Reset Time

2220 Words
Dia semakin memfokuskan telinganya untuk mencari tahu kemana arah pergerakkan mereka. Tapi yang lebih penting lagi, dia harus tahu siapa orang-orang itu? Dia tak boleh tertangkap orang-orang Ralin lagi. Dia tak boleh terlihat oleh mereka karena itu berarti dia harus bertarung membela diri. Angkasa mencoba menggenggam telapak tangan kanannya sendiri. terlalu lemas. Susah payah ia telungkupkan tangannya, semakin ia berusaha menggenggam, semakin menjalar cepat rasa linu dan jarem di sekujur tangannya. Posisi terbaik yang bisa ia raih hanya menekuk kelima jarinya tanpa bisa menyentuh telapak tangannya sendiri. Lalu ia coba angkat kakinya. Dia tekuk lebih dulu kaki kanannya untuk dijadikan tumpuan tubuh. Lalu berusaha berdiri. Kaki kirinya masih posisi lurus, jemarinya mulai menapak lalu perlahan disusul bola-bola kakinya hingga tumitnya menyentuh tanah. Angkasa coba membagi beban tubuhnya seimbang pada kedua kakinya, pelan-pelan. Sakit. Semacam ada peradangan otot yang menjalar cepat ke seluruh betis, paha dan telapak kakinya. Dia kembali mengangkat sedikit telapak kirinya dan mengembalikan beban tubuh sepenuhnya bertumpu pada kaki kanannya. Angkasa merasa gagal seimbang. Dia memegang dinding rumah di sampingnya lalu pelan-pelan mendekat untuk kembali bersandar.             “Kalau begini keadaannya, aku bisa tertangkap lagi tanpa perlawanan,” gumam Angkasa cemas. Dia sangat membenci keadaan ini. Lalu tiba-tiba tubuhnya waspada. Respon spontan yang muncul karena intuisinya. Seseorang bergerak cepat mendekat padanya. Tapi darimana? Netra Angkasa segera mengedar ke segala penjuru. Ke atas atap dari segala arah, ke masing-masing ujung jalan, ke depan dan kemampun. Tangan kirinya mencabut cepat belati terakhir yang ia selipkan ke ikat pinggangnya lalu menghunuskan ke depan. Dengan sangat terpaksa, Angkasa manahan sakit kakinya untuk bisa berdiri tegas dalam posisi siap bertarung. Dia menunggu dan memperkirakan darimana seseorang itu akan muncul dan siapa dia.             “Ini aku.” Seorang laki-laki melompat turun dari atap tepat di depan Angkasa. Angkasa reflek mundur dua langkah dan menodongkan belatinya ke depan.             “Ini aku! Oyan,” tegas laki-laki itu lagi sambil memelorot kain penutup wajahnya. Angkasa menghela napas lega. Dia turunkan belatinya lalu menyarungkannya lagi. Angkasa mundur pelan lalu bersandar lagi ke dinding. Seluruh kekuatan yang ia paksakan pada kaki dan tangannya kini hilang lagi. Oyan panik melihat wajah pucat Angkasa. Dia bergegas mendekati Angkasa, bersiaga menahan tubuh lelaki itu jika sewaktu-waktu terjatuh apalagi roboh.             “Kau tidak baik-baik saja,” ungkap Oyan bernada cemas. Lelaki itu sedikit lebih pendek di bawah Angkasa. Ujung kepalanya setinggi telinga Angkasa. Wajahnya tirus, berwarna langsat dengan alis tebal hitam lebat. Rambutnya tipis, lurus dan jatuh. Pendek tersisir rapi.             “Aku baik-baik saja,” bantah Angkasa angkuh. Dia atur kembali napasnya yang kini sudah jauh lebih baik. Angkasa mengendurkan pertahanannya karena yang datang bukan orang istana ataupun orang Benang Merah, melainkan Oyan, seorang teman.             “Kau pucat. Tanganmu berdarah dan kakimu pincang. Masih baik-baik saja?” tegas Oyan bernada cerewet. Dia segera meraih lengan kanan Angkasa, lagi-lagi ada bercak merah yang membekas di pakaian atasannya. Oyan memaksa membuka pakaian Angkasa lalu mengernyitkan wajahnya kala mendapati bekas panah itu melepuh kotor bercampur infeksi yang berdarah campur nanah. “Kau mengerikan,” komentarnya datar. “Duduk,” perintahnya pelan. Angkasa tak membalas. Dia menurut. Pelan, tubuhnya melorot ke bawah sampai akhirnya duduk dengan kedua kakinya lurus ke depan. Sementara Oyan melepaskan tas punggungnya yang tipis berwarna biru tua. Dia buka serutan tali tasnya, mengeluarkan beberapa verban dan obat luka luar dalam sebuah tube bening. Isinya likuid berwarna bening, kental tapi mirip air. Lalu dia ambil satu botol lagi dari dalam ranselnya. Oyan membuka tutup botol itu lalu menuangkan cairan bening yang encer ke atas luka di lengan kanan Angkasa.             “Aaaghh,” erang Angkasa kaget. Dia merasakan dingin yang bukan menyejukkan, tapi justru menyiksa. Seperti tersiram butiran pasir yang tajam namun sangat dingin, yang ketika menyiram lukanya, perih tak tertahankan. Angkasa mengernyit, menggigit bibir bawahnya sambil terus mengawasi apa yang berikutnya diberikan Oyan. Oyan mengambil satu lipatan kain bersih dari dalam tasnya lalu mengelap bekas darah dan cairan yang ia tuang di sana. Setelah itu, dia buka tube beningnya, dia tuangkan sedikit cairannya tepat di atas luka Angkasa. lalu cepat-cepat membalutnya dengan kain verban bersih yang sudah ia siapkan.             “Selesai,” lapor Oyan. Kemudian ia mundur selangkah lalu duduk di hadapan Angkasa sedikit lebih jauh. Untungnya gang itu benar-benar sepi dan terpencil.             “Satu lagi,” pinta Angkasa sambil menunjuk betis kirinya yang menderita luka yang sama. Oyan menghela napas berat tapi tak membantah apapun. Dia segera melihat luka yang ditunjukkan Angkasa. Dia gulung celana Angkasa hingga selutut. Celana yang sudah sangat kotor itu bertambah lembap karena rembesan darah yang tak berhenti. Oyan mengangkat lutut Angkasa hingga kakinya menekuk dan memperlihatkan pendarahan yang parah di bekas panahan. Kulit di sekitarnya membiru, darah menghitam dan tak berhenti merembes.             “Separah ini? Apa yang terjadi?” komentar Oyan. Tangannya masih tetap bekerja. Sebelum menyiram luka itu dengan cairan dingin dari botol, Oyan membersihkan bekas-bekas darah yang masih basah maupun sudah menggumpal kering dari luka dan sekitar lukanya. Dia meminta Angkasa tengkurap agar posisi luka itu berada di atas sehingga ia bisa menuangkan cairan sterilisasi dan juga obatnya tepat sasaran.             “Ralin memberi racun di ujung panahnya,” jawab Angkasa singkat. Dia menahan erangan perih ketika Oyan menyiram lukanya dengan cairan sterilisasi. Rasa sakit yang sama seperti ketika cairan itu melibas luka di lengannya. Tangan Oyan bergerak cepat membersihkan, menuangkan obat yang sama lalu membalutnya dengan rapi. Angkasa kembali duduk dan menyandar ke pondasi dinding rumah. Oyan merapikan lagi semua perlengkapan pengobatannya, memasukkannya ke dalam tas biru tuanya lalu ikut bersandar di samping Angkasa.             “Terima kasih. Kau datang tepat waktu,” ungkap Angkasa dengan napas pendek-pendek.             “Eztyo sangat mencemaskanmu karena hilang kontak berhari-hari,” kata Oyan dengan nada simpati.             “Kurasa bukan hanya Eztyo. Buros pasti lebih murka,” timpal Angkasa dengan nada yang berat. Dia pejamkan matanya, ia tarik napas dalam-dalam sambil menengadah ke langit. Panas matahari telah begitu terik, tapi di tempat mereka sekarang, panas itu tak menyengat langsung.             “Aku harus tahu yang terjadi agar bisa membantumu,” tawar Oyan.             “Terima kasih. Aku akan segera datang untuk melapor, jangan khawatir,” tolak Angkasa halus. Lalu mendadak ia membuka matanya lagi dengan kaget. “Oyan, saat kau kemari, kau melihat empat orang mencurigakan? Mungkin mereka utusan istana, mungkin juga Benang Merah. Kau sempat melihat mereka?” Oyan terdiam sebentar. Dia mengalihkan fokus matanya ke sudut bawah untuk mengingat semua yang dia lihat. “Ada!” cetusnya dengan mata terbelalak. Angkasa antusias.             “Bukan prajurit istana, bukan intelijen juga. Mereka lusuh, berpenampilan seperti preman, berantakan dan—“             “Mereka mencariku,” potong Angkasa. “Benang Merah.” Oyan ikut tegang.             “Mereka pasti dikirim untuk membebaskanku,” imbuh Angkasa dengan ekspresi yang masih tercengang bercampur gelisah.             “Bukankah berati kau harus segera kembali ke sana?” tanya Oyan, polos. Dia jadi agak panik. Angkasa masih diam. Netranya fokus pada suatu titik di tanah, dia masih berpikir. Apa yang akan terjadi ketika utusan Benang Merah itu mendapati dirinya tak ada di sana? Apa yang Buros pikirkan jika orang-orang itu kembali dengan tangan kosong? Angkasa kabur dari tahanan tapi tak kembali ke markas. Bukankah justru baik jika dia bisa kabur sendiri tanpa mengandalkan bantuan Benang Merah? Angkasa diam sejenak. Dia tak menemukan alasan yang membenarkan kemurkaan Buros padanya. Tak ada suatu kesalahan karena kejadian ini yang bisa mengakibatkan dia kehilangan kepercayaan dari sang pendiri Benang Merah itu. Semua kemungkinan yang dia petakan, sedikit pun tak ada yang meragukan. Kecuali jika para utusan itu membuntutinya dan menangkap basah ia sedang di tempat terlarang lainnya. Itu akan menjadi cerita berbeda. Termasuk dengan pertemuannya dengan Oyan detik ini. Tingkat resikonya justru lebih membahayakan yang ini. Oyan akan menjadi seseorang yang mengancam posisinya, termasuk kepercayaan Buros kepadanya.             “Kau tidak bisa langsung pergi dan menghadapi pertarungan saat ini juga, Angkasa.” Angkasa tak mendengarkan. Dia tetap berusaha berdiri dengan sekuat tenaga.             “Benar juga!” cetus Oyan teringat sesuatu. “Apa gadis itu baik-baik saja?” tanya Oyan spontan. Angkasa menoleh dengan melotot penuh tanya. “Kau sudah mengawasi sejak itu?” Oyan mengangguk cepat. “Aku mengikutimu sejak di medan pertempuran. Satu-satunya tugasku adalah menjadi pendukungmu. Jadi aku tidak akan masuk ketika kau masih bisa mengatasinya,” jawab Oyan membanggakan dirinya. Dadanya membusung tanpa ia rencana.             “Kita berpisah di sini,” potong Angkasa tegas. Dia putar lebar sendi putar lengannya, dia gerak-gerakkan naik dan turun, termasuk meregangkan otot-otot kakinya. “Aku harus memastikan sesuatu sebelum melapor pada Eztyo,” jelasnya serius. Oyan memandang Angkasa lekat-lekat seolah dia berusaha membaca mata Angkasa.             “Kau akan ke tempat Ralin,” cetus Oyan menebak. Angkasa mengangguk. “Aku harus mencegah anak buah Buros masuk ke markas militer,” jawab Angkasa.             “Kau yakin bisa menyusul mereka? Kondisimu buruk,” cegah Oyan halus. Angkasa menurunkan gulungan celananya, dan memakai kembali pakaiannya. “Pinjamkan pedangmu,” pintanya. Tanpa menunggu jawaban Oyan, Angkasa sudah menarik pedang Oyan yang tersarung di punggungnya. Dia pasang pedang itu di punggungnya sendiri. Lalu tangannya menengadah sambil mengode mata pada tas biru tua yang penuh obat-obatan.             “Tidak,” tolak Oyan.             “Berikan tubenya saja. Bagaimana jika sakitnya kambuh di tengah-tengah pertarungan?” ancam Angkasa.             “Tidak. Kau harus bertanggung jawab pada pilihanmu.” Oyan tak menoleransi. Dia pasang muka serius. Angkasa tak berkomentar. Dia kencangkan tali pedangnya lalu pergi. Kali ini dia memilih jalan bawah. Terlalu beresiko untuk kakinya melompat dari satu atap ke atap lainnya. Sementara Oyan, mengawasinya dengan muka datar yang jengkel. “Sia-sia mencegahmu,” gerutunya. --------------------------- Ralin sampai di gerbang istana ketika matahari mulai meninggalkan tahta tertingginya. Dia sudah membersihkan diri, berganti pakaian dan siap melapor pada panglima dan raja. Masih di atas kudanya, daun pintu gerbang setinggi lima meter ditarik ke dalam. Dua prajurit penjaga membuka gerbang besar itu pelan-pelan. Mereka terlihat payah dan mendorongnya sepenuh tenaga. Belum sampai selebar dua meter gerbang terbuka, Ralin melesat masuk. Dia kendarai kudanya dengan kecepatan pelan setelah melewati gerbang kedua. Ada dua lapis gerbang untuk sampai ke bangunan utama istana Zakaffa. Satu gerbang paling luar mengelilingi penuh lahan istana yang luasnya tak kurang dari enam hektar. Dinding setebal satu meter itu dibangun setinggi empat meter mengelilingi istana. Hanya ada tiga pintu gerbang pada dinding lapis pertama ini. Lalu berjarak lima ratus meter ke dalam, dibangun sebuah benteng lapis kedua dengan ketinggian yang sama tapi jauh lebih tebal. Dibuat lima pintu menuju bangunan utama istana. Di dalam lindungan dua lapis benteng itu, Istana Zakaffa berdiri dengan sangat megah. Istana itu berbentuk seperti bangunan balok yang sangat luas dengan menara-menara tinggi di setiap sudutnya. Tidak kurang dari delapan menara dengan ketinggian yang berbeda-beda. Istana Zakaffa dibangun bertingkat dua hingga tiga lantai. Dengan total luas bangunan utamanya mencapai dua hektar. Ralin tidak menurunkan kecepatan kudanya sekalipun dia sudah mencapai halaman utama istana. Hamparan rumput teki yang hijau segar menyambutnya. Warna hijaunya mampu meneduhkan mata di kala sengat panas matahari begitu menusuk-nusuk kulit. Halaman depan ini tak terlalu rindang dengan pohon-pohon besar yang meneduhkan, tidak. Ini adalah halaman tempat puluhan vegetasi bunga tumbuh berkelompok-kelompok sesuai warna mahkotanya. Hanya saja, sekarang bukan musim mekar. Sebuah jalan lurus dari gerbang kedua menuju pintu loby utama istana dibangun di antara suburnya tanaman hibiscus rosa sinensis alias bunga sepatu yang memanjang. Seorang prajurit mencegat Ralin sebelum sang jenderal wanita itu mendekati pintu istana. Dia meminta Ralin turun dan menawarkan menuntun kudanya ke kandang istana.             “Terima kasih,” ucap Ralin sambil menyerahkan kemudi kudanya. Tak lagi berpakaian zirah, Ralin mengenakan terusan formal untuk menghadap Yang Mulia Raja. Dia menggulung rambutnya ke atas, berias secukupnya dan memakai wangi-wangian yang beraroma lembut. Sekalipun mengubah drastis penampilannya, dia tetap tak meninggalkan dirinya tanpa perlindungan apapun. Masih tersimpan dua belati di balik terusan formalnya dan sebuah tusuk rambut yang mematikan ia sematkan sebagai hiasan kepalanya.             “Jenderal!” seru Butoo dari kejauhan. Lelaki itu berlari dengan wajah antuasias saat menemukan Ralin sudah tiba di istana.             “Kau masih di sini?” tanya Ralin dingin tanpa menghentikan langkah cepatnya menuju pintu utama istana. Butoo berjalan menyamai langkah Ralin. “Yang Mulia sudah menunggu Anda, Jenderal. Dia sangat bahagia atas berita kemenangan kita,” lapor Butoo dengan wajah ceria. Ralin mendadak berhenti, menoleh pada Butoo dengan ekspresi masam.             “Kenapa?” tanya Butoo kaget.             “Bagaimana kau melaporkan hasil pertempuran kemarin?” tanya Ralin penuh selidik dan sangat dingin. Dia melipat kedua tangannya di depan d**a sambil menatap lurus Butoo. Mendapati respon Ralin yang tak sesuai prediksinya, Butoo terkesiap. Dia menegakkan tubuhnya, meluruskan pandangannya dan mengubah perilakunya jadi formal. “Saya melaporkan pada Yang Mulia bahwa kemenangan itu karena bom misterius yang meledak dan meluluh lantahkan semua kekuatan Benang Merah tanpa terkecuali. Kami juga menangkap pimpinan mereka, yang diduga menjadi orang penting tangan kanan Buros, Angkasa. Jenderal Ralin sedang dalam perjalanan kembali ke markas,” lapor Butoo secara resmi. Dia mengulang laporannya. Ralin tak mengubah responnya selain hembusan napas panjang yang meluncur dengan sangat berat. Dia lepas lipatan tangannya. Lalu membuang mukanya dari hadapan Butoo. Ralin seperti orang yang bingung dan mendadak takut untuk menghadap baginda raja.             “Kenapa, Jenderal?” tanya Butoo hati-hati. Mereka sudah ada di pelataran loby istana. seratus meter lagi sudah pintu masuk ke loby depan istana. Tapi langkah Ralin jadi berat. Tercekat oleh laporan ulang yang disampaikan Butoo. Dia ragu untuk meneruskan langkahnya. Apakah bisa ia hadapi kemurkaan sang raja dengan berita tidak baiknya kali ini? Bahwa dia kehilangan Angkasa.             “Angkasa kabur,” jawab Ralin singkat. Saat Butoo menganga, Ralin meninggalkannya. ----------------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD