidik membayangkan dia harus bertemu dan melihat wajah culas Bimo setiap hari.
Wulan beranjak menuju pintu keluar. Namun, langkahnya tertahan oleh sisi hatinya yang lain. Dia baru saja mengingat kalau sekarang statusnya sudah berganti menjadi pengangguran sejak tadi pagi. Jika dia melewatkan kesempatan ini, bagaimana dia menjalani hidup?
Akhirnya setelah perang batin yang cukup intens, Wulan berjalan gontai kembali menuju lift. Ditekannya tombol lift, kemudian ia masuk dan menekan tombol lantai 6, menunggu hingga pintu lift kembali terbuka di lantai 6. Sudah ada beberapa kandidat yang bersiap mengikuti tes. Dilakukan pengelompokan tempat duduk berdasarka posisi yang dilamar. Tak banyak hanya ada 6 kelompok, salah satunya, di sisi paling kanan adalah kelompok office girl yang hanya diisi oleh Wulan, kemudian di sebelahnya untuk kelompok magang, disusul dengan marketing, general affairs, desain grafis, dan terakhir adalah arsitek. Beberapa peserta tes sesekali mencuri pandang ke arah Wulan. Bukan karena Wulan cantik bak bidadari, tapi tatapan mereka lebih seperti tatapan merendahkan. Wulan tidak mempermasalahkan hal itu, ia menganggap itu biasa saja. Buang waktu saja, kalau dirinya harus memikirkan bagaimana orang menilainya.
"Hai, nama lo siapa?" tanya seorang gadis yang Wulan yakin umurnya jauh di bawah Wulan.
Dilihat dari posisi duduknya, sudah dipastikan dia adalah anak magang. Berarti dia adalah anak kuliahan. Satu tahap hidup yang ingin sekali Wulan lalui, kalau dia diberi kesempatan untuk mengulang hidupnya. Tangan gadis itu masih menjulur ke Wulan, memberikan salam perkenalan. Wulan menyambutnya. "Gue Wulan."
"Nama gue Desi. Sukses ya buat tesnya nanti," ujarnya memberikan semangat. "Semoga kita diterima di perusahaan ini. Nanti jangan lupa ya, kalau kita ketemu di sini lagi, kita harus makan siang bareng," ajaknya kemudian.
Wulan hanya menanggapinya dengan tersenyum kikuk.
-------------
'Gimana, Lan tesnya?'
Sebuah pesan singkat dari Mbak Intan masuk ke aplikasi w******p Wulan. Ia tidak langsung membalasnya, karena tangannya saat ini sibuk merapikan alat tulis yang dipinjami kantor untuk tes tertulis tadi. Dirinya tidak menyangka bahwa untuk bekerja sebagai office girl di kantor ini juga diwajibkan untuk mengikuti tes psikologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan matematika dasar.
Setelah selesai tes tertulis, Wulan juga diwajibkan mengikuti tes akhir, yakni wawancara. Tidak ada pertanyaan yang menyulitkan, hanya pertanyaan standar, seperti data diri, pengalaman, dan harapan di masa yang akan datang. Tentu saja pertanyaan yang diajukan pada Wulan sangatlah jauh berbeda dengan pertanyaan Desi yang lebih substansial.
'Maaf ya, gue ngga tau kalau ternyata OG juga harus ikut tes tertulis. Nanti makan siang bareng. Tunggu di lobi.'
Wulan hanya tersenyum. Ia tidak menyalahkan Mbak Intan karena hal ini. Justru ia malah senang hati saat mengerjakan soal tes tadi, serasa kembali ke masa sekolah. Kini hal selanjutnya yang harus dia lakukan adalah menunggu hasil tes yang akan diumumkan setelah jam makan siang.
Wulan memilih kembali menunggu di lobi sesuai dengan permintaan Mbak Intan, tangannya terulur untuk mengambil sebuah koran terbitan hari ini. Seperti biasanya, dia melewatkan beberapa halaman, hingga sampai di halaman lowongan pekerjaan. Jemarinya bergerak pelan menelusuri daftar lowongan kerja yang mungkin bisa dijadikan cadangan, jikalau dia tidak diterima di kantor ini.
"Udah makan?" tanya sebuah suara.
Wulan mendongak, ditatapnya kembali wajah yang paling tidak ingin dilihatnya.
"Gue udah janji makan sama temen. Jadi jangan ganggu gue."
"Temen?" tanya Bimo keheranan.
'Lan maaf, gue ada meeting di luar dadakan. Lo ngga apa-apa kan sendiri? Makan aja di kantin. Jangan lupa kabarin gue hasilnya'. Sebuah pesan masuk ke ponsel Wulan.
"Tuh temen kamu ngga jadi makan siang," ucap Bimo, membuat Wulan buru-buru mematikan layar ponselnya. Berani sekali Bimo mengintip percakapan orang.
"Ayo," ajak Bimo, menarik tangan Wulan.
"Lepasin! Gue masih nunggu pengumuman."
"Ya kan bisa makan dulu. Lagian ini jam makan siang."
Wulan menghempaskan genggaman tangan Bimo, kemudian kembali duduk seperti posisinya semula. Diambilnya kembali koran yang berada di atas meja, berusaha tak mengacuhkan Bimo yang merasa kesal.
"Aku bilang ikut ya ikut!" tegas Bimo, sambil berusaha kembali meraih tangan Wulan.
"Lo berani pegang dan maksa gue lagi. Teriak nih gue!" ancam Wulan.
Bimo kembali menarik tangannya yang sudah terulur. Batinnya menimang, haruskah dia tak usah hiraukan ancaman Wulan, atau lebih baik dia pergi tanpa membuat keributan. Bimo terdiam sesaat, kemudian menghembuskan nafas kesal.
"Lain kali! Aku akan paksa kamu makan siang denganku," janji Bimo sambil mengelus pelan kepala Wulan.
Wulan menepis belaian tangan Bimo. Si empunya tangan malahan hanya terkekeh simpul.
Sepeninggalan Bimo, Wulan kembali disibukan dengan membaca beberapa artikel di koran dan majalah. Dia berusaha terlihat tenang, namun sejatinya dalam hatinya gugup dan sangat berharap akan hasil pengumuman, membuat rasa laparnya seketika hilang.
Jam digital yang menggantung di belakang meja respsionis menunjukan pukul 13:15, seorang petugas membawa lembaran kertas karton dan menempelkannya di sebuah papan di dekat pintu lift.
Wulan bergegas menghampirinya, ternyata itu adalah hasil tes dan pengumuman kelolosan. Satu per satu Wulan menelusuri, mencari namanya. Ketemu! Senang bukan main, hati Wulan saat nama 'Wulan Srikandi' bertengger manis di sana. Ini adalah kesempatan yang patut disyukuri. Walau hanya diterima kerja sebagai office girl, Wulan tak kecil hati, dan dia sudah tak sabar untuk memulai hari kerjanya di tempat baru.