Dia akan hidup

2191 Words
  . Ralin meringis di tengah kekehan panjangnya. Tanpa peduli dengan ancaman pedang di wajahnya, sang jenderal berusaha mencabut logam yang melukai pergelangan tangannya dan berhasil membuatnya kehilangan pedang. Apakah ini bisa dikategorikan senjata makan tuan? Ralin tidak setuju. Ini karena dia yang lengah dan terlalu menganggap remeh lawannya. Telapak tangan Ralin berdarah. Cairan kental warna merah itu muncrat setelah sobekan kulit yang dalam menganga. Ralin membiarkannya. Kemudian dia kembali fokus menatap Naviza yang dimatanya, gadis itu sudah tampak menang dan percaya diri.             “Kau hanya beruntung,” bantah Ralin. Kemudian dia bangkit berdiri dengan ujung pedang yang tetap mengikuti setiap pergerakkannya. “Tapi, apa kau tahu bahwa keberuntungan itu sangat rapuh?” lanjut Ralin dengan suara yang tenang. Dia masih mampu mengontrol emosinya.             “Aku berusaha. Tidak mengandalkan keberuntungan,” bantah Naviza tidak terima. “Aku menang. Bebaskan kami. Kau sudah berjanji,” pintanya.             “Aku tak pernah menjanjikannya,” ungkap Ralin angkuh. Naviza tercengang. Sedang Ralin menyeringai puas.             “Kau sudah kalah!” tegas Naviza. “Dimana Talana?”             “Benarkah?” Tangan Ralin merambat ke paha kanannya, terus turun ke bawah menuju betis. Naviza menyadari apa yang dituju Ralin. Dia maju menebaskan pedangnya mencegah gerakan Ralin. Ralin berguling ke samping menghindari serangan Naviza sementara tangannya sigap mencabut belati kecil dari belakang betisnya. Ralin bangkit dalam posisi rendah lalu dengan gerakan cepat dia menyayat pergelangan kanan Naviza dan menikam bahu kirinya, tepat di bekas lukanya.             “Aaaagghh!” erang Naviza keras sekali. Pedangnya terlepas, jatuh tergeletak di tanah. Naviza berlutut. Serangan cepat Ralin membuatnya tak berdaya. Dia tak sempat menepis apalagi menghindar. Darah mengucur di lengan kanan bagian dalam. Sayatan sepanjang lima sentimeter mengiris cukup dalam lapisan kulitnya. Perih bukan main rasanya. Tapi belati Ralin yang menancap di bahu kirinya jauh lebih menyakitkan. Naviza roboh. Telentang di tanah dengan tangan kanannya yang berusah meraih belati di baju kirinya. Dia berteriak kesakitan. Mengerang berkali-kali hingga air matanya mengalir sederas darahnya. Bahunya sangat-sangat perih, nyeri, dan segala rasa sakit yang tak bisa ia lukiskan lagi. Benda tajam yang dingin itu menancap begitu dalam tepat di luka yang ditinggalkan. Dia tak kuasa mencabutnya. Ngilu teramat sangat. Tangan kirinya mendadak tak berdaya, seakan mati rasa namun masih merasakan derita yang luar biasa.             “Ini baru namanya menang. Ketika lawan tak bisa lagi bertarung, saat itulah kau dianggap menang!” seru Ralin puas melihat Naviza meronta kesakitan. Jenderal wanita itu mendekati Naviza. Dia jongkok lalu menikmati pemandangan ini sambil tersenyum. Naviza menahan erangannya. Matanya yang penuh air mata itu menatap marah pada Ralin. Dia memiringkan tubuhnya ke kanan agar bahu kirinya berada di atas. Dia menyerah untuk mencabutnya. Tubuhnya tak mampu menahan rasa perihnya. Jika belati itu dicabut, ia akan merasakan sakit yang sama seperti ketika benda itu mengiris tendon-tendon di bahunya. Kini rasanya ada pisau dengan dua mata yang tajam yang sedang bersarang di antara tendon otot bahunya. Setiap ia bergerak, pinggiran tajamnya akan mengiris apapun di dalam sana, lebih lebar lagi. Dan itu teramat menyakitkan. Naviza tak bisa menghentikan linangan air matanya. Dia menutup rapat bibirnya hingga bergetar, agar tangisan tak pecah. Agar ia tak berteriak meronta. Ralin menggenggam gagang belatinya. Dia melihat mata Naviza yang kesakitan sekaligus menolak. Lalu, wanita itu mencabut belatinya perlahan bersamaan dengan teriakan kesakitan Naviza yang mengudara.             “Aku bukan kaki tangan,” ucap Naviza lemah sekali. Kelopak matanya hampir terpejam. Ini adalah pengalaman pertamanya terluka separah ini dalam pertarungan senjata yang nyata. Suaranya pelan sekali. Kehilangan tenaganya, juga arogansinya. Ralin hanya tersenyum dengan tetap jongkok di samping Naviza yang mulai kehilangan kesadarannya. Darah mengalir makin deras dari bekas tikaman belati itu. Genangan mulai muncul tepat di bawah bahu Naviza. Kini dia telentang menghadap langit. Kaku, perih dan semua rasa sakit itu bercampur padu.             “Kau membantu Angkasa kabur,” tegas Ralin. “Kau harus dihukum,” imbuhnya datar. Naviza tak sanggup membantah lagi. Dia kehilangan terlalu banyak darah. Kesadarannya makin menurun. Pandangannya mulai kabur. Suara-suara alam semakin sepi. Hanya bau petrikor sejuk yang masih tertinggal di rerumputan dan pohon-pohon yang menghibur penciumannya. Setelah insiden bom berbau anyir menjijikkan hampir mematikan indera penciumannya, petrikor segar ini terasa begitu menyejukkan. Sinar matahari sudah nampak berwarna putih. Sinarnya hangat menerpa seluruh permukaan kulitnya. Gedung dan rumah di pinggir-pinggir jalan tempatnya terkapar ini, mulai bergerak-gerak mirip tak tegak. Dan wajah Ralin, semakin tak jelas. Tubuhnya makin mati rasa. Rasa perih luar biasa yang semenjak tadi menggerogotinya mulai hilang entah kemana dan bagaimana. Akankah luka ini membuatnya mati? Bahkan belati Ralin tidak menembus jantungnya. Bagaimana jika benda tajam itu mengoyak organ-organ vitalnya? Apakah kematian akan datang lebih cepat lagi? Pikiran Naviza mulai melayang kemana-mana. Peringatan Ralin makin terngiang di kepalanya. Dia adalah kaki tangan Angkasa. Naviza pingsan. ------------------------ Masih di lokasi yang sama dengan pertarungan Naviza dan Ralin, sedikit jauh dari sana, berada di ketinggian atap gedung berlantai dua, Angkasa duduk mengamati. Dia mengambil tempat dimana ia bisa dengan leluasa melihat pertarungan mereka tanpa disadari Ralin ataupun terlihat oleh prajurit yang mengejarnya. Angkasa menonton dari awal sampai akhir. Dia menikmati pertarungan mereka. Sekalipun dengan raut wajah yang tetap datar dan terlihat dingin, sesekali dia bersorak tanpa suara untuk menyemangati Naviza ketika gadis itu harus menahan pedang Ralin dari bahunya.             “Ralin akan membuatnya tetap hidup,” gumam Angkasa. “Aku tidak perlu cemas.” Angkasa berdiri. Untuk kali terakhir, lama, dia melihat ke bawah. Melihat bagaimana Ralin melepaskan pakaian luarnya yang cukup tipis untuk membalut bahu Naviza dengan sepenuh hati. Ralin berusaha menghentikan pendarahannya. Dia bahkan merobek pakaiannya lagi untuk membalut sayatan di lengan kanan Naviza. Setelah memastikan pendarahannya lebih lambat, wanita itu memanggil prajuritnya untuk menggotong Naviza. Angkasa pergi setelah memastikan Naviza masih hidup. Dia melompat zig zag dari atap paling atas, turun ke genting bawah. Struktur atap bangunan yang seperti piramida berundak itu sangat membantu untuk naik dan turun dengan mudah. Atapnya berlapis-lapis dengan bagian atas yang makin sempit. Setelah mendarat sempurna, Angkasa mengamati sekitarnya sebentar lalu berjalan cepat segera pergi dari sana. Dia berlari menyusuri jalan sempit yang sepi, terus menghindari jalan-jalan besar yang padat orang, bersembunyi sesekali di lekukan dinding rumah ketika melihat patroli keamanan lalu berganti penyamaran dengan mengganti semua pakaiannya. Dia tak membawa pedang panjang, tak sulit menyembunyikan identitasnya di tengah kerumunan pasar yang sengaja ia lewati. Kini Angkasa berjalan cepat, di tengah keramaian orang. Menyalip beberapa ibu-ibu, untuk kemudian masuk lagi ke gang sempit yang sangat sepi setelah berhasil menghindari patroli keamanan. Angkasa melompat zig zag naik lagi ke atap, lalu berlari melompat dari satu atap ke atap bangunan lainnya agar lebih cepat dan bebas hambatan. Jalur atap seperti jalan tol. Tak sembarang orang bisa melakukannya. Dari atas sini, pandangannya jauh lebih luas. Dia berlari ke arah timur, menjauhi markas militer yang berada sangat dekat dengan posisinya. Menjauhi istana yang berada di belakangnya. Setelah melihat dinding perbatasan ibu kota, gerbang keluar masuk pusat kota dengan pinggiran, Angkasa turun. Jalanan di sini masih ramai. Beberapa pedagang masih berlalu lalang, meski daerah ini bukan pusat pasar. Tapi siang hari sudah sangat lebih lengang dibanding ketika pagi. Angkasa tetap waspada dan secara rutin mengamati sekitarnya. Tak boleh ada yang mengikutinya. Lalu dia berhenti di sebuah gang kecil yang sangat sepi. Bekas panah di tubuhnya terasa perih. Angkasa membuka pakaian atasnya, dia periksa balutan kain putih di lengan kanannya. Bukan putih lagi, tapi merah penuh. Merah yang bahkan sudah menghitam karena tak mampu lagi menampung pendarahan yang keluar. Angkasa membuka verbannya, lukanya menganga. Terlihat seperti infeksi. Permukaannya basah, lembek dan bernanah. Lingkaran di sekitar lukanya menghitam agak biru.             “Mereka tak mengobatinya dengan benar,” gerutu Angkasa jengkel. Angkasa membuang kain verbannya yang sudah sangat kotor dan tidak layak. Dia biarkan lukanya terkena angin. Atasan Angkasa masih tergeletak sembarang di sampingnya. Pakaian itu pun sudah sangat kotor. Warnanya bercampur dengan coklat tanah, sisa darah yang mengering dan keringat. Baunya pun tak karuan karena bom aneh yang meledak tadi. Memang tak ada korban yang mati, tak ada yang terluka secara fisik, namun semua orang pingsan karena tak tahan.             “Kreatif,” puji Angkasa mengingatnya. Dia regangkan tangan kanannya, ia putar seratus delapan puluh derajat lebarnya. Masih sangat terasa nyeri. Kaku tak bisa bebas ia kendalikan. Sungguh Angkasa berterima kasih pada ledakan bom berbau menjijikkan itu yang sangat membantunya kabur dari Ralin. Sebelum bom meledak…. Angkasa terlibat pertarungan sengit dengan Ralin sekali lagi. Wanita itu tak pernah puas dengan hasil yang tak sempurna. Berbagai tebasan, tusukan dan model serangan apapun, ia lakukan pada Angkasa dengan keseriusan tinggi. Tapi, Angkasa tak bisa melayaninya secara optimal. Angkasa memakai tangan kirinya untuk menggenggam pedang. Seluruh gerakan ia lakukan hanya untuk menghindari tanpa melakukan serangan. Dia masih kesulitan dengan sisi kiri karena jarang sekali melatihnya. Ralin menebas kuat dengan sudut vertikal. Gerakan yang sama seperti yang Angkasa lihat pada serangan Ralin ke Naviza. Angkasa menangkisnya dengan tangan kiri. Tapi di saat yang sama, Ralin tiba-tiba menarik pedangnya lalu menebas sisi kanan Angkasa. Spontan Angkasa harus mengganti pedangnya ke tangan kanan untuk menahan serangan Ralin. Detik itu juga, tangannya seperti kayu yang sangat berat dan enggan digerakkan. Kayu yang rapuh yang akan patah ketika diberi beban melebihi kapasitas. Saat itulah, Angkasa merasa ada sesuatu yang basah menyumber dari lengannya. Barangkali itulah saat dimana lukanya kembali terbuka dan membuatnya infeksi.             “Dia sulit menyerah,” gerutu Angkasa memikirkan Ralin. Kini ia selonjorkan kedua kakinya lurus. Ia sandarkan punggungnya ke dinding rumah. Ia biarkan tubuh bagian atasnya telanjang begitu. Banyak hal yang kini berkelebatan di pikiran Angkasa. Pekerjaan-pekerjaannya yang belum usai gara-gara kejar-kejaran dengan Ralin dan tersandung kasus kaki tangan. Sekalipun matanya kini memejam, masih juga tergambar jelas bagaimana situasi markas Benang Merah. Dia sanggup membayangkan betapa murka Buros terhadap berita kekalahan ditambah penyanderaannya oleh Zakaffa. Buros pasti mengirimkan beberapa orang pilihan untuk menyusup ke istana demi membebaskan dirinya. Sampai sekarang, Angkasa belum berkirim kabar bahwa dirinya berhasil lolos. Belum lagi dengan satu pekerjaan rahasia lainnya. Bos lain yang harus ia lapori kabar terbaru. Mana dulu yang harus ia dahulukan? Di tengah pikirannya yang lelah itu, tiba-tiba satu hal lagi terlintas. Angkasa spontan membuka matanya. Dia tegakkan tubuhnya dengan mata membulat penuh. Gadis itu! Yang bertarung dengan Ralin! Angkasa merasa bertanggung jawab atas nasibnya yang sial karena bertemu dengan dirinya. Bergegas ia bangkit berdiri. Memungut kembali pakaiannya, menggulungnya bebas hingga membentuk bola, lalu berjalan cepat mencari pakaian yang dijemur di gang itu. Ia temukan satu atasan sutra yang dijemur di pekarangan rumah. Seperti blus, berwarna biru polos. Ia tarik baju itu lalu memakaianya. Tapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya lagi. Seperti dirundung pertanyaan setelah menyadari sesuatu yang aneh.             “Kenapa aku harus mencemaskan gadis itu?” pekik Angkasa pelan. “Dia bukan urusanku. Aku tidak peduli,” lanjutnya. Detik itu juga, Angkasa memutar arah sebaliknya. Ia urung menuju markas militer. Ada urusan yang lebih prioritas untuk ia selesaikan sekarang dibanding pergi ke markas militer menyelamatkan Naviza. Lengan kanannya juga masih terlalu linu untuk digunakan bertarung. Terlebih yang terluka adalah kanan, dia tak bisa mengenggam dengan baik. Digerakkan pun sangat terbatas. Belum lagi dengan nyeri yang kini juga menjalar di betis kirinya. Panah beracun itu benar-benar sesuatu. Sekalipun sudah ditawarkan, tapi efek sampingnya masih tetap luar biasa. Kakinya terasa berat untuk diangkat apalagi diajak berjalan. Sepertinya efek obat pereda nyeri yang diberikan Ralin sudah hilang. Setelah bertarung dan berlarian berjam-jam sebelumnya, sekarang baru bisa ia rasakan betapa kaki dan tangannya meronta ingin istirahat dan butuh diobati lagi. Rasanya Angkasa tidak ingin bertemu siapapun dulu untuk saat ini. Dia ingin tidur. Mengistirahatkan tubuhnya yang sudah letih dan terluka. Jalannya pun pincang. Tak bisa senormal sebelumnya, apalagi berlari sekencang sebelumnya. Di gang sempit itu, ia tertatih. Tubuhnya merapat ke pinggiran jalan hingga tangannya bisa bertumpu dan berpegang ke dinding-dinding ataupun pagar perumahan di sekitarnya. Tangan kirinya terus merabai dinding dan pagar sebagai tumpuan tubuhnya yang makin lemas. Angkasa berhenti. Napasnya mendadak payah. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya, padahal dia tak sedang berlari ataupun bertarung. Paru-parunya terasa sesak, udara sulit mencapai alveolus. Entah karena udara yang makin menipis, dia yang terlalu kelelahan bahkan untuk bernapas atau ada kerusakan dalam organ pernapasannya sehingga sulit sekali membawa oksigen untuk mencapai titik terdalam paru-paru. Apapun itu, Angkasa merasa kesulitan bernapas. Dia berusaha keras menghirup napas sepanjang dan sedalam yang ia bisa. Tapi tetap saja, oksigen itu hanya berhenti di pangkal tenggorokannya. Rasanya hanya ada kehampaan yang kini mendiami percabangan tulang paru hingga gelembung-gelembung pertukaran udaranya. Tubuh Angkasa merosot ke bawah hingga ia terduduk di tanah, bersandar lemah pada pondasi rumah setinggi setengah meter. Ada apa dengan tubuhnya? Semua otot dan sistem geraknya terasa kaku dan berat untuk digerakkan. Seperti boneka kayu yang kehilangan pelumas, keset, kehilangan fleksibilitasnya. Angkasa memutuskan berhenti, diam sebentar, tak bergerak sedikit pun. Dia biarkan rasa sakit bercampur letih itu menguasai sejenak pikiran dan emosinya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Tubuhnya enggan berkompromi lagi. Kini tak hanya pada lengan dan betisnya saja, rasa nyeri menjalar ke bahu, punggung, d**a dan merambat naik menguasai paha kirinya juga. Dalam keadaan lelah dan tak berdaya itu, kejutan lain datang. Angkasa merasakan getaran yang samar pada tanah yang ia pijak. Ada bunyi derap sepatu yang bergerak cepat. Tak hanya sepasang saja, tapi beberapa. Angkasa memejamkan matanya sebentar untuk menajamkan indera pendengaran sekaligus perabanya.             “Satu, dua, tiga, empat. Empat orang?” hitungnya pelan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD