Filosofi Koi Raja

2066 Words
Di pelataran istana bagian timur, menghadap sebuah kolam ikan yang sangat luas dengan koi-koi raksasa yang berenangan berebut serbuk makanan, Sang Raja berdiri di tepiannya. Faritzal melempar segenggam pakan koi ke tepian kolam. Puluhan mulut koi menganga membentuk huruf o, berdesakan saling berebut. Punggung penuh warna dalam tubuh gemuk nan besar itu saling bertindih dan berenang menepis setiap jarak antar sesamanya. Permukaan air jadi berisik. Menciprat kemana-mana. Lenggak-lenggok tubuh dan sirip mereka saling bertumbukkan. Faritzal melempar lagi dua genggam pakan koi dari tangannya. Mereka semakin sengit berkompetisi. Meraup sebanyak apapun yang bisa dijaring dengan mulut lebar mereka. Seperti tak pernah mencapai kata kenyang. Sejenak, kolam berdiameter tiga ratus meter itu jadi kosong. Seluruh penghuninya berkumpul pada satu titik yang sama. Faritzal berjongkok di pinggiran kolam yang lebih mirip danau buatan itu karena lebarnya yang luar biasa. Dia ambil lagi segenggam pakan yang seperti butiran kasar pasir berwarna oranye itu. Kali ini, Faritzal menaburnya pelan sambil mendekatkan tangannya di atas permukaan air. Lalu dia benamkan tangannya, membiarkan puluhan mulut lapar itu melahap habis dan menenggelamkan telapaknya.             “Padahal dua jam lalu aku sudah memberinya makan. Mereka tak pernah kenyang,” ucap Faritzal masih menikmati hiburannya. Ralin berdiri di belakangnya. Dalam posisi siap dan formal. Dia berdiri di samping sang panglima, atasannya langsung. Dengan sikap istirahat di tempat, mereka dengan sabar menunggu sang raja menyelesaikan jadwal memberi makan koi.             “Terima kasih sudah menang melawan mereka,” ucap Faritzal. Dia selesai dengan kesibukannya. Pakannya habis, tangannya basah dan seorang pelayan sigap datang menawarkan handuk bersih. Faritzal mengelap kedua tangannya dari pergelangan ke bawah, lalu duduk di bangku taman panjang yang tak jauh dari lokasi Ralin dan sang panglima menunggu. Mereka bertiga sama-sama bergeming. Ralin dan Eurfo tak berani mengawali ketika Faritzal masih diam seperti itu. Raja muda itu masih memejamkan matanya, sedikit menengadah merasakan panas matahari menerpa wajah putihnya. Dia sandarkan punggungnya ke kursi taman, lalu meluruskan kedua kakinya.             “Kau tau kenapa aku mengoleksi koi?” cetus Faritzal memulai kembali perbincangan mereka. Ralin menoleh dengan tatapan bingung pada Eurfo. Tentu bukan karena dia bingung siapa yang ditanyai sang raja, melainkan mempertanyakan alasan Faritzal memulai topik koi. Padahal ini pertemuan serius yang melaporkan kondisi pasukan kerajaan setelah bentrok dengan Benang Merah.             “Karena mereka indah?” tebak Eurfo yang berusaha memberi tanggapan.             “Dibanding koi warna-warni, aku lebih suka koi hitam tanpa corak apapun. Apa aku mengoleksi mereka masih karena keindahan?” timpal Faritzal dengan tenang dan santai. Eurfo menghela napas tanpa suara, senyap sekali. Apa ini berubah jadi pembicaraan santai atau Faritzal sedang beretorika? Eurfo belum menemukan jawabannya. Dia hela napas lagi lalu mengubah wajah seriusnya menjadi santai seketika. Sang Panglima mengambil tempat di samping Faritzal. Bangku panjang itu masih menyisahkan banyak ruang. Lalu dia duduk dengan santai, menyandar di belakang namun tetap merapatkan kedua kakinya sopan.             “Anda menyukai koi hitam karena dia tak terlihat namun ada,” cetus Eurfo dengan tegas. Ralin sedikit kaget dengan jawaban atasannya. Meski hanya sedetik, matanya terbuka penuh. Seakan dia sangat mengerti makna dibalik pernyataan Eurfo.             “Sesuatu yang tak terlihat, padahal keberadaannya niscaya. Koi hitam itu mampu menyembunyikan dirinya dengan baik di kedalaman kolam yang berdasar gelap sekalipun airnya sangat jernih. Dia bisa menguasai kolam itu tanpa terusik pengawasan. Bergerak bebas, tanpa menyita perhatian. Berbeda dengan koi bercorak dengan warna-warna cerah lainnya. Mereka tak bisa menyembunyikan diri sekalipun ingin. Hanya di dalam air yang benar-benar keruh mereka tak terlihat. Namun tragisnya, air keruh bisa membunuh mereka,” ucap Faritzal menjelaskan dengan santai tapi serius. Matanya masih menerawang jauh ke ujung kolam tiga ratus meter di depan sana. Dia sejenak menegakkan posisi duduknya kembali lalu mengangkat sebelah kakinya menindih kaki satunya.             “Kalau begitu alasannya, kenapa Anda tidak memelihara hanya koi hitam saja?” tanya Eurfo. Kali ini benar-benar penasaran. Sekalipun dia jarang sekali sungguh-sungguh tertarik dengan segala topik yang dibicarakan rajanya, kecuali soal keamanan negeri. Faritzal malah menoleh dengan tatapan jengkel. Bola matanya menyipit kesal. “Kau mau merusak kolamku?” tandasnya ketus. Senyum Eurfo terbit dengan canggung. Pembicaraan yang serius itu mendadak kacau. Ralin tak bisa berkomentar. Dia ingin pertemuan tak penting ini segera selesai.             “Bolehkah saya melakukannya?” timpal Eurfo dengan wajah polos.             “Kau mau kubunuh?” ancam Faritzal ketus. Eurfo semakin terbahak lalu menarik napas panjang sekali untuk meredam tawanya. “Ah, saya tidak mungkin berani, Yang Mulia,” ralatnya dengan nada tenang. Eurfo menengok Ralin sekilas. Wanita itu terlihat tak nyaman, wajahnya lelah dan berkali-kali menahan menguap kantuk. Dia sangat paham Ralin tak terlalu suka dengan obrolan basa-basi seperti ini. Dia mungkin juga paham bahwa wanita itu sama sekali belum istirahat sepulang dari medan pertempuran. Mereka hening lagi agak lama. Eurfo menunggu apakah Faritzal ingin membahas yang lain lagi ataukah topik koi tadi sudah berakhir.             “Yang Mulia,” panggilnya memotong lamunan Faritzal. “Ada yang perlu kami laporkan terkait bentrok dengan Benang Merah,” lanjutnya hati-hati dengan nada tegas. Faritzal menoleh. Ia bersiap menyimak.             “Kami kehilangan Angkasa dalam perjalanan ke ibu kota,” lapor Eurfo, singkat.             “Kami sudah menutup seluruh akses keluar dari ibukota dan fokus untuk mencarinya. Kami pasti menemukannya!” tegas Ralin. Faritzal diam sebentar. Tak banyak perubahan ekspresi di wajahnya. Sekilas, matanya melebar sebentar. Dia tidak kaget dengan berita ini tapi tetap tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Mereka telah memburu Angkasa sejak beberapa tahun terakhir. Kehilangan dia dalam penangkapan sudah bukan berita baru lagi. Tapi tiap kali mereka gagal, kekecewaan Faritzal selalu bertambah dari kesempatan ke kesempatan yang hilang. Mulai timbul keraguan Faritzal pada kekuatan pasukannya. Apakah Angkasa sekuat dan secerdik itu hingga mereka tak pernah berhasil menangkapnya? Rasa penasaran Faritzal itu makin bertambah tinggi dari hari ke hari. Ia ingin tahu bagaimana rupa Angkasa. Apakah dia seorang pria yang besar tinggi dan kekar? Ataukah dia seorang cerdik pandai hingga begitu licin?             “Tidak bisakah aku bertemu dengannya? Angkasa itu,”  cetus Faritzal dengan tatapan kosong menerawang jauh. Eurfo tak langsung merespon. Dia tahu pernyataan raja tak membutuhkan jawabannya. Namun, Ralin menghela napas terlalu dalam diamnya. Rasa bersalahnya teramat kentara di wajahnya. Ungkapan Faritzal itu semakin membuatnya rendah. Dia memaknai itu sebagai ungkapan kecewa yang telah teramat dalam. Faritzal tersenyum tanpa emosi. “Bagaimana menurutmu Eurfo? Kau bisa menepati janjimu dan membawa orang itu ke hadapanku?” tanya Faritzal bernada santai. Dia menatap Eurfo. Panglima muda yang masih terbilang satu generasi dengannya, tapi sangat berpengalaman dalam militer. Eurfo, pria itu menjawab tantangan Faritzal dengan tatapan yakin tanpa keraguan sedikit pun. Dia mengangguk singkat.             “Mereka meremehkanku karena menjadi raja di usia yang terlalu muda. Masalah Benang Merah yang tak kunjung usai membuatku semakin tak kompeten di mata rakyat. Aku ingin kalian bergerak cepat menumpas mereka,” ungkap Faritzal dengan nada tegas.              “Yang Mulia,” sela Ralin dengan sopan dan hati-hati. “Kami menangkap seorang kaki tangan,” lapornya dengan percaya diri. Kali ini tak hanya Faritzal yang terkejut, tapi juga Eurfo. Reaksi Eurfo tak hanya terkejut, tapi dia merasa dilangkahi karena Ralin tak melaporkan itu padanya dahulu. Sorot mata Eurfo penuh makna, lebih dari satu maksud yang tersirat. Ada respon kaget, marah, dan kecewa yang bercampur di balik sedikit rasa syukur atas berita baik ini. Seorang kaki tangan? Faritzal spontan berdiri dan menghampiri Ralin yang sebenarnya tak jauh-jauh juga dari bangku duduknya. “Kau yakin dia kaki tangan? Sepenting apa orang ini? Sedekat apa hubungannya dengan Angkasa? Siapa dia di dalam Benang Merah?” tanya Faritzal sangat antusias hingga terdengar seperti menginterogasi Ralin. Ralin mendadak bisu. Deretan pertanyaan Faritzal sedikit pun tak mampu ia jawab. Ya, dia tak punya jawaban untuk itu semua. Lalu sedetik itu juga, pertanyaan Faritzal menyadarkan dirinya, bahwa dia lupa akan pemeriksaan latar belakang itu. Ralin tak melakukan penyelidikan apapun sebelum menangkapnya. Dia tak tahu siapa yang ia tangkap, bagaimana dia menjadi kaki tangan, apa hubungannya dengan Angkasa, sepenting apa dia di dalam Benang Merah? Mata Ralin melebar cepat lalu bergerak-gerak bingung ke kanan dan kiri.             “Kami akan memastikannya untuk Anda, Yang Mulia,” seru Eurfo menimpali. Dia bergegas menghampiri Ralin dan berdiri di sampingnya. Faritzal paham maksud jawaban Eurfo. Itu hanya jawaban diplomatis untuk menyembunyikan bahwa Ralin belum menyelidiki sedalam yang ia butuhkan. Mereka tak punya jawaban untuk pertanyaannya.             “Petang ini. Aku ingin mendengar hasil penyelidikanmu, Eurfo,” tegas Faritzal. Roman wajahnya jadi mengeras. Kedamaian menikmati koi sudah lenyap sepenuhnya. Faritzal meninggalkan mereka. Empat pengawal yang sedari tadi berjaga agak jauh dari bangku taman, mengekor ikut pergi saat Faritzal meninggalkan Eurfo dan Ralin yang masih mematung di posisi mereka.             “Pulang dan istirahatlah,” tegas Eurfo, dingin. Lalu pergi meninggalkan Ralin.             “Aku melakukan kesalahan, harus kuperbaiki sekarang juga,” seru Ralin membantah. Dia berjalan cepat mendahului Eurfo, namun lengannya dihentikan.             “Kau mau apa?” Suara Eurfo agak meninggi.             “Mencari jawaban untuk pertanyaan Yang Mulia!” jawab Ralin setengah membentak. Dia menghalau tangan Eurfo dari lengannya.             “Kau menangkap seseorang tanpa memastikan identitasnya lebih dulu?” tanya Eurfo. Suaranya rendah, namun tegas dan kentara sekali emosi yang sedang ditahan. Langkah Ralin terhenti. Eurfo menyusulnya.             “Apa yang kau pikirkan, Ralin?” tanya Eurfo semakin menekan. “Kau melaporkan sesuatu sepenting ini tanpa memberitahuku lebih dulu.” Ralin bungkam dalam ekspresi penuh rasa bersalah. Tapi keangkuhannya lebih mendominasi.             “Aku akan bertanggung jawab penuh,” tegas Ralin.             “Tidak sesederhana itu,” potong Eurfo. Nada bicaranya meninggi. “Dimana kaki tangan itu sekarang?” Ralin bergeming. Bibirnya rapat tapi sorot matanya bingung. Dia hendak melangkah pergi, tapi Eurfo semakin memblok jalannya. Mereka beradu tatapan selama beberapa detik. Eurfo tak sedang berkompromi. Sorot matanya berbeda. Tersirat ketegasan sekaligus penekanan agar Ralin patuh pada ucapannya.             “Haruskah aku mengatakannya?” tanya Ralin masih berusaha mengelak.             “Ralin!” bentak Eurfo. “Aku dapat laporan kalau kaki tangan itu kritis sekarang! Kau melukai bahunya dan kini ia terancam lumpuh sebelah tangannya. Kau pikir aku bercanda? Bagaimana jika kau menangkap orang yang salah? Bagaimana jika dia bukan kaki tangan? Kau mau bertanggung jawab? Dengan cara apa? Menukar tangan dan bahumu untuknya? Kau bisa?” Ledakan emosi berubah jadi kemurkaan yang tak pernah ditunjukkan Eurfo pada Ralin.             “Aku tidak salah menangkap orang. Akan kubuktikan dia memang pantas mendapatkan itu,” sangkal Ralin tetap bersih kukuh.             “Mereka mahasiswa sekolah tinggi pedang ibukota. Kau tahu seketat apa seleksi sekolah itu. dan hanya keluarga dengan ekonomi yang baik saja yang bisa masuk ke sana! Apa masih mungkin mereka menyia-nyiakan semua yang sudah dikorbankan untuk menjadi kaki tangan Benang Merah?” bantah Eurfo semakin meninggi.             “Kenapa Anda berpikir itu mustahil, Panglima Eurfo?” sangkal Ralin. Kali ini suaranya rendah, penuh ketegasan dan seolah mendapatkan seluruh logikanya kembali. Eurfo mengambil jeda. Dia merasa dikoreksi dan perkataan Ralin benar. Argumennya tak bisa dijadikan pijakan untuk meragukan dua orang yang dituduh Ralin sebagai kaki tangan. Tapi apa yang dikatakannya juga benar. Dia hanya menyampaikan fakta yang bercampur opini pribadinya.             “Siapapun bisa menjadi kaki tangan Benang Merah, Panglima. Seperti koi hitam yang bersembunyi di tengah ratusan koi penuh corak. Saya akan mengungkapkan identitas dan hubungan mereka,” tegas Ralin mengambil alih. Ralin membungkuk sedikit pada Eurfo untuk berpamitan, lalu pergi.             “Dimana gadis itu sekarang?” tanya Eurfo bersih keras. Ralin tak menghiraukannya. Dia terus berjalan pergi pada kecepatan yang sama dan tak peduli betapa Eurfo sedang menahan amarah kepadanya sekarang. Tak ada yang akan berubah ketika panglima maupun raja menemui Naviza dan Talana yang ia tahan saat ini. Ralin berlalu. Dia berjalan dengan langkah lebar nan cepat, meninggalkan kolam koi yang seperti danau buatan itu. Beberapa pejabat pemerintah berlalu lalang, berpapasan dengannya. Seharusnya Ralin berhenti sejenak untuk menyapa dan memberi hormat, tapi kali ini dia tidak sedang ingin melakukannya. Dia melewati mereka tanpa menoleh apalagi berhenti untuk menyapa. Para anggota dewan maupun menteri itu saling menoleh pada rekannya masing-masing, berbisik-bisik tetangga dan berguncing bersama soal sikap jenderal wanita itu kepada orang yang lebih tua. Mereka menilainya tak punya sopan santun. Mata mereka mengekor kepergian Ralin dengan sinis dan penuh cibiran. Ralin menuju kandang kuda yang berada di halaman belakang Istana. Dari kolam koi, dia hanya perlu berjalan sedikit ke sisi utara istana. Setidaknya ada empat ribu langkah yang harus ia tempuh untuk sampai ke sana. Kaki jenjangnya dengan langkah lebar dan cadence yang tinggi sangat membantunya. Rasa lelah dan perut kosongnya benar-benar berpengaruh besar untuk kestabilan emosinya. Pikiran Ralin benar-benar penuh kabut sekarang. Respon Faritzal dan Eurfo tidak sesuai yang ia harapkan. Segalanya jadi suram dan salah untuknya. Dan tiba-tiba Ralin cemas bahwa tindakannya memang salah. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD