Leni mendengar suara teriakan dari luar. Rumahnya memang selalu terkunci dan tidak ada seorang pun yang datang mengunjungi kecuali ... ibu mertua yang kini sudah ada di depan rumahnya sambil mengetuk pintu itu dengan keras.
Segera mungkin Leni harus merubah sikap dan penampilannya. Ia lalu bergegas membuka pintu rumahnya dengan sikap yang ramah.
"Ibu ... dengan siapa ibu kemari?" Leni memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Memastikan jika ibu mertuanya hanya sendirian di sana.
"Ibu sendiri. Dimana Alex? Dan ... barusan ibu mendengar seperti ada yang terjatuh, ada apa di dalam sana?" tanya Rusmi penasaran. Sedikit merasa khawatir juga akan cucunya yang tinggal berdua dengan wanita yang sekarang telah menjadi ibu tirinya itu. Dalam benak Rusmi, ia takut jika Leni berbuat hal yang tidak diinginkan seperti layaknya ibu tiri yang ia tonton dalam drama televisi. Kejam.
"Alex sedang saya suapi, Bu. Ibu tidak perlu cemas, barusan saya tidak sengaja menjatuhkan mangkuk di dapur." Leni tersenyum berusaha menyembunyikan kesalahannya.
"Benarkah? Kalau begitu, berhati-hatilah," ucap Rusmi.
Leni mengangguk paham dan segera mengajak masuk ibu mertuanya dengan sopan. Sepertinya Rusmi menyukai sikap Leni sekarang.
"Pintarnya cucu oma, udah bisa makan sendiri rupanya!" puji Rusmi terhadap Alex yang masih makan sendiri dengan mulut belepotan.
"Gemasnya ..."
Rusmi mencubit pipi Alex sedikit agak cabi memang. Berat badannya pun mulai menambah tiap bulan nya. Tak hanya itu, Alex semakin hari semakin pintar saja.
Karena gemas, Rusmi menggendong Alex dan membersihkan sisa makanan di wajahnya. Hari ini Rusmi berniat untuk membawanya pulang Alex menginap malam ini, ya ... hanya malam ini saja.
"Boleh kan ibu bawa Alex pulang? Ibu cuma mau bawa Alex jalan-jalan besok. Besok kan hari libur, kalau kamu mau, kamu juga bisa ikut. Kita jalan-jalan bersama," ajak Rusmi sambil menimang-nimang cucunya.
Leni tersenyum senang. "Baiklah, Bu. Tapi aku harus meminta ijin terlebih dahulu sama Mas Fardi."
"Kamu memang istri yang baik, ibu telah salah menilai mu."
***
Tring, tring, tring.
Beberapa kali ponsel milik Fardi berbunyi. Ia mulai terganggu, sebab saat ini ia sedang tertidur di sisi istrinya sangat nyenyak. Maklum saja, setiap hari, bahkan setiap waktu, Fardi tetap menemani istrinya yang masih menutup mata itu.
"Apa tidak bisa digantikan?"
"Tidak, Pak. Keadaan perusahaan sedang turun dan kali ini Bapak sendiri yang harus turun tangan demi klien terakhir kita. Kita hanya bisa bergantung padanya."
"Baiklah, saya akan pulang."
Fardi menatap istrinya dengan tatapan tak berdaya. Sisi lain, ia ingin menemani istrinya sampai sadar, bahkan bila perlu sampai benar-benar pulih. Namun, ia masih punya urusan yaitu perusahaannya.
Fardi mempunyai perusahaan di bidang Textile, itupun perusahaan milik Romi, ayah Lupita yang sengaja ia kelola setelah kepergian Romi.
Perusahaannya mengalami kerugian belum lama ini dan Fardi mencoba untuk mengembangkan kembali agar perusahaan itu kembali normal seperti biasanya.
Fardi menggenggam tangan Lupita dengan lembut, ia tidak mau jika harus meninggalkannya dalam kondisi seperti sekarang ini.
"Maafkan mas, kali ini mas harus kembali dan mengurus perusahaan kita di sana. Mas akan kembali ke sini secepatnya. Tolong berjuanglah, Sayang. Mas sangat menyayangimu."
Fardi mengecup kening Lupita sangat lama. Ia juga bisa merasakan hangatnya tubuh Lupita yang terpasang alat itu.
Fardi keluar untuk mencari Rey, saat ini ia memang tergantung kepada sahabatnya. Bukan hanya itu, Fardi bahkan sangat mempercayakan sepenuhnya.
"Tolong jaga istriku dengan baik. Hubungi aku setiap saat dan beri kabar apapun mengenai istriku selama di sini," ucap Fardi penuh harapan.
"Tentu saja, Far. Aku akan menghubungimu mengenai kabar istrimu," jawab Rey.
"Terimakasih."
***
Dalam pesawat, Fardi terus mengecek ponselnya, berharap ada kabar terbaru dari Rey mengenai Lupita.
Banyak pesan tertimbun di sana, termasuk pesan Leni yang meminta ijin hari itu. Namun, Fardi hanya ingin kabar dari Rey saja, sementara pesan dari Leni ia abaikan begitu saja. Seolah Leni tidak penting baginya.
Tring,
"Halo, Rey. Bagaimana kondisi Lupita sekarang?"
"Maaf, Pak. Ini saya Radit, saya sudah ada di bandara untuk menjemput bapak. Klien sudah menunggu kita untuk memulai meeting kerjasama nya dengan perusahaan mereka."
"Oh, baiklah."
Harapan Fardi yang menghubunginya Rey, akan tetapi itu bukan Rey melainkan sekretarisnya. Huff ...
Fardi hanya bisa bernapas gusar, masalahnya, sampai detik inipun belum ada kabar dari Rey mengenai Lupita.
Begitu sampai di Bandara, Radit membawakan barang milik atasannya itu dan langsung menancapkan gas menuju kantor.
"Maafkan saya karena tidak membiarkan Anda istirahat terlebih dahulu. Waktu kita tidak banyak, saya harap Anda tidak lelah," ujar Radit tidak enak.
"Tidak apa-apa, saya malah senang, akhirnya ada yang mau bekerjasama dengan perusahaan kita."
"Bagaimana kondisi Nyonya di sana? Apa Nyonya sudah membaik?" tanya Radit.
"Lupita masih belum sadar, kondisinya masih sama," jawab Fardi dengan lemah.
"Anda harus sabar dan terus berdo'a agar Nyonya bisa melewati masa kritisnya."
"Iya, Dit. Terimakasih."
Begitupun dengan Radit, ia sangatlah sedih melihat orang yang selama ini menjadi panutannya begitu terpuruk. Ujian rumah tangga bos nya itu sangatlah berat.
***
Rey telah memeriksa keadaan Lupita. Seharusnya sekarang Lupita sudah sadar dan bis melewati masa kritisnya karena ini sudah diperhitungkan oleh Rey sendiri. Namun, medis tetaplah medis, usaha manusia tidak bisa menyaingi takdir. Mungkin Lupita akan sadar jika yang di atas mengijinkannya.
Sesuai perintah Fardi, Rey akan selalu menjaga Lupita dengan baik, ia masih menunggu walaupun ini adalah jam untuk makan siangnya.
"Tolong bawakan makan siang saya kemari," perintah Rey kepada perawat yang ikut memeriksa Lupita.
Perawat itu mengangguk patuh, "Baik, Dokter."
Tak menunggu lama, makan siang Rey sudah diantarkan nya. Akan tetapi, Rey tidak bisa makan siang di ruangan itu setelah melihat ada pergerakan tangan dari pasiennya.
"Euughh ..."
Lupita mulai membuka suaranya dan sedikit demi sedikit bisa membuka matanya juga. Perlahan, kepalanya mulai bergerak melihat situasi ruangan itu.
"Mas ..."
Lupita hanya memanggil suaminya dengan suara berat. Rey segera memeriksanya kembali, kondisinya saat ini sudah mulai membaik. Syukurlah.
"Nyonya, apa Nyonya perlu sesuatu?" tanya Rey.
"Dimana Mas Fardi?"
Rey tersenyum senang, rupanya Lupita sudah sadar dan ingatannya pun baik.
"Rey sudah pulang dua hari lalu, ia kembali karena mendapat kabar mengenai perusahaannya. Anda tidak perlu cemas, saya di sini akan selalu ada untuk Nyonya. Apa Nyonya mau minum?" tawar Rey.
Lupita hanya mengangguk lemah, Rey kembali tersenyum senang.
"Setelah urusannya selesai, Fardi akan kemari dan menemani Anda lagi, Nyonya. Untuk saat ini, sepertinya dia sedang sibuk," sambung Rey kembali.
"Tidak apa-apa. Biarkan dia mengurus perusahaan ayahku, setidaknya, dia juga harus memerhatikan istrinya yang baru. Aku mengerti," ucap Lupita yang kini sudah kembali berbaring.
Rey menatap kagum sekaligus merasa iba terhadap wanita berwajah pucat di depannya. Di satu sisi, Lupita adalah wanita yang kuat, tapi di sisi lain, ia merupakan wanita yang lemah. Namun, bisa saja kelemahannya itu menjadi modal untuk Lupita supaya ia bisa mengikhlaskan semuanya.
Lupita memegang kepalanya yang masih terasa sakit dan berat. Perlahan ia membetulkan rambutnya agar tidak menghalangi dan mulai mengikatnya. Ia tersenyum saat melihat rambutnya yang mulai rontok, sampai ia bisa menggulung rambut itu dengan tangannya sendiri.
"Nyonya ... Anda ..."
Lupita tidak melepas senyum manisnya itu, "Saya tidak apa-apa. Saya sanggup untuk ke tahap selanjutnya."
Perlahan, Rey mulai meneteskan buliran bening dari matanya, sepertinya ia tak tega melihat wanita setegar itu merasakan penyakit yang mematikan.
"I-iya ... Anda harus kuat dan Anda pasti kuat."