Akhir perjuangan

1307 Words
Hari ini ialah hari dimana Lupita akan menjalani pengobatan ke tahap berikutnya. Namun, kali ini berbeda dengan pengobatan sebelumnya. Jika saja pengobatan sekarang gagal, maka itu akan menyebabkan hilangnya nyawa saat efek sampingnya bereaksi. Rey sudah mencoba menghubungi Fardi beberapa kali, tapi sepertinya sampai saat inipun Fardi tidak bisa ia hubungi. Bahkan sejak kepulangannya hari itu, tidak ada kabar apapun dari Fardi sendiri. Rey hanya bisa bernapas berat, masalahnya, pengobatan Lupita kali ini akan beresiko sangat tinggi. Jika saja Lupita tidak bisa bertahan, Rey akan menjadi orang pertama yang disalahkan nya. "Kemana kamu, Far. Sudah beberapa bulan ini aku tidak bisa menghubungi mu. Bahkan saat pengobatan pertama pun kamu tidak mengetahuinya." Rey semakin risau, sementara Lupita hanya bisa tersenyum. "Dokter Rey," panggil Lupita. "I-iya Nyonya." "Sudahlah, tidak apa. Mungkin Mas Fardi sedang sibuk. Kita mulai saja pengobatan ke tahap selanjutnya," pinta Lupita dengan sangat yakin. "Tapi, Nyonya ... saya ..." "Kalau saya meninggal nanti, tolong antar saya sampai rumah. Saya juga sudah pasrah dengan takdir yang sudah digariskan untuk saya. Jadi, jangan ragu. Lakukanlah." Rey menatap Lupita sangat dalam. Mengapa ia harus merasakan hal yang paling menyakitkan seperti ini? Bukan hanya melawan penyakitnya saja. Namun, Lupita harus merasakan kesendiriannya karena tidak ada orang terdekat bahkan tersayang ada di sini menemaninya. Ia hanya punya Rey yang selalu ada untuknya setiap hari. Itupun hanya sebatas tugas saja. Sebelumnya, Fardi sudah menyiapkan biaya untuk Lupita. Bahkan semua biaya itu sudah diberikan kepada Rey. Akan tetapi, dimana dia sekarang? Batin Rey seakan bertanya setiap harinya. Akhirnya, Rey mau mendengar apa yang dikatakan Lupita. Lagipula, ini sudah waktunya ia menjalani pengobatan ke tahap berikutnya. "Apa Anda sudah siap, Nyonya?" tanya Rey sekali lagi. "Saya siap," jawab Lupita mantap. Lupita sudah menyiapkan segalanya, walaupun hasilnya nanti tidak sesuai yang ia harapkan. Namun, dirinya sudah bahagia saat ketika suami dan anaknya ada yang menggantikannya. Lupita sangat yakin jika Leni bisa menjaga mereka dengan baik. Semoga. *** "Sudahlah Mas, jangan dipikirkan. Bukankah sekarang sudah ada aku yang menjaga Alex?" ucap Leni ketika melihat Fardi kembali melihat semua bukti yang hendak diberikannya hari itu. "Mas hanya tidak menyangka kalau Mbak mu telah mengkhianati ku selama ini. Aku menyesal karena sudah mempercayainya. Begitu juga dengan Rey. Mungkin Lupita juga yang sudah membayarnya dibelakang ku." "Kamu itu terlalu baik, Mas. Apalagi dengan uang yang sudah kamu berikan untuk pengobatan Mbak Lupita di sana. Mungkin sekarang sudah habis dipakainya," ucapan Leni benar-benar menambah beban untuknya. "Mas, kamu mau kemana?" tanya Leni ketika melihat Fardi yang langsung pergi setelah ia mengatakan hal itu. "Mas mau menarik semua uang yang mas berikan sama Rey," jawabnya meneruskan langkah kakinya. "Itu percuma." Fardi kembali menghentikan langkahnya dan mendekati Leni. "Kenapa?" "Bukankah selama ini kamu tidak bisa menghubungi Rey? Itu artinya nomormu sudah diblokirnya," kata Leni dengan semua rencananya. Fardi menautkan keningnya sambil berpikir. Sejak ia kembali, Rey memang sudah tidak bisa dihubungi. Mungkin benar. Mereka telah berkhianat. Keterlaluan. "Sebaiknya kamu lupakan saja, bukankah perusahaan mu sudah kembali normal? Menurutku, seharusnya kamu fokus sama perusahaan saja. Aku yakin, suatu saat, kalau benar Mbak Lupita baik-baik saja, dia akan kembali dengan sendirinya." 'Leni benar. Untuk apa aku memikirkan perempuan yang sudah mengkhianati ku selama ini, hanya Leni istriku yang terbaik. Dia sudah merawat Alex dengan baik, bahkan dia sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri. Rupanya aku telah salah menilainya' batin Fardi. Tubuh Leni benar-benar gemetar saat tiba-tiba Fardi memeluknya. Bukan masalah gemetar ketakutan, tapi ia merasa baru kali ini mendapat perlakuan yang mengejutkan dari lelaki yang selama ini ia sukai. "M-mas ..." Leni sedikit gugup. "Maafkan mas karena selama ini memperlakukanmu dengan tidak baik. Kedepannya, mas ingin belajar mencintaimu." Hati Leni bersorak gembira mendengar perkataan tulus dari suaminya, suami dari Kakak tirinya. Ia membalas pelukan itu dengan tangan yang masih gemetar tak percaya. "Apa kamu begitu takut saat aku memelukmu seperti ini?" "Ahh, a-apa?" Fardi melepas pelukan itu dan menatap Leni dengan gemas. Ia teringat saat pertama memeluk Lupita saat hari pengantin baru. Sikapnya juga sama. Gugup. Fardi terkekeh, "Apa kamu gugup?" "A-aku ... baru kali ini aku ..." Fardi kembali memeluk Leni, kali ini pelukan itu semakin hangat dan ... lama. Hingga mengurangi kegugupan Leni. "Mas, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Leni. "Kamu mau minta apa dariku?" "Sebenarnya, aku tidak nyaman dengan pernikahan sirih ini. Aku mau pernikahan yang sah secara hukum dan Agama." Fardi tersentak dan langsung terlepas dari tubuh Leni. Apakah itu yang harus ia lakukan? "Tidak. Aku tidak akan memutuskan itu sebelum semuanya benar." "Maksudmu? Apa kamu masih belum yakin akan semua bukti itu?" "Aku belum melihatnya dengan mataku sendiri, maka, aku belum yakin sepenuhnya." Leni tersenyum manis, berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Setidaknya, ia harus terlihat setuju dengan keputusan suaminya. "Baiklah," jawabnya ramah. Hati Leni memang sangat senang. Namun, ia tak akan merasa puas jika keinginannya belum terkabulkan. Entahlah, mungkin dia ingin menggantikan posisi Lupita dalam hal segalanya. *** Lupita menatap jendela Rumah Sakit yang mengarah ke arah taman dengan tatapan kosong. Ia merasa sangat hampa, tak ada orang tersayang, terdekat, maupun orang yang perduli dengan keadaannya saat ini. Ia merasa lelah setelah sekian lama menjalani pengobatan. Bukan hanya lelah, tapi sepertinya ia sudah tak sanggup untuk menjalani hidup seperti ini. Hampa. "Mas, kamu dimana? Apa kamu tidak ingin melihat keadaanku sekarang? Atau kamu sudah tak perduli lagi denganku? Apa kamu, Alex dan Leni baik-baik saja?" Meskipun tak ada yang perduli, tapi Lupita masih memikirkan keadaan mereka. Leni, Alex, terutama terhadap suaminya. Rasa rindu sudah tak tertahan lagi. Akan tetapi, bagaimanapun ia masih harus berjuang sampai titik akhir. Sampai keadaannya benar-benar pulih. Takdir masih berpihak, Lupita bisa melewati tahap-tahap pengobatan. Tim dokter pun merasa terkejut dengan keadaan Lupita yang hampir tak bisa bernapas itu. "Nyonya ..." Lupita menoleh ke arah belakang, hanya satu orang yang memanggilnya dengan panggilan itu yaitu ... "Rey." "Apa Nyonya mau jalan-jalan ke bawah sana?" usul Rey. "Mau ... aku bosan di sini terus. Aku mau merasakan kembali suasana di luar seperti apa." "Baiklah, biar saya temani Nyonya." Rey bersiap menggusur kursi roda itu. Namun ... "Rey," panggil Lupita kemudian. "Iya," jawab Rey menghentikan dorongannya. "Mulai sekarang, panggil aku Lupita saja. Kamu sudah seperti temanku dan kamu selalu ada untukku. Jadi, bisakah kita berteman?" Rey tersenyum, membungkukkan tubuhnya menatap wajah wanita cantik di depannya. "Ya ... kita adalah teman sekarang." "Hmm ... bisakah kau ambilkan kerudung untukku? Aku malu dengan kepalaku yang botak tak berambut ini." "Tentu saja." Rey berdiri dan melangkah untuk mengambil kerudung yang Lupita inginkan. Ia segera memberikannya dan membantu memakaikan kerudung itu ke kepala Lupita. Lupita terlihat semakin cantik, wajahnya tidak lagi pucat, terlihat berseri. Namun, tatapan matanya masih terasa kosong. Mungkin itu karena Lupita sering melamun. "Kita di sini saja." Lupita ingin Rey menghentikan dorongan kursinya tepat di depan taman belakang Rumah Sakit. Taman itu terlihat lebih indah dari dugaannya. Banyak bunga cantik dan kolam ikan yang begitu terawat. Sepertinya Lupita senang berada di sana. "Apa kamu tidak rindu dengan keluargamu, Rey?" tanya Lupita. "Rindu? Tentu saja aku rindu, terutama sama ibuku." "Apa kamu tidak ingin pulang menemui ibumu?" "Aku akan pulang setelah tugasku selesai." Lupita menundukkan kepalanya karena ia merasa bersalah saat ini. Ia pikir dirinya begitu menyusahkan. "Maafkan aku." "Apa yang kamu bicarakan?" tanya Rey mendengar permintaan maaf Lupita. "Maafkan aku karena sudah membiarkanmu meninggalkan ibumu demi pengobatan ku di sini, aku begitu menyusahkan." Rey duduk, memutar kursi roda itu menghadap ke depannya. "Kamu tidak menyusahkan, sebaliknya. Aku mau kamu sembuh total dan berjuang demi sahabatku. Lagipula, itu sudah menjadi tugasku. Tolong jangan bicara seperti itu, aku ingin kamu kembali dalam keadaan sehat. Kita akan pulang sama-sama." Lupita menggenggam tangan Rey dengan air mata yang menetes perlahan. "Terimakasih." "Kamu adalah pasienku yang kuat, kamu bisa melewati semuanya. Sekarang hanya tinggal tahap pemulihan. Itupun perlu waktu tidak sebentar, jadi, bersabarlah." Rey tahu akan kesepian yang dirasakan Lupita. Sebisa mungkin ia harus menguatkannya dan memberi dukungan terus menerus hingga Lupita bisa kembali seperti dahulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD