Menantang Jenderal

2084 Words
. Di tempat yang lebih luas, Angkasa berhenti. Dia melepaskan tangan Naviza dengan mata penasaran.             “Aku terlambat menemukan jawabannya. Terima kasih telah manarikku masuk dalam kekacauan ini. Kau tidak menyelamatkanku, tapi menjadikanku sandera. Apa aku salah?” sergah Naviza pelan. Angkasa masih mengatur napasnya dalam diam. Ada tatapan keberatan, namun tak ia tunjukkan.             “Talana tidak menghilang. Mungkin mereka sudah menyelamatkannya darimu. Ini karena aku terlalu lamban menyadari semua tipu muslihatmu, terima kasih memberiku pelajaran berharga,” ucap Naviza sinis. Angkasa masih bergeming. Bibirnya masih rapat tak ada tanda-tanda ingin membantah. Namun dari sorot matanya, dia menyesalkan kesimpulan Naviza.             “Baiklah,” jawab Angkasa dingin. “Kita berpisah di sini.” Angkasa pergi. Dia melompat zig zag memanjat dinding hingga sampai ke genting, berlari dari satu ujung genting lalu melompat ke genting lainnya dan menghilang dari pandangan Naviza. Angkasa meninggalkannya semudah itu. Dia setuju secepat itu? Naviza justru kaget dengan ini. Dia kira akan ada perdebatan panjang bahkan mungkin percekcokan fisik jika harus. Dia kira laki-laki itu akan menahannya atau membela dirinya atau juga menyangkal bahkan mungkin membenarkan kesimpulannya. Tapi dia tidak berkomentar apapun. Ekspresinya pun terlihat netral saja seperti tak terganggu apapun. Dan anehnya, ini justru lebih mencurigakan. Gang sempit itu kembali tenang. Naviza tak mendengar derap langkah para prajurit yang mendekat ataupun tanda-tanda kehadiran orang lain di tempat ini. Rumah-rumah ini pun juga sangat sepi seperti tak berpenghuni. Naviza masih berdiri di sana, ia mendongak ke langit, menatap birunya angkasa yang bersih dari awan, menghirup sedalam-dalamnya udara bersih yang akhirnya bebas dari bau menjijikkan. lalu kembali fokus mencari jalan untuk keluar dari tempat ini. Dia putuskan menyusuri jalan itu, tidak mengikuti jejak Angkasa yang pergi lewat atas. dengan langkah-langkah kecil yang cepat, Naviza mencapai ujung jalan. Dia berhenti sebentar, memeriksa keadaaan di jalanan besar.             “Lengang. Kemana mereka?” ucapnya pelan. Dia melangkah ke pinggiran jalan sambil waspada memperhatikan segala arah, sambil berharap dia menemukan Talana lagi. Matahari sudah makin tinggi, bayangan tubuhnya makin pendek dan pagi berganti jadi siang. Sudah terlambat untuk datang ke sekolah. Belum lagi dengan pakaiannya yang kini jadi kotor dan berantakan. Ditambah dengan bom menjijikkan buatan Talana yang pasti masih menempel di seluruh tubuhnya dari ujung rambut sampai kaki. Dia mengendus lengannya, bau anyir dan busuk yang berpadu jadi satu benar-benar menciptakan kolaborasi bau yang luar biasa. Dia muntah lagi. Wajahnya memerah. Baru beberapa detik ia menyandar ke dinding bangunan terdekat, barisan terdepan prajurit pengejar muncul dari belokan jalan. Mereka berlari, datang dalam formasi dua baris dengan Ralin memimpin langsung di barisan paling depan. Jarak mereka tak lebih dari seratus meter dari posisi Naviza berhenti sekarang.             “Haruskah aku sembunyi?” batin Naviza. “Untuk apa?” jawabnya sendiri. Dia bukan penjahat. Ini hanya kebetulan yang merugikan. Setidaknya keyakinan itu yang ia pertahankan. Ia tegakkan punggungnya, dengan wajah menunggu kedatangan pasukan itu seolah mereka adalah penyelamat yang ia nanti-nantikan. Ia lambaikan tangannya memberitahu keberadaannya, meminta mereka datang menjemputnya. Dirinya adalah korban dan mereka harus menyelamatkannya. Setelah itu semua akan berakhir. Kecelakaan ini. Setidaknya semua pikiran positif itu memenuhi benaknya. Ralin hampir sampai ketika seluruh pasukan yang tersisa sudah mengepung Naviza.             “Tangkap dia! Sisanya kejar Angkasa!” perintah Ralin tanpa menghentikan kudanya. Naviza tercengang. Kenapa begini? Dia tak mendapatkan apa yang dia pikirkan. Dua prajurit mengunci tangannya ke belakang lalu menjegal lututnya, sedangkan ada enam orang yang melingkari berjaga.             “Kenapa menangkapku?” protes Naviza berteriak sekencang mungkin. Ralin memutar balik kudanya lalu berhenti. “Kalau kau benar mahasiswa sekolah paling bergengsi di negeri ini, seharusnya kau tak sebodoh ini. Kau membantu pria itu kabur,” jawab Ralin. Dia menendang perut kudanya lalu berbalik arah lagi untuk pergi.             “Talana! Dimana temanku?” teriak Naviza lagi.             “Kami sudah mengamankannya. Tenang saja, kau akan segera bertemu dengannya,” jawab Ralin datar. Dia berhenti lagi.             “Kau menyelamatkan… atau menangkapnya?” tanya Naviza lagi. Kali ini suaranya begitu serius dengan penekanan yang kuat. Sorot matanya pun berubah. Ralin menyipitkan matanya sinis. Tanpa menghiraukan Naviza, ia memutar arah kudanya lalu pergi lagi. Naviza menghela napas berat sekali. “Jadi aku salah,” gumamnya kesal. Naviza menoleh bergantian pada dua pria yang mengunci tangannya. Lalu mengedarkan pandangnya memeriksa sekilas sekitar. Setelah satu tarikan napas lagi, Naviza melakukan roll atas ke belakang dan balik memelintir tangan kedua pria tadi. Dia mendarat sambil menendang tengkuk kepala mereka. Naviza bertolak lagi dengan bertumpu pada punggung prajurit yang menguncinya, menerjang enam prajurit lain yang mengepungnya. Pertarungan jarak dekat lebih menguntungkan untuk dia yang tanpa senjata. Variasi tinjuan dan tendangan dalam tempo yang cepat membuat Naviza unggul. Dalam hitungan detik, dia menang.             “Jenderal!” teriak Naviza memanggil Ralin yang jaraknya masih dua ratus meter di depannya. Suaranya keras melengking pada oktaf tinggi. Dia tak bisa mengalah lagi. Kali ini pikirannya benar-benar jernih. Bukan untuk menurut tunduk patuh dan pasrah begitu saja, tapi untuk membela haknya sendiri. Hak untuk bebas. Dirinya tidak bersalah, lalu kenapa harus ditangkap dan diperlakukan seperti penjahat? Siapa Angkasa sehingga dia harus membantunya kabur? Itu semua tidak masuk akal. Terlebih dengan kepastian bahwa Talana tidak menghilang begitu saja. Laki-laki itu mereka tangkap. Sikap Ralin, sang jenderal wanita itu memberinya alasan pasti kenapa dia harus melawan kali ini. Naviza sudah memegang alasan itu, dia tak bisa menjadi orang apatis yang diperlakukan semena-mena lagi. Ralin berhenti. Dia menoleh dengan tatapan tersinggung. Sementara Ralin berhenti itu, Naviza berjalan cepat menghampirinya. Langkah yang lebar dengan intensitas tinggi itu lama kelamaan menjadi lari dan terus bertambah cepat hingga ia berhasil memangkas jarak menyisahkan lima meter saja dari Ralin. Naviza menghunus pedangnya ke arah samping lalu melompat tinggi dengan bertolak pada p****t kuda Ralin sambil mengacungkan pedangnya membentuk sudut empat lima derajat. Ralin terbelalak dalam ketidaksiapan. Dia panik dan segera berguling turun dari kuda untuk menghindar. Naviza menghempas angin, dia berhenti dengan berdiri di atas kuda Ralin sementara Ralin masih jongkok di tanah setelah berguling mendadak. Dalam posisi saling memberi jeda itu, sekitar dua puluh prajurit yang tadinya sudah berlari jauh di depan, sebagian kembali untuk membantu Ralin dan sisanya melanjutkan tugas pencarian mereka.             “Lanjutkan tugas kalian!” cegah Ralin sambil berteriak melarang orang-orangnya mendekat. Dia berdiri lagi, merapikan pakaiannya yang kusut dan terlipat. Dengan tatapan membara, Ralin melihat Naviza sangat sinis. Naviza melompat turun tepat di hadapan Ralin.             “Kau yakin siap menanggung konsekuensinya?” tanya Ralin angkuh.             “Kau yang mendorongku sampai pada titik ini. Aku harus menyelamatkan temanku,” jawab Naviza lantang dan percaya diri.             “Dengan membahayakan diri sendiri? Baik, terserah, aku tidak peduli. Tapi ingat satu hal, aku tidak akan mengalah bahkan pada mahasiswa sepertimu,” jawab Ralin.             “Bagaimana jika aku menang?” tanya Naviza. Ralin bungkam. Wajahnya makin tersinggung. Apakah ada peluang dirinya kalah hanya dari seorang mahasiswa? Mungkinkah itu terjadi? Siapapun perempuan di hadapannya yang menantang dirinya ini, dia tak akan pernah mendapat pengampunan darinya.              “Bebaskan aku dan Talana dari semua tuduhan,” pinta Naviza.             “Kau ingin bernegosiasi?”             “Tidak. Ini permintaan,” bantah Naviza. “Kau tahu kami hanya tidak sengaja terlibat. Talana dan aku memang melewati gang itu setiap hari untuk memotong rute ke sekolahan. Dan kebetulan saja hari ini kami bernasib sial.” Ralin tak sepenuhnya setuju. Dia tertawa geli mendengar pembelaan Naviza lalu mencabut pedang dari sarungnya pada detik yang sama. “Kau berharap aku percaya cerita karanganmu?” balasnya santai. Lalu dia mengambil ancang-ancang, dia lebarkan kedua kakinya membentuka kuda-kuda yang kokoh dengan menghunus pedangnya ke depan. “Kau ingin bertarung? Kau harus membayar mahal atas waktuku yang berharga!” seru Ralin bersamaan dengan langkah drastisnya melompat tinggi sambil menebas pedangnya menyerang Naviza. Naviza melintangkan pedangnya horizontal menahan gempuran kuat pedang Ralin yang vertikal menukik ke bawah. Tangan kirinya menahan punggung ujung pedang sementara tatapan mereka saling bertemu dalam jarak sedekat itu sekarang. keduanya tak hanya menyerang secara fisik saja, namun juga menekan mental dengan intimidasi emosional. Naviza memutus kontak dengan mendorong pedang Ralin menjauh. Mereka saling mundur menjaga jarak sebentar lalu bertolak lagi saling menyerang. Ralin masih terus menyerang. Tebasan demi tebasan pedangnya, dari yang melintang, membujur, menyilang, semua gerakan-gerakan taktis yang cepat dan sulit diprediksi itu terus ditahan Naviza tanpa menghindarinya. Naviza melakukan gerakan tangkisan yang tepat dengan kecepatan yang sama dengan serangan Ralin. Bunyi benturan dua besi dengan kualitas yang berbeda itu terus menerus terdengar dalam jeda yang relatif singkat. Netra Naviza terus mewaspadai setiap pergerakan kecil yang dibuat Ralin, mulai dari gerakan jari, tangan, kaki, hingga mata Ralin. Semuanya harus ia perhatikan dengan seksama untuk kemudian mempredikisi variasi serangan berikutnya. Naviza tak terlihaat kewalahan sedikit pun meski dia sangat tegang. Adu pedang kembali terjadi. dua mata pedang mereka saling menggigit, terus bergesekan dengan sangat cepat yang penuh tenaga. Percikan-percikan api tak jarang terjadi. Panas. Kini posisi mereka kembali tak berjarak. Naviza menahan pedang Ralin yang hampir menyentuh bahu kirinya. Dia merasakan kekuatan Ralin yang luar biasa ikut mengalir dalam pedangnya. Dia melihat tatapan wanita itu penuh dengan aura negatif yang sangat ingin melenyapkannya.             “Siapa yang sedang kuhadapi sekarang ini?” batin Naviza. Tubuh Naviza semakin terdorong ke belakang karena kekuatan Ralin yang semakin bertambah. Mata pedang sang jenderal sangat tajam. Pedang rampasan yang dipakai Naviza mulai bergerigi karena tak mampu menahan pedang Ralin yang kualitasnya pasti lebih baik, apalagi serangan wanita itu sangat kuat. Retakan-retakan halus mulai menjalar dari titik benturan pedang mereka. Gawat! Lutut Naviza hampir menyentuk tanah sementara pedang Ralin berhasil menggores bahu kiri Naviza. Pakaiannya mulai merah. Darah merembes cepat. Naviza mulai meringis menyembunyikan rasa perih bahunya. Ralin makin menekan pedangnya sampai berhasil menembus kulit Naviza lebih dalam.             “Kau tidak kesakitan?” ejek Ralin. “Keluarkan saja. Aku tahu pundakmu pasti terasa sangat perih hingga kau teramat marah karena tak mampu melawan balik. Ini waktunya kau sadar posisimu!” Naviza melirik bahu kirinya. Panas sekali rasanya, perih yang terus menjalar tiap kali mata pedang Ralin menembus lebih dalam. Kedua tangannya mulai mati rasa menahan beban kekuatan Ralin yang terlampau besar untuknya. Tapi jika ia lepaskan, pedang itu akan mengiris hingga ke persendian dan otot bahunya. Dia bisa kehilangan kemampuan gerak tangan kirinya. Cacat seumur hidup? Bayangan itu lebih mengerikan ketimbang sakit yang ia rasakan sekarang. Sementara bunyi ‘kretek’ terdengar samar sekali bersamaan dengan retakan-retakan yang makin besar. Sampai kapan pedang itu mampu menahan gempuran Ralin? Naviza menghirup napas panjang sekali. Ia pejamkan matanya, mengumpulkan konsentrasinya kemudian menambah kekuatan tangannya. Ia dorong pedangnya ke atas dengan sepenuh tenaga. Perlahan, pinggiran pedang Ralin terangkat dari permukaan kulitnya.             “Hyaaaa!” pekik Naviza keras sekuat tenaga sambil mendorong pedang Ralin menjauh. Lututnya berhasil terangkat, tak lagi menekan ke tanah untuk menahan beban tubuhnya yang tertekan. Naviza mulai bisa mengendalikan keadaan. Dia harus bisa menangkis serangan ini sebelum pedangnya hancur.             “Ah, kau belum menyerah?” ejek Ralin. Dia kecewa sekaligus tertantang. Ralin menambah kekuatannya. Naviza terpojok lagi. Lututnya kembali turun menyentuh tanah dan pedangnya semakin bergetar mengkhawatirkan. “Dia tak bisa bertahan lagi,” batin Naviza melihat keadaan pedangnya. Sekali lagi, Ralin menekan. Pedang Naviza patah remuk berkeping! Naviza memejam spontan dan segera berguling ke samping sambil menjegal kaki Ralin. Dia harus menghindar tepat saat Pedangnya hancur sekaligus membuat Ralin jatuh. Serpihan logam pedang semburat ke tanah. Satu pecahan kecil menancap ke telapak tangan Ralin saat tangannya menumpu tubuhnya yang terjungkal. Pecahan pedang itu tertanam tepat di tengah-tengah. Ralin mengerang, pedangnya terlepas. Naviza segera berlari merebut pedang Ralin lalu menodongkan ujungnya ke wajah Ralin ketika jenderal wanita itu kalah cepat dengannya. Ralin meringis singkat lalu menatap tajam Naviza. Dia dalam posisi tak punya pilihan selain waspada dan tunduk. Darah mengalir hingga ke pergelangan tangan Naviza, terus menetes setelah melewati ujung terpanjang jari kirinya. Pakaiannya sudah basah sekali, merah, penuh di bagian bahu hingga ke lengan kiri. Nyeri yang berangsur jadi kesemutan parah segera meradang dari titik luka menjalar ke seluruh tangan sisi kiri. Lunglai, kehilangan kendali dan tenaga. Seperti tangan yang terputus otot dan sendinya. Tapi ini belum saatnya bernapas lega. Belum saatnya ia boleh merasakan sakitnya luka itu. Musuh masih dalam keadaan prima. Sekalipun ia berhasil melucuti pedangnya, masih ada puluhan persen kemungkinan sang jenderal kembali membalik keadaan. Naviza menghunus lurus pedang Ralin tepat sejajar dengan mata wanita itu. Tepat di titik terujungnya hanya menyisahkan setengah meter dari hulu hidungnya. Meski di atas kertas keadaan ini sudah bisa dikatakan ia menang dan menguasai keadaan, Naviza tak mau lengah. Sekalipun hanya ada satu persen Ralin bisa menyerang balik, kemungkinan itu tetap ada. Tak ada kemenangan seratus persen. Selalu ada peluang kekalahan, kecewa dan segala hal lain yang membuat keberhasilan jadi tertunda.             “Bebaskan kami,” pinta Naviza dengan suara angkuh. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD