Lupita sedang mengemas barang serta pakaiannya ke dalam koper. Hari ini ia sudah siap untuk kembali ke Negara asalnya, Indonesia.
Ia sudah rindu terhadap semua orang tersayangnya, terutama kepada Alex, anaknya yang pertama dan suami yang lama ia rindukan.
Walaupun Rey telah melarangnya, akan tetapi Lupita tetap bersikukuh untuk pulang. Keadaannya masih belum stabil, Rey takut akan terjadi sesuatu kepadanya selama perjalanan maupun jika sudah ada di sana.
"Apa kamu yakin mau pulang sekarang? Keadaanmu belum benar-benar stabil. Seharusnya kamu tunggu sampai keadaanmu pulih, Lupita," ucap Rey sambil membantu Lupita mengemasi barangnya.
"Aku begitu merindukan keluargaku. Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu mereka di sana. Sudah lama aku berada di sini dan aku ingin melihat anakku, Alex. Mungkin dia sudah bisa berjalan sekarang. Aku mau melihatnya berjalan dan berlari ke arahku, aku juga mau mendengar dia memanggilku dengan sebutan 'mama'. Itu sangat bahagia."
Lupita membayangkan dan mengulas senyum bahagia di depan Rey. Kedua matanya mulai mengeluarkan air haru, membuat Rey ikut menangis juga.
'Kamu adalah seorang ibu yang kuat. Bukan hanya kesabaranmu melawan penyakitmu saja, tapi kesabaranmu yang sudah menunggunya selama hampir dua tahun ini.' Batin Rey.
Lupita menghapus sisa air matanya dan sedikit merapihkan rambut pendek yang mulai tumbuh di kepalanya.
Selama hampir dua tahun ini, akhirnya dia bisa melewati masa tersiksa akan penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya. Selama dua tahun ini juga, Lupita mampu bertahan sesuai janjinya kepada Fardi dan Alex.
Sungguh, bukan hal mudah melawan penyakit ini. Akan tetapi, Lupita sudah berjanji akan selalu kuat untuk menahannya.
"Kita pulang sama-sama."
"Apa kamu yakin? Bukankah tugasmu belum selesai?"
Lupita merasa tidak enak jika Rey ikut pulang dengannya. Apa ini karena dirinya? Atau tugasnya memang sudah selesai?
Padahal, sebelum Lupita memutuskan untuk pulang, Rey sudah mengatakan bahwa tugasnya akan diperpanjang dan bukan hanya menyembuhkan dirinya saja. Ada pasien lain yang menunggu untuk ditangani olehnya.
"Tugasku sudah selesai dan aku ingin pulang bersamamu, menemanimu."
Lupita menautkan keningnya kuat. "Ini semua bukan aku penyebabnya, kan?"
"Maksudmu?"
"Ya ... mungkin kamu masih kasihan sama aku, jadi kamu mau ikut pulang denganku!"
"Oho ... bukan ... lagipula aku juga mau bertemu ibuku di sana. Bukan cuma kamu saja yang rindu keluarga, aku pun juga sama."
"Baiklah, rupanya aku telah salah."
Rey terkekeh melihat tingkah Lupita yang semakin hari semakin menggemaskan saja baginya.
Selama dua tahun bersama, Rey memang telah mengenal dekat hingga ia tahu segalanya tentang Lupita.
"Apa kamu mau makan siang dulu sebelum kita berangkat ke Bandara?" ajak Rey.
"Hmm ... boleh. Sepertinya perutku juga sudah demo dari tadi."
"Oke, kamu mau makan siang dimana?"
"Kita makan siang di tempat biasa saja."
"Baiklah."
Rey mempersilakan Lupita untuk berjalan terlebih dulu. Wanita cantik itu bukan sekadar tanggung jawabnya saja. Namun, wanita cantik itu telah mengetuk hatinya. Rey diam-diam menyukainya.
Jika saja Lupita bukan istri sahabatnya, mungkin dirinya akan maju untuk melamarnya. Oh, tidak. Apa itu tidak berlebihan?
"Terimakasih."
Lupita tersipu saat Rey membukakan pintu mobil untuknya. Kali ini ia ingin mengajak wanita cantik itu makan siang untuk yang terakhir kalinya.
Ya ... mungkin inilah waktunya ia melepas pasien selama dua tahun ia jaga dan merawatnya dengan baik. Mengembalikan kembali kepada pemiliknya. Fardi.
"Lu, aku harap setelah ini penyakitmu tidak kambuh lagi. Sudah cukup aku menyiksa dirimu dengan semua alat yang sudah aku gunakan untuk tubuhmu," ucap Rey sedikit sesak.
Sesak mengingat saat dirinya benar-benar putus asa karena tak tega melihat wanita cantik itu tersiksa.
"Aku juga mau begitu, lagipula, itu ... rasanya sangat menyakitkan."
"Kamu adalah wanita yang kuat. Kemungkinan kecil orang yang mengidap kanker bisa bertahan sepertimu dan bisa sembuh sepertimu. Tapi aku yakin, kamu tidak akan pernah merasakan semua itu lagi. Tetaplah jaga kesehatanmu, kalau ada sesuatu jangan sungkan meminta pertolonganku."
Lupita tersenyum menatap ke arah Rey, "Tentu, dan terimakasih atas segalanya. Kamu benar-benar teman sekaligus sahabat terbaik untukku dan Mas Fardi."
Fardi ... Rey teringat akan sahabatnya itu. Ia juga tak mengerti, bagaimana mungkin Fardi membiarkan istrinya berjuang sendirian. Bukankah Fardi selalu ingin tahu kondisi Lupita selama di sini?
"Ngomong-ngomong, apa Fardi sudah bisa kamu hubungi?" tanya Rey penasaran.
"Belum, tapi aku sudah mengirim pesan sama Leni kalau aku akan pulang minggu ini."
"Sudah ada balasan darinya?"
"Nggak, dia hanya membacanya saja. Tiap kali aku mengirim pesan, dia hanya membaca, kalau dibalas pun pasti dia hanya membalasnya dengan iya saja. Tiap kali aku menanyakan Mas Fardi, dia hanya menjawab Mas Fardi sedang sibuk. Mungkin Mas Fardi memang sedang sibuk. Setahuku, perusahaan ayahku sedang bermasalah. Mungkin Mas Fardi masih harus mengatasinya," jelas Lupita.
Rey sedikit tidak mengerti dengan sikap Leni. Wanita yang Lupita pilih untuk menjadi madunya. Apa mungkin ada niat buruk dibalik itu semua? Semoga tidak. Batin Rey bergumam.
Rey menghentikan mobilnya tepat di depan restoran sederhana. Restoran itu sudah menjadi tempat kesukaan mereka di Singapura. Bukan hanya makanannya yang sehat dan terjamin. Namun, tempatnya pun terlihat sangat terjaga dan benar-benar bersih. Mereka berdua menyukainya.
"Kita sudah sampai, kamu tunggu di sini biar aku yang membukakan pintunya."
Lupita mencekal tangan Rey sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku bisa sendiri."
Lupita membenarkan kain yang menyelimuti kepalanya sebelum ia membuka pintu untuk turun. Penampilannya kini sudah berubah. Dia sudah tidak memiliki rambut panjang yang indah. Hanya tertutup kain panjang melilit.
Rey menyusul setelah Lupita sudah turun dari mobilnya. Mereka kini telah memilih menu yang hendak mereka makan untuk siang ini.
"Lupita ..."
Seorang lelaki rupanya memanggil namanya dari arah belakang. Lupita lalu menoleh. Namun, ia tidak mengenal orang itu. Lupita benar-benar tak mengingatnya.
"Kamu? Siapa?" tanya Lupita.
"Apa kamu tidak mengenalku? Padahal aku selalu datang menjenguk mu waktu itu," ucap pria itu.
"Menjenguk?"
Lupita memandang Rey yang ikut memandangnya juga. Perasaan Rey tidak nyaman kali ini. Apa benar orang ini selalu datang untuk menjenguk wanita cantik di depannya?
"Aku tidak pernah melihatmu ada di Rumah Sakit hanya sekadar menjenguk pasienku di sana," kata Rey jujur.
"Apa dokter juga lupa denganku?"
Rey sedikit bingung, ia mengingat kembali dan memperhatikan wajah pria yang mengaku sering datang menjenguk pasiennya.
"Aku Geri, yang waktu itu membawakan bunga saat Lupita masih dalam keadaan kritis tak sadarkan diri. Saat itu aku datang bersama rekan ku ke sana. Apa kau mengingatnya?"
"Aahh ... iya, aku ingat sekarang. Lalu ... ada perlu apa kamu kemari?" tanya Rey.
"Aku tidak sengaja melihat kalian berdua waktu makan barusan, makanya aku kemari ingin menyapa kalian lagi," ucap Geri.
Namun, Lupita masih tak mengerti, siapa orang yang bernama Geri ini dan kenapa dia mengenalnya?
"Aku tidak mengenalmu, bagaimana mungkin kamu mengenalku dan tahu aku ada di sini?"