Kesan Pertama

2173 Words
. Aksi saling membeku dan mengancam itu berakhir ketika dua prajurit kerajaan muncul dari belakang Angkasa. Derap langkah mereka yang keras beraturan ditambah dengan seruan lantang yang penuh kemarahan, membuat kedatangan mereka tak lagi menjadi kejutan. Angkasa menghunus pedangnya lagi, dia berdiri dengan kuda-kuda mantap lalu menangkis serangan dua prajurit itu. Tanpa balik badan, Angkasa menahan pedang mereka dengan posisi melintang, lalu dengan gerakan cepat memutar tubuhnya, menarik pedangnya ke bawah dan menebas cepat kedua perut prajurit itu. Angkasa memutar tubuhnya lagi dan tangannya merespon cepat serangan belati pendek Talana yang menukik tajam ke arah wajahnya. Angkasa menyilangkan tangannya untuk menahan pergelangan tangan Talana.             “Kau sudah menyia-nyiakan belas kasihanku,” ucap Angkasa di tengah adu kekuatan itu.             “Kami tidak membutuhkannya!” bantah Talana tegas. Angkasa mendorong tangan Talana hingga mereka terpisah satu setengah meter. Talana kembali maju menyerang. Dia eratkan lagi genggaman belatinya dan berusaha terus menebas Angkasa. Mereka saling menyerang, menghindar dan beberapa kali beradu kekuatan. Belati pendek itu harus menahan gempuran demi gempuran pedang panjang Angkasa yang secara ketajaman dan kekuatan jelas jauh berbeda. Talana mundur lagi, mengambil kuda-kuda lalu kembali berlari maju. Kedua senjata mereka bertabrakan. Angkasa menebas belati Talana hingga patah. Patahan mata pedangnya melayang cepat dan menggores lengan kiri Naviza.             “Aaagh!” pekik pelan Naviza sambil menekan lengannya yang tersayat. Pakaiannya sobek dan darah merembes dari sana. Talana kaget. Dia lengah ketika Angkasa sudah bergerak lagi menyerangnya. Angkasa menebas lagi pedangnya melintang horizontal. Talana melompat mundur dengan gesit, merunduk, dan kayang demi menghindari goresan pedang Angkasa. Talana terus menghindar sementara Angkasa semakin agresif. Dia menyerang dari atas, bawah dan samping bertubi-tubi dengan gerakan yang cepat dan terukur. Di tengah pertarungan sengit mereka, Naviza melihat tiga prajurit muncul lagi dari ujung gang dengan berlari pontang-panting mendapatkan Angkasa. Sementara ia menyaksikan pertarungan Talana dan Angkasa mulai tidak seimbang. Talana semakin terdesak. Lengan dan paha kirinya sudah tergores pedang Angkasa beberapa kali. Dia harus membantu Talana atau laki-laki itu akan terluka lebih banyak lagi. Naviza berlari ke jasad dua prajurit tadi ketika Angkasa dan Talana terlibat adu kekuatan lagi. Ia pungut senjata apapun yang mereka genggam, pedang, lalu berlari melerai dua pria itu. Naviza mengayunkan pedangnya pada Angkasa hingga fokus pria itu terbagi. Naviza berputar cepat, meninju siku Angkasa, lalu berputar lagi menendang perut Angkasa hingga berhasil memisahkan pria itu dari Talana. Naviza berdiri di depan Talana sambil menghunus pedang rampasannya pada Angkasa, sementara para prajurit di belakang Angkasa semakin banyak yang datang dan jarak mereka makin dekat.             “Pergi dari sini, Lan. Kau terluka parah,” seru Naviza tanpa mengurangi kewaspadaannya pada Angkasa.             “Itu sama sekali tidak parah,” ejek Angkasa.             “Kita selesaikan bersama!” tolak Talana. Dua sayatan berbaris di lengan kanan Talana. Darah merembes keluar seperti sumber air pegunungan yang mengalir pelan namun tak henti. Tertatih ia mendekati Naviza yang berada lima langkah di depannya, melindunginya dari Angkasa. Paha kiri Talana terbelah cukup dalam. Celananya cobek, dan darah sudah menggenang di sana. Angkasa tersenyum setengah hati. Dia sedang menahan tawanya melihat tingkah dua orang itu. Para remaja yang berusaha terlihat berani dan begitu lucu di matanya. Sementara beberapa langkah di belakangnya bahaya lain sudah menanti. Sepuluh prajurit kerajaan masih mengejarnya. Dan jauh di barisan paling belakang mereka, ada Ralin di atas kudanya. Angkasa menoleh ke belakang sebentar, lalu kembali fokus pada Naviza dan Talana dengan sikap santai.             “Sudah terlambat untuk kabur sekarang. Kalian berdua benar-benar ingin mati,” seru Angkasa dengan suara rendah. “Sekarang pilih, mau mati sekarang atau membantuku melawan mereka?” tawar Angkasa. -------------------------------- Yang terjadi beberapa jam lalu di padang utara Zakaffa. Angkasa melompat keluar dari kereta tahanannya. Tanpa pedang, pisau ataupun busur dengan anak panahnya. Sementara selusin pengawal yang menjaganya kini telah melingkar mengambil ancang-ancang bersiap bertarung. Mereka menodongkan senjata apapun yang bisa mereka todongkan: pedang, panah, dan tombak. Dengan wajah-wajah lelah yang putus asa dan tangan-tangan gemetar maju mundur, orang-orang itu tak punya pilihan lain kecuali memerangi Angkasa. ‘Pria itu adalah penjahat. Mereka harus menangkapnya.’ Dengan pemikiran itu, mereka kuatkan tekad dan sisa keberanian yang tertinggal untuk menundukkan seseorang yang jelas-jelas berada jauh di atas level mereka. Tapi apa daya? Tidak ada pilihan. Sang pimpinan telah memerintahkan bertarung. Komandan mereka pun ada di sana, di barisan paling depan menghunuskan pedangnya pada Angkasa. Setelah menikmati sebentar sensasi pengepungan yang begitu memprihatinkan ini, Angkasa maju. Tak ada banyak waktu yang bisa ia buang lagi. Tak ada sisa energi yang masih cukup untuk disia-siakan. Angkasa menerobos barikade itu. Dia melompat tinggi, melakukan rol atas ke depan dan menghantam satu per satu prajurit dengan tendangan dan tinjunya. Dia serang titik-titik vital pertahanan mereka: leher, tengkuk, bawah telinga, persendian dan ulu hati. Dia tinju satu orang, menyeretnya jadi tameng, menendang ulu hati yang lain, lalu menjadikannya tumpuan melompat untuk menghajar prajurit lain. Semua senjata terbuang tak sempat tergunakan. Lima belas orang jatuh ke tanah dengan kesakitan maksimal di wajah-wajah mereka. Selusin kedua segera berlari menyerbu Angkasa dengan teriakan yang lebih garang dan semangat yang seolah lebih tangguh. Angkasa meregangkan otot-otot leher dan tangannya sambil memungut pedang bekas prajurit yang dikalahkannya.             “Cepat menyerah!” seru komandan dari atas kudanya. Angkasa hanya meliriknya dengan senyuman sinis. Tanpa menggubrisnya, dia melempar pedangnya lurus bagaikan anak panah kepada komandan itu. Jlep. Tak semeleset sesenti pun, ujung mata pedang menembus jantung komandan. Pria itu melotot kaget karena serangan yang begitu cepat hingga tak sempat menangkisnya. Spontan dia menganga, berusaha mendapatkan udara, mati-matian menariknya masuk ke paru-parunya, namun rasanyaa begitu sesak. Tiba-tiba semuanya lenyap tanpa sempat ia persiapkan dan tubuhnya jatuh ke tanah. Detak telah meninggalkan jantungnya. Darah berhenti mengalir dan mata yang melotot tak bisa memejam sendiri lagi. Dia mati. Angkasa masih terus bertarung dengan enam orang prajurit yang menyerangnya bersamaan. Dia melakukan manuver-manuver mematahkan persendian gerak mereka, meninju ulu hati tempat paling rawan tulang pedang. Angkasa mencabut pedang seorang prajurit, memukul d**a prajurit lain dengan belakang gagang lalu menghujam prajurit lainnya dengan tikaman yang dalam. Dia melompat ke atas sambil menebas dua leher sekaligus.             “Ini melelahkan,” gerutu Angkasa. Dia mengedarkan pandangnya ke segala arah. Harus ada jalan keluar tanpa bertarung satu demi satu dengan orang-orang ini. “Aku harus pergi sebelum Ralin datang,” pikirnya. Netranya menemukan satu kuda yang kosong di dekat kereta tahanannya yang kini jauh sekali. Baru ia sadar bahwa dirinya sudah bergerak terlalu jauh dari kendaraannya. Angkasa berlari menerjang puluhan orang yang berlari menghajarnya. Kali ini dia hanya melawan mereka yang menghalangi jalannya.             “Angkasa!” seruan Ralin melengking di udara. Angkasa tak mau berhenti. Dia menemukan bayangan Ralin yang berlari dengan kudanya dari barisan terdepan menuju posisinya. Angkasa melompat ke atas kuda bekas komandan lalu memacunya keluar dari kepungan. Dia menahan satu tombak yang menghalangi lalu merebutnya. Kepungan terbelah otomatis meski beberapa prajurit masih tetap berusaha menyerang Angkasa. Dia tebaskan tombaknya lebar ke kanan dan kiri tanpa melukai mereka sementara Ralin benar-benar mendekat. Wanita itu memacu kudanya pada kecepatan maksimal sambil berteriak meminta pasukannya minggir memberi mereka jalan.             “Aku tidak akan melepaskanmu, Angkasa!” tekadnya. Ralin memberi komando pada anak buahnya agar membagi pasukan menjadi dua. Satu tetap kembali ke markas dan sebagian mengejar Angkasa bersamanya. Dia menyerahkan tugas pembagian formasi kelompok itu pada ketiga komandannya yang tersisa sementara dirinya fokus mengejar Angkasa yang semakin jauh. -------------------- Tidak kurang dari satu peleton yang dikirim pergi mengejar Angkasa. Ralin sendiri yang memimpin peleton itu. Dia memencar pasukannya menjadi tiga kelompok lebih kecil untuk mengambil jalur yang berbeda. Mereka harus menghentikan Angkasa bagaimanapun caranya. Lelaki itu tidak boleh masuk ke ibukota.             “Jenderal,” panggil komandan peletonnya.             “Ada apa?” tanya Ralin tegang.             “Kenapa Angkasa harus kabur ke Ibukota? Apa kita tidak salah langkah? Bukankah lebih menguntungkan baginya untuk kembali ke markas Benang Merah?” tanya komandan menyangsikan keputusan Ralin. Ralin menghentikan kudanya mendadak lalu menoleh pada komandan peletonnya dengan tatapan serius. “Lalu di mana markas mereka?” tanya Ralin menantang. Komandan peleton membisu seketika. Mulut menganganya mengatup spontan.             “Tak ada yang tahu di mana markas Benang Merah. Siapa yang menjamin kalau ternyata mereka bersembunyi di dalam ibu kota?” lanjut Ralin. Sorot matanya semakin sinis dan menyindir tajam. Dia kembali menatap lurus ke depan, bersiap memacu kudanya lagi sementara lima puluh prajurit yang berlari di belakangnya sudah mulai berpencar sesuai pembagian kelompok mereka.             “Jangan lagi mempertanyakan keputusanku atau kau keluar,” tegas Ralin memperingatkan.             “Siap, jenderal!” jawab komandan dengan tegas. Ralin kembali memacu kudanya mengambil jalan lurus ke depan sementara komandan peleton berbelok ke kiri. Wanita itu menyusul pasukannya yang sudah jauh di depan sementara Angkasa sudah tak terlihat lagi. ------------------ Kembali ke waktu sekarang.             “Kalian tidak bisa kabur sekarang,” seru Angkasa pelan. Pedang panjang sudah terhunus di tangan kanannya, sementara yang kiri masih menggenggam erat sarung pedangnya. Sekalipun membelakangi kedatangan Ralin, Angkasa lebih fokus mewaspadai wanita itu daripada dua remaja sok tangguh yang kini menyita waktunya. Kenapa juga dua orang di hadapannya ini harus muncul di waktu yang sangat tidak tepat? Ditambah lagi mereka sedikit paham soal bela diri. “Mereka masih mampu menghindari dan menangkis seranganku,” batin Angkasa kesal.             “Kenapa kami tidak bisa? Kau yang tidak bisa. Pasukan kerajaan sudah mengepungmu!” seru Naviza lantang. Dia eratkan genggaman pedangnya sambil menguatkan kuda-kuda kakinya. Talana masih meremas luka lengannya dan berdiri di samping Naviza.             “Balut lukamu, Lan. Situasinya tidak bagus,” ucap pelan Naviza. Talana mengangguk. Dia mundur sedikit lalu menggigit ujung bawah jubahnya untuk menyobeknya melintang. Dia lilitkan kain panjang itu ke sayatan lengannya yang paling parah. Lalu menyobek lagi ujung bawah jubahnya untuk membalut luka di pahanya yang dua kali lebih dalam dibanding lengannya. Dengan langkah tertatih, Talana menyabet senjata  yang tergeletak di tanah, sebuah pedang yang tak terlalu panjang, tak terlalu bagus untuk seorang pendekar sepertinya, tapi itu lebih baik daripada tanpa senjata sama sekali. Ralin tiba. Sisa peleton mengepung mereka bertiga dengan Ralin ada tepat di tengah-tengah pasukannya. Pelan, dia menuntun kudanya maju mendekati Angkasa dengan wajah yang serius penuh kemarahan. Angkasa terpaksa membalik badannya, menghadap Ralin yang kini tepat berdiri di hadapannya.             “Kau yang memaksaku bertindak sejauh ini, Angkasa,” sapa Ralin dingin. Angkasa memasang wajah sama dinginnya. Tak ada senyum di wajahnya. Air muka mereka sama-sama seriusnya. Begitu pun dengan seluruh prajurit yang ada di lokasi itu. semuanya dalam posisi siap menyerang. Pedang mereka terhunus ke depan dan panah-panah sudah membidik Angkasa. Untuk pertama kalinya Naviza dan Talana menghadapi situasi mencekam senyata ini. Satu peleton pasukan mengepung mereka dengan senjata siap bidik.             “Kenapa harus hari ini?” gerutu Naviza. “Kenapa harus di hari penting persiapan turnamenku?”             “Permisi!” seru Naviza lantang, tiba-tiba. Seruannya memecah kebekuan antara Angkasa dengan Ralin. Sekaligus sedikit mengendorkan kesiagaan separuh pasukan Ralin. Ralin menengok Naviza sekilas lalu kembali fokus pada Angkasa.             “Bolehkah kami pergi sekarang?” pinta Naviza polos.             “Kau bodoh, Nav?” bentak Talana dengan berbisik.             “Kita tetap harus datang ke seleksi turnamen. Lebih bodoh kalau tetap bertahan di sini dan terjebak pada masalah yang tak mampu kita tangani,” jawab Naviza berbisik. “Masa bodoh dengan prinsip kehormatanmu, Lan!” imbuhnya.             “Tap—“ bantahan Talana terpotong.             “Tidak bisa,” jawab Ralin tegas. Naviza melotot tak terima. “Kenapa?” tanyanya lugu.             “Apa aku bodoh membiarkan seorang kaki tangan pergi begitu saja?” sarkas Ralin. Naviza maju dengan langkah cepat dan tegas menghampiri Ralin, tapi seorang komandan peleton menghalanginya.             “Kau punya bukti?” tantang Naviza tidak terima.             “Kalian masih hidup sampai sekarang sudah cukup menjadi bukti,” jawab Ralin ringan tanpa beban. Konsentrasinya masih terpaku pada Angkasa. Mereka berdua dalam posisi siap bertarung detik kapanpun. Ralin menarik napas panjang lalu menghembuskannya seketika. Dia melirik Naviza yang berdiri agak jauh di belakang Angkasa. Perempuan itu tak terima dengan penjelasannya. Ralin memperhatikan gaya pakaian yang khas yang dikenakan Naviza dan Talana. Dia tahu itu adalah mode seragam sekolah tinggi yang berarti dua orang ini adalah mahasiswa di sana. Sebetulnya satu fakta itu saja sudah cukup untuk menggugurkan kecurigaan Ralin pada mereka, tapi, jika ini berhubungan dengan Angkasa dan Benang Merahnya, dia tak ingin mengabaikan satu fakta sekecil apapun. Angkasa bukan penjahat kelas teri yang mudah ditangkap dan ditindak. Bisa menemukan dia seperti ini saja sudah menjadi pencapaian luar biasa untuk dirinya, juga untuk segenap militer Zakaffa. Laki-laki itu sangat sulit ditangkap bayangannya.             “Sampai kapan kita membuang waktu seperti ini?” tanya Angkasa. “Kau mau bersenang-senang denganku? Baik, akan kulayani. Sebagai balasannya, bebaskan mereka,” lanjut Angkasa mengajukan kesepakatan.             “Sejak kapan seorang penjahat berbelas kasih seperti itu? Mereka bebas atau tidak, sedikit pun tidak menguntungkanmu, Angkasa!” bantah Ralin superior. Angkasa menghela napas panjang nan berat. Roman wajahnya jadi kesal. “Inilah kenapa aku membenci negeri ini. Kalian buta kekuasaan. Rakyat sendiri pun dicurigai pengkhianat. Sampai kapan kalian akan terus begini? Menunggu kami mengambil alih pemerintahan?”             “Hya!” bentak Ralin marah bersamaan dengan tebasan pedangnya yang spontan membelah jarak mereka berdua. Angkasa melompat mundur, menjaga jarak dengan Ralin lalu mereka berdua saling berlari menyerang lagi. Adu pedang, tinju, tendangan dan tangkisan berpadu dalam serangan-serangan cepat 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD