Pemanasan Sebelum Hidangan Utama

2118 Words
. Pada detik yang sama, para prajurit peleton yang dibawa Ralin ikut menyerbu. Tak kurang dari lima puluh orang itu maju bergantian. Mereka menarget Naviza dan Talana yang sudah dicap sebagai kaki tangan oleh jenderal mereka.             “Ini benar-benar salah!” dengus Naviza kesal level tertinggi. Dia menoleh pada Talana, saling memberi kode untuk mengambil posisi dimana mereka bisa saling melindungi. Naviza bertarung di sisi kanan dan Talana sebaliknya, di sebelah kiri. Mereka berdua terpaksa harus angkat senjata lagi untuk melindungi diri dari pertempuran tak terduga ini. Sungguh kesialan yang hakiki. Kenapa mereka harus bertemu orang-orang ini di tempat dan waktu yang salah?             “Nav! Kita harus segera keluar dari sini!” seru Talana ketika mereka bisa saling menyapa punggung.             “Aku tahu.” Netra Naviza tak hentinya waspada pada semua gerakan-gerakan terkecil sekalipun dari lima pria yang kini mengepung mereka. Dia memeriksa sekilas kondisi pedangnya. Salah satu sisinya sudah bergerigi tak rata, beberapa retakan halus sudah terlihat mata apalagi bekas-bekas darah yang masih menempel di sana semakin memperjelas betapa banyak retakan halus yang seperti akar serabut itu. Pedang ini tak akan berumur panjang. Sekali tabrakan keras pasti sudah remuk, bukan hanya patah jadi dua tapi akan jadi berkeping-keping banyaknya. “Aku harus cari pedang baru,” ucap Naviza pada Talana pelan. Talana memberikan pedang yang ia pegang pada Naviza. “Pakai itu,” pintanya. Setelah Naviza menerima pedangnya, Talana memberi aba-aba agar mereka maju menyerang bersamaan. Talana menarget satu prajurit yang berpedang. Dia sangkal tangannya, lalu memelintirnya dan mematahkan sendinya ke belakang. Talana memungut pedangnya yang terbuang lalu menikam d**a prajurit lain yang menyerangnya dari belakang. Kemudian dia melompati pundak prajurit itu untuk kemudian terjun ke bawah dengan tendangan ke kepala musuh lainnya. Tiga orang mati sekaligus. Talana berlari ke tempat Naviza yang terkepung lima prajurit. Dia memecah kepungan mereka dengan menyabet tungkai dua musuh dari belakang, ditambah dengan tikaman cepat di leher mereka. Talana kembali bergabung dengan Naviza di pusat lingkaran itu.             “Berapa yang kau pungut?” tanya Naviza. “Milikku hampir remuk,” imbuhnya. Talana menunjukkan tiga pedang dalam genggamannya. Dengan ukuran yang bervariasi namun kualitas yang sama. Ketiganya kotor, berlumur darah dan tidak dalam kondisi prima. “Butuh berapa?” tanya Talana.             “Berikan dua untukku,” pinta Naviza. Talana melempar dua pedang pada Naviza, sementara ia bertahan dengan satu yang terakhir. Perjalanan mereka masih panjang untuk keluar dari situasi serba merugikan ini. Bagaimana bisa mereka berubah jadi kaki tangan hanya dalam beberapa menit pertemuan tak disengaja? Naviza hampir tak melihat garis paling belakang dari kepungan ini. Mereka berlapis-lapis, seperti tak bisa habis. Lima dikalahkan, tumbuh lagi sepuluh. Apalagi di gang sempit yang hanya selebar dua setengah meter ini, orang-orang berseragam militer ini tampak berjubel ria. Naviza mengepaskan gagang pedangnya pada posisi genggaman paling nyaman dan kokoh. Dia silangkan kedua tangannya sejajar dengan wajahnya, sementara netranya terus waspada pada setiap pergerakan di depan dan samping kanan dan kirinya. Pertahanan belakang ia percayakan pada Talana yang kini punggung mereka saling bertemu. Ini pertahanan terbaik dalam posisi terkepung dengan kalah jumlah.             “Hei, Lan,” panggil Naviza pelan.             “Kau sudah menyusun rencana?” tanya Talana antusias.             “Sederhana saja dan bukan sesuatu yang luar biasa. Tapi kita harus melakukannya sekaligus.” Naviza menoleh pada Talana mengecek responnya.             “Apapun rencanamu, aku percaya!” jawab Talana yakin.             “Kau masih menyimpan sisa bom hasil ujian?” tanya Naviza serius dengan suara berbisik. Talana mengangguk yakin. Lalu Naviza membalas anggukan juga.             “Lakukan dengan cepat. Oke?” Naviza memberi kode, pada hitungan pertama, Naviza maju menerjang kepungan prajurit. Dia maksimalkan dua pedangnya untuk melakukan serangan-serangan taktis yang lebih efisien. Satu dua gerakan yang lebih praktis. Dia tangkis senjata lawan dengan pedang di kiri lalu menikam lehernya dengan pedang kanan. Begitu seterusnya dan terkadang sebaliknya. Dia melompat tinggi, berguling di udara menghindari serangan mereka, lalu mendarat mulus dan melakukan kayang untuk menyerang bagian-bagian vital lawan. Dia remas leher seorang prajurit lalu melemparnya menindih barisan prajurit baru yang datang seperti melempar bola bowling. Naviza menyerang dengan sangat menarik perhatian mereka semua. Hingga semua orang lupa bahwa ada Talana yang mereka lupakan. Lalu tiba-tiba bunyi debam ledakan menulikan semua orang. Ledakan singkat yang cukup kuat memberi efek bunyi ‘ngiiiing’ yang menyakitkan gendang telinga. Semua orang membeku, serempak menutup telinga dengan kedua telapak tangan sekaligus. Tiba-tiba semua prajurit itu roboh satu per satu dengan wajah menahan sakitnya perih gendang yang mungkin robek. Semua mendadak seperti orang tuli. Suara-suara menghilang sempurna. Mereka sempoyongan kehilangan keseimbangan untuk sekedar berdiri dan menopang tubuh.  Begitu pun dengan Naviza. Ia juga merasakan kesakitan yang sama, tapi tak separah mereka. Dua bulatan kain kecil menyumpal kedua lubang telinganya sebelum ledakan itu terjadi. Meski begitu, dia tetap pusing dan pandangannya bergerak-gerak tak seimbang. Kepalanya terasa berat dan pusing tiada tara. Pandangannya berputar-putar, bergerak-gerak pelan seperti air yang digoncangkan dalam bejana. Dua detik berikutnya, asap putih menguar di udara. Segalanya jadi putih. Benar-benar putih berkabut dengan bau yang teramat tak sedap. Seperti bau mesiu namun lebih menyengat dan menjijikkan. Bau amis ikan yang tak lagi segar. Bau buah yang membusuk dan makanan basi bercampur jadi satu. Sungguh memualkan. Naviza ingin muntah sekalipun sudah ia tutup rapat-rapat hidungnya. Kini kepalanya benar-benar pening, dorongan udara bergulung-gulung mencuat lewat pangkal kerongkongannya. Memaksa keluar seluruh yang ada di saluran panjang yang sakral itu. Tapi tak ada apapun yang bisa ia muntahkan.             “Ayo!” seru Talana. Laki-laki itu muncul misterius dari arah yang tak Naviza sadari. Dia menggenggam pergelangan tangannya lalu menariknya mengikuti dia pergi. Di tengah kalutnya semua prajurit yang menderita mual dan kerusakan gendang telinga—mungkin—Talana berlari membelah kerumunan para pesakitan akibat bom ciptaannya. Dia sudah melindungi gendang telinganya dan melilitkan jubahnya ke leher hingga menutup hidungnya. Naviza mengikuti langkah Talana sambil melepas jubahnya dan memasangnya menjadi masker sekaligus syal. Perhatiannya terfokus untuk memastikan hidungnya menghirup seminimal mungkin bau menjijikkan yang menguasai tempat ini hingga ia lupa melihat jalan depan yang sepenuhnya putih oleh asap. Dia hanya mengandalkan tangan Talana yang terus menggandengnya. Hingga dia tersandung. Naviza menabrak seorang prajurit yang tengkurap pingsan. Dia terjerembap ke depan. Pegangannya dengan Talana terlepas ketika semua masih putih pekat. Lututnya terasa basah dan sedikit perih.             “Mana Talana?” batinnya sambil menyapu seluruh sudut putih itu dengan penglihatan terbaiknya. Bahkan asap yang sudah berangsur menipis ini masih tak membantunya menemukan Talana. DEG. Seseorang memegang kedua lengannya dan membantunya berdiri dari belakang. Tangannya terasa lebar dan kokoh, tangan seorang laki-laki. Belum sempat Naviza menoleh, laki-laki itu menggandeng tangannya lalu mengajaknya pergi.             “Tidak ada waktu. Ayo!” ajak laki-laki itu. Naviza terbelalak begitu mengidentifikasi siapa yang datang membantunya berdiri yang kini tengah menariknya keluar entah ke arah mana. Seseorang yang beberapa menit lalu, bahkan saat ini, adalah musuhnya. Seseorang yang diburu oleh jenderal wanita dari istana hingga mengepung dengan satu peleton lengkap. Seseorang yang membuat dirinya dan Talana harus terjebak dalam masalah ini. Seseorang yang namanya ia tahu dari panggilan yang diucapkan jenderal wanita itu.             “Angkasa?” pekik Naviza tanpa suara. ---------------------------- Naviza berusaha membebaskan dirinya dari gandengan tangan Angkasa. Tapi tangan itu erat sekali mencengkeram pergelangan tangan Naviza. Mereka masih terus berlari memecah jarak pandang yang benar-benar pendek. Bahkan tiga meter ke depan saja tak bisa terlihat. Naviza masih merasakan mual tak berkesudahan sekalipun hidungnya sudah terlindungi jubah. Tenaga dan perhatiannya kini terbelah antara benar-benar ingin melepaskan diri dari Angkasa dengan berusaha melindungi penciumannya dari bau menjijikkan ini. Dia ingin segera keluar dari petaka ini dan Angkasa menjadi satu-satunya jalan keluar yang ada saat ini. Pikirannya kacau, pusing melanda tak tertahankan. Efek bau ini benar-benar kuat.             “Sial, Kau membuat bom ini terlalu mematikan, Lan,” umpat Naviza pada dirinya sendiri. Dia ingin memaki Talana nanti, setelah semua ini selesai. Dorongan mual dari dalam perut tak bisa ia tahan lagi. Naviza berganti menahan tangan Angkasa agar berhenti menunggunya sementara ia terpaksa harus muntah. Angkasa tak balik badan meskipun ia tetap berhenti menunggu. “Ayo,” ajaknya mendesak. “Sekarang atau aku pergi,” desaknya lagi. Naviza tak menggubrisnya. Kepalanya terasa panas, ada aliran darah yang dipompa kuat menuju pembuluh-pembuluh darah besar di otaknya. Tenggorokannya seperti tertarik, ikut panas, tapi kering. Otot-otot menyembul keluar kulit pelipis dan leher. Tapi tak ada yang keluar.             “Semakin lama kau di sini, kita berdua akan tertangkap!” ancam Angkasa. Naviza lekas berdiri tanpa melepaskan tangan Angkasa. Dia tak lagi peduli sebuah fakta bahwa tangan yang ia pegang milik seorang penjahat yang diburu kerajaan. Sebuah opini jika ia menggenggam tangan itu akan menjadikannya seorang penjahat juga, kaki tangan. Sejenak, Naviza tak peduli. Apalagi Talana yang tiba-tiba menghilang setelah tangan mereka terlepas. Naviza berjalan lebih dulu untuk memberi jawaban pada Angkasa, dia siap pergi. Angkasa malah mendekat pada Naviza dengan jari telunjuk menutup bibirnya. Dia sengaja memangkas jarak di antara mereka agar tak ada kabut yang menghalangi isyarat yang ia perintahkan agar Naviza tidak bersuara. Naviza mengangguk paham. Angkasa melangkah pelan nan hati-hati bahkan berusaha tak menghasilkan suara di tengah kegelapan kabut asap putih pekat ini. Dia melihat bayangan Ralin lewat siluet penampilannya yang terpantul cahaya. Rambut lurus panjang terikat satu di belakang yang berkibar tertiup angin pelan, pakaian zirahnya yang fit di tubuh rampingnya yang tinggi dan, seseorang dalam sanderanya. Angkasa dan Naviza saling menatap siaga. Wajah Naviza cemas. Dia menangkap siluet Talana dalam genggaman Ralin. Namun Angkasa menggeleng tegas. Laki-laki itu memberi tatapan dingin yang sangat menekan: Jangan berbuat apapun. Bahkan ia meremas pergelangan tangan Naviza lebih kuat lagi.             “Serahkan dirimu atau anak ini mati sebagai kaki tanganmu!” seru Ralin marah. Naviza melotot pada Angkasa. Dia menahan diri tidak berteriak membalas ancaman Ralin, tapi rasanya amarah dalam lubuk hati harus disalurkan sekarang juga. Dia hanya mendapat tatapan larangan dari Angkasa. Agak lama, Ralin tak lagi mengirimkan sinyal suara. Bayangannya tetap berada di tempatnya.             “Sial,” umpat Angkasa. Laki-laki itu segera menarik Naviza berlari menjauh dari lokasi bayangan Ralin terlihat. Kabut asap makin menipis, jarak pandang semakin terbuka, dan ini berbahaya. Kesempatan untuk kabur segera habis. Angkasa terus menyeret Naviza berlari mengekor di belakangnya tanpa mengindahkan penolakan perempuan itu.             “Kita terkecoh! Ini jebakan!” tegas Angkasa sambil berlari.             “Maksudmu yang tadi hanya mengalihkan perhatian kita sementara mereka bersiap di tempat lain untuk menyergap?” jelas Naviza. “Lalu kau yakin kita tidak sedang menuju ke jebakan mereka?” tanya Naviza. Naviza tak menunggu jawaban Angkasa. sambil berlari itu, pandangannya beberapa kali menoleh ke belakang. Dia masih mencari Talana yang misterius hilang tak berjejak. Kemana laki-laki itu pergi meninggalkan dirinya? Berani sekali dia? Rasa jengkel tiba-tiba menyurup ke lubuk hatinya. Tega sekali Talana meninggalkan dia bersama penjahat ini? Naviza kembali menghadap ke depan. Belum sempat ia menajamkan penglihatannya, Angkasa menariknya berbelok mendadak ke kiri. Ketika Naviza menengok ke kanan, di depan sana terlihat bayangan barikade kepungan yang berjajar rapat. Napas Naviza sempat tercekat sebentar. Dia terus berlari menyamakan kecepatan dengan Angkasa. Napasnya ikut diburu, jantungnya berdebar cepat sekali dan keringat-keringat mulai mengucur di seluruh tubuhnya. Bau-bau menjijikkan mulai pudar. Benarkah itu pudar atau dirinya yang tak lagi fokus membaui? Karena kini seluruh perhatiannya tersedot untuk panik dan waspada. Seluruh bau busuk yang bercampur-campur tadi hanya jadi angin lewat yang beberapa detik menyesakkan dadanya. Sementara kini asap kabut benar-benar sudah menghilang.             “Angkasa!” teriak Ralin melengking dari belakang. Angkasa tak menoleh sama sekali. Dia terus berlari dan menggenggam tangan Naviza semakin erat.             “Jangan lepaskan tanganku kalau ingin selamat,” tegas Angkasa pada Naviza dengan tatapan dingin yang serius. Naviza bergeming. Dia kehabisan ide soal ini. Ucapan Angkasa sangat bertentangan dengan keyakinannya. Bagaimana ceritanya seorang penjahat justru menjamin keselamatannya? Sama sekali tidak ada. Tapi, mempertimbangkan situasi ini, dirinya juga tak bisa berkutik. Talana menghilang, dia seorang diri, melawan satu peleton profesional pasukan istana? Mustahil! Satu pertanyaan yang gatal ia cari tahu jawabannya, kenapa dia harus ikut lari dan kabur jika dirinya tidak bersalah? Kenapa dia harus menuruti penjahat buruan pasukan istana dan justru menempatkan diri sendiri dalam bahaya yang lebih besar? Naviza tak bisa memecahkan pertanyaan-pertanyaan ini. Angkasa mengajaknya masuk ke gang yang lebih kecil. Mereka berbelok ke kanan, mengambil jalan yang lebih sepi. Terus berlari sementara debam sepatu lars para prajurit samar-samar mulai mendekat.             “Bisa lepaskan tanganku?” pinta Naviza. “Aku tidak akan kabur,” imbuhnya pelan dengan suara tak bertenaga. Angkasa tidak memelankan langkahnya, dia menatap Naviza sebentar lalu memeriksa keadaan di belakang yang masih kosong. Mereka masuk ke gang yang lebih sempit lagi. Bukan jalan umum, lebih seperti sisa tanah untuk jalan pribadi di belakang rumah pemilik tanah. Medannya sempit sekali, tanahnya bebatuan tumpul namun tak rata dan barang-barang pemilik rumah yang menumpuk tak beraturan di dinding-dinding belakang mereka. Baik Angkasa maupun Naviza terpaksa melambatkan langkah mereka, tak bisa berjalan cepat apalagi berlari. Sesekali harus berjalan miring, menunduk dan melompati perkakas yang berantakan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD