New Job

1733 Words
Mbak Intan duduk di atas jok motornya, menanti Wulan yang sedang sibuk mengunci pintu kosnya. Setelah selesai, mereka langsung berangkat menuju kantor. Sesekali Mbak Intan memberikan beberapa tips menghadapi orang-orang di kantor, terutama orang-orang yang dia kenal dan bekerja di lantai bagian Wulan. Terutama Pak Patra, CEO dari kantor tempat Wulan bekerja saat ini. Seksama Wulan mendengarkan nasihat Mbak Intan,  mengangguk sambil sesekali memegangi helmnya yang kebesaran. Ini adalah hari pertamanya, dan untuk pertama kalinya Wulan bekerja sebagai office girl. Dia tidak boleh melakukan kesalahan. Apalagi jika suatu hari nanti berpapasan dengan Bimo di area kantor, dia harus benar-benar bisa menahan emosi. Jika tidak, bisa-bisa dia langsung dipecat! "Mbak, gue duluan ya. Soalnya harus lapor dulu ke bagian kebersihan," pamit Wulan sambil menyerahkan helmnya saat tiba di parkiran motor kantor. "Iya, ati-ati kerjanya. Semangat ya, Lan. O iya, inget apa yang gue bilang, ati-ati sama Pak Patra, orangnya ngeselin," teriak Mbak Intan. Wulan mengangkat kedua ibu jarinya dan tersenyum ke arah Mbak Intan, kemudian berlalu menuju ruangan bagian kebersihan yang terletak di lantai empat. Wulan segera menekan tombol lift, begitu pintu dengan stiker gambar wayang itu terbuka, Wulan langsung masuk dan menekan angka empat. Tak berapa lama, Wulan sudah berada di depan ruang kepala bagian kebersihan. Tak seperti ruangan Pak Indra kemarin, ruangan ini lebih kecil, di daun pintu yang berkaca buram pun tak ada keterangan nama dan jabatan si empunya ruangan. Wulan mengetuk pelan, lalu tak lama terdengar sebuah suara wanita mempersilakan dirinya masuk. Seorang wanita yang mungkin berumur sekitar 40 tahun tersenyum menyapa Wulan. Tangannya mengisyaratkan agar Wulan mengambil posisi duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya. Sepintas Wulan melihat sebuah name tag di d**a kanan wanita di hadapannya ini, 'Sri Wulandari', namanya sama dengan namaku, batin Wulan. "Selamat pagi, Bu," sapa Wulan. "Pagi," jawabnya sembari membolak-balik dokumen di dalam sebuah map berwarna hijau. "Jadi nama kamu Wulan Srikandi? Mirip sama nama saya. Kamu dipanggil siapa?" "Wulan, Bu," jawab Wulan sembari tersenyum ramah. "Di sini saya dipanggil Bu Sri. Saya kepala office boy dan office girl di sini. Saya bertanggung jawab mewakili perusahaan kalau terjadi sesuatu sama kalian," jelasnya, kemudian bangkit dari duduknya, berjalan menuju sebuah kabinet yang berada di pojok ruangan, membukanya dan mengambil beberapa lembar kertas. "Ini peraturan perusahaan untuk OB dan OG." Bu Sri memberikan lembaran itu pada Wulan. "Kamu pelajari dulu sebentar, poin-poin penting aja." Bu Sri kembali menuju kabinet di sisi ruangan yang lain, sedikit berjinjit untuk menggapai barang yang ada di bagian atas. "Untuk seragam kamu yang ini. Sudah ada penjelasan jadwal tentang pemakaian seragam, kamu bisa lihat di kertas itu juga," tambahnya sambil memberikan dua pasang baju seragam, warna hitam dan abu-abu. Wulan mengangguk mengerti dan menerima seragam yang diserahkan Bu Sri kepadanya. "Kamu akan kerja di lantai tujuh, di sana sudah ada OG, namanya Opi. Dia akan menjelaskan tugas apa saja yang perlu kamu lakukan di lantai tujuh." Wulan lagi-lagi mengangguk mengerti. "Kamu bisa langsung mulai sekarang." Wulan kemudian berdiri dan pamit pada Bu Sri untuk memulai hari pertamanya bekerja di kantor ini. Tanpa menunggu, Wulan langsung melesat menuju lantai tujuh, lantai dimana dia akan melakukan tanggung jawabnya. Ketika tiba di lantai tujuh, suasana masih sepi, tak ada seorang karyawan pun di sana. Wulan melirik jam tangannya sekilas. Pantas saja, masih jam setengah tujuh, batin Wulan. "Hei, lo anak baru di sini ya?" seseorang tiba-tiba saja membuat Wulan kaget, karena suaranya yang cempreng itu berhasil memecah keheningan di lantai ini. Wulan mengangguk, berinisiatif mengulurkan tangannya untuk memulai perkenalan terlebih dahulu saat seorang dengan seragam hitam yang sama seperti yang dipegangnya sudah sampai di hadapannya. "Gue Opi. Lo?" tanyanya sambil menyambut uluran tangan Wulan. Wulan tersenyum, menggenggam jemari Opi sesaat. "Gue Wulan." "Udah siap buat kerja di sini?" Wulan mengangguk. "Lo ganti baju aja dulu setelah itu ke pantry. Nanti baru gue jelasin detail pekerjaan lo dan tempat mana aja yang bisa lo kerjain." Tak berapa lama setelah mengganti pakaiannya dengan seragam kerja warna hitam, Wulan menghampiri Opi yang sibuk menata dua cangkir di atas meja pantry. "Di lantai ini, kita cukup bersihin karpet, ruangan bos besar, meja karyawan tanpa mengubah posisi benda-bendanya, dan ingat hanya rapikan saja," jelasnya sambil menuang air panas ke dalam cangkir. Opi mengaduk isi di kedua cangkir, kemudian menyerahkan salah satu cangkir pada Wulan. "Ini gue buatin teh, biar semangat kerja. Selanjutnya lo bisa bikin kopi atau teh buat minum." Opi mengambil cangkir lainnya, kemudian menyentuhkan cangkirnya ke milik Wulan hingga berbunyi ting, mengajaknya bersulang, membuat keduanya seketika tergelak. Wulan menyesap tehnya. "Jadi hari ini, gue mulai bersihin bagian yang mana?" Opi melirik jam tangannya. "Ruangan pak bos aja. Ruangan kaca di pojok, kamu cukup bersihkan karpet dan mengelap meja serta lemari kabinetnya. Mungkin kalau kacanya bernoda, bisa sekalian di lap." Wulan mengangguk mengerti. Tapi jantungnya juga berdebar dengan tugas pertamanya. Ia kembali teringat cerita Mbak Intan tentang bos besar, Pak Patra yang berkantor di lantai tujuh. "Kenapa tegang begitu? Santai aja kali," ujar Opi yang melihat perubahan raut wajah Wulan, menjadi tegang, berusaha menenangkan. "Lo pasti udah denger gosip tentang bos besar ya? Tenang aja, yang lo denger itu semua bener." Opi tergelak. Wulan hanya tersenyum simpul, masih belum mampu menutupi kegugupannya. Berulang kali dia teringat ucapan Mbak Intan yang membuat bulu kuduknya merinding setiap kali mengingatnya, 'dia ketus, galak, sombong', ' belum lagi banyak maunya, suka maen cewek, suka dugem', 'suka mecat orang yang dia ga demen, egois', 'parahnya dia psycho! Katanya dia nyimpen boneka voodoo tiap karyawannya di lemari kabinet, nah kalau sebel bakalan ditusuk-tusuk tuh boneka'. "Lan. Wulan!" panggil Opi, menarik kembali Wulan dari lamunannya. "Tapi kalau lo nurut, bos besar juga baik kok. Udah sana kerja. Peralatannya ada di dalem ruang itu," perintah Opi, sembari tangannya terulur menujuk ruang sempit di sisi kiri pantry, kemudian menggapai cangkir teh Wulan yang sudah tandas untuk dicucinya. Wulan terus menyemangati dirinya sendiri sembari melangkah dengan peralatan kebersihan menuju ruangan kaca yang terletak di paling pojok kanan lantai tujuh, dari arah pintu masuk. Ruangan itu masih kosong. Sebuah meja kerja dari kayu jati berdiri kokoh di tengah ruangan, membelakangi jendela yang menampilkan pemandangan kota. Di dekat pintu ada sofa dan meja untuk menerima tamu. Di sebelah kanannya ada lemari buku yang juga terbuat dari kayu jati. Beberapa buku sangat tebal berjajar rapi di sana. Masih di deretan yang sama, namun ketebalannya berbeda, berderet buku mengenai hukum dan bisnis. Sedikit bergidik saat membaca tulisan 'hukum', mengingatkan Wulan pada pengalaman hidupnya selama di sel tahanan, hubungannya tidak terlalu baik dengan hukum. Di paling ujung bagian lemari--dekat jendela--ada satu ruang kabinet yang tertutup. Wulan berusaha membuka pintu kecil kabinet itu, terkunci. Lupakan, mungkin di sini si bos menyimpan boneka voodoo yang dibilang Mbak Intan, batinnya kemudian. Wulan memulai membersihkan ruangan si bos besar dengan mengelap debu dari lemari kayu itu, sesekali dia menyemprotkan cairan pembersih, mengelapnya, memastikan tidak ada lagi debu yang menempel. Tak berapa lama ia selesai dengan lemari, selanjutnya yang menjadi sasarannya adalah sofa di dekat pintu masuk ruangan. Wulan berbalik menuju sofa, tapi langkahnya terhenti saat matanya bertemu dengan iris coklat milik seorang pria yang bersedekap, bersandar di tepian daun pintu, dan tersenyum, senyum merendahkan. Dia Bimo. Seketika rasa gugup langsung menjalar di sekujur tubuhnya, banyak pertanyaan yang berkelebatan di otaknya, dan tubuhnya membeku tak bisa menghindari saat Bimo sudah berdiri di depannya. Pria itu meraih surai rambut Wulan yang tergerai berantakan, menyelipkannya di balik telinga kirinya, mengusap pipinya lembut. Tiba-tiba Bimo menyentil dahi Wulan dengan jemarinya, membuat gadis itu menjengit kaget, kemudian mengusap pelan dahinya yang memerah. Tanpa mempedulikan Wulan yang masih belum menemukan jawaban tentang segala pertanyaan dalam batinnya, Bimo melangkah menjauh menuju kursi di balik meja kayu jati, memutarnya sesaat sebelum duduk di sana, menumpukan kedua sikunya di atas meja, dengan matanya yang masih menatap Wulan. "Lo?!" Wulan berteriak, saat ia sudah kembali dari lamunannya, menyadari Bimo adalah lelaki yang sedang menyeringai di hadapannya. "Kenapa lo ada di sini?" "Selamat bergabung di Patra Group, Nona Wulan Srikandi." Jawab Bimo sambil menyandarkan punggungnya di kursi dan merentangkan kedua tangannya. "Segitu kangennya kamu sama aku?" Wulan mengernyitkan keningnya semakin dalam. "Apa maksud lo?" Kembali senyum meremehkan hadir menghiasi wajah Bimo, tubuhnya bergerak maju, tangan kanannya terulur menggapai sebuah papan nama yang bertengger di tengah meja kerja. "Kamu nggak lihat ini?" Bimo menghadapkan papan itu ke Wulan. "Jangan bilang kamu lupa sama namaku," lanjut Bimo dengan nada suara yang dibuat sesedih mungkin. Aryobimo Patra Pradipta. Wulan bukan tidak mengingat nama lengkap laki-laki paling menyebalkan di hidupnya ini. Hanya saja, dia terlalu bersemangat di hari pertamanya bekerja, sehingga tidak terlalu memperhatikan nama yang terpampang di meja. Kengerian semakin meliputinya saat matanya kembali membaca tulisan yang ukurannya lebih kecil di bawah nama lengkap Bimo, Managing Director. Sempurna sudah penderitaan Wulan kali ini. "Siapa sangka, kamu yang datang padaku. Baguslah, aku nggak perlu cari-cari kamu lagi." "Jangan salah paham dulu! Gue nggak tahu kalau ini kantor lo! Jangan mimpi juga, karena gue akan resign detik ini juga!" "Denied." "Lo nggak punya hak ngelarang gue buat mundur dari perusahaan lo!" lawan Wulan sembari membereskan peralatan kebersihannya. Bimo yang melihat hal itu langsung berdiri, dan kembali membuat peralatan itu berserakan di lantai. Gusar, Bimo mencekal kedua lengannya dan membawa tubuh kecil itu terduduk paksa di sofa. "Lo berani lawan gue? Lo lupa sekarang ada dimana?" "Lepas!" bentak Wulan sembari menepis tangan Bimo, dan beranjak. Tapi lagi-lagi Bimo menarik tubuh Wulan, membuatnya terhuyung yang malahan membuat Bimo dengan leluasa mengungkung Wulan dalam dekapannya. "Karena kamu yang ke sini, aku nggak akan lepasin kamu lagi." bisik Bimo, dan tindakan selanjutnya yang dilakukan pria itu langsung membuat bergidik. Bimo mencium pipi kirinya. Lembut. Bimo menarik wajahnya menjauh, ditatapnya kedua netra Wulan dalam. Kedua mata itu, dulu sekali selalu memandang diri Bimo penuh kehangatan. Namun, semenjak peristiwa kematian Vanya, tak ada lagi kehangatan itu ada di sana. Yang ada hanya tatapan penuh rasa benci, marah, dan jijik. Tapi Bimo tidak keberatan, karena dia juga tidak membutuhkan kehangatan itu lagi. Dia hanya butuh Wulan berada di sisinya. Bukan, bukan untuk disayang ataupun dicinta, tapi untuk disiksa. "Inget! Kamu nggak akan kemana-mana!" "Lo juga harus inget! Kalau gue masa bodo dengan apa yang lo omongin!" Wulan bangkit, kembali mengambil barang-barangnya. "Wulan! Kamu denger nggak sih apa yang aku omongin?" "Lo juga denger nggak sih apa yang gue omongin? Sekali nggak ya tetep nggak! Silakan lakukan apapun sama gue. Dan gue tetep nggak peduli sama lo! Inget itu!" .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD