BAB 2

792 Words
Satu bulan yang lalu... “Mama yang baik hati dan tidak sombong, rajin menabung pula.” Ardan menghampiri mamanya yang tengah memasak di dapur. Ia memeluk mamanya dari belakang, menyandarkan kepalanya pada pundak sang ibu. “Hmm.” mamanya hanya bergumam tak jelas sambil melanjutkan acara memasaknya. “Mama,” Ulang Ardan. “Apa?” Mamanya masih terfokus pada wortel yang tengah ia potong. Tangannya dengan lincah mengiris satu persatu wortel tanpa merasa terganggu dengan kedatangan Ardan yang bagai setan. “Mama, Ardan pengen PS baru.” Bisik Ardan. “Mama nggak denger.” Ucap Mama datar. “Ardan pengen PS baru, Ma.” Ulang Ardan dengan suara yang lebih keras. Tak lupa, wajah memelas dengan Puppy Eyes-nya ia pasang dengan sangat epik agar mamanya luluh. “Nggak ada!” Tolak Mama seketika. “Apanya yang nggak ada, Ma?” Tanya Ardan polos. “Nggak ada PS baru.” Kali ini Mama menatap anaknya tajam. Hohoho! Jangan harap Mama akan luluh dengan wajah melas kamu, pikirnya. “Tapi Ma, Ardan udah capek kerja. Ardan butuh hiburan, Ma.” Ucap Ardan memelas. Ia berharap agar ibunya mengasihaninya dan mengizinkannya untuk membeli PS baru. “Makanya kalau kamu capek, cari istri dong!” Lagi dan lagi mamanya menyinggung permasalahan pasangan. Bukannya Ardan tidak senang jika Mama menyinggung perihal pasangan, namun ia hanya merasa risih jika terus-terusan ditekan. Siapa sih yang akan senang bila terus-terusang di singgung perihal jodoh? “Pasangan aja nggak punya, apalagi nikah, Ma.” Ardan menghela nafas berat. Ia ingin menikah, namun lagi-lagi parno mengalahkan segalanya. Ia takut tersakiti. Toh, buat apa menikah bila endingnya bercerai? “Mama cariin jodoh ya?” Tawar mamanya. “Nggak!” Tolak Ardan cepat. Lelaki itu menatap wajah mamanya sayu. Harus berapa kali ia menegaskan bahwa perihal jodoh tidak segampang gibah berjamaah. “Ardan ngambek sama Mama.” Ardan memalingkan wajahnya. Ia memasang wajah cemberut. Detik berikutnya, lelaki itu menyeret tubuhnya menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur kesayangannya. Ditatapnya langit - langit kamar. Ia kesal setengah hati saat mamanya tak mengizinkannya membeli PS baru. Ia juga kesal karena mamanya malah menyinggung perihal pasangan. Emang dikira cari jodoh segampang cari upil, apa? Batinnya. Ardan mengalihkan pandangannya pada sebingkai foto yang terpajang di nakas. Ia tersenyum menatap dirinya yang di gendong papanya dulu. “Ardan juga pengen nikah, Ma. Tapi Ardan takut.” Gumamnya parau. *** “Ardan, turun! Ayo makan!” Teriak mamanya dari lantai bawah. Mama merngernyit heran, tak biasanya Ardan mengacuhkan panggilannya. “Woe! Anak Pak Fandi! Lo denger gue ngomong nggak? Mau jadi anak durhaka, Lo?” Teriak Mamanya sembari berkacak pinggang. “Ardan!” Ulang mamanya. Masih sama, sama sekali tak ada jawaban dari Ardan. “Disamperin aja Ma, aiapa tau Ardan ketiduran. Seharian tadi dia ada meeting sama klien banyak banget. Pasti dia capek.” Saran Ayah Ardan. Mamamya mengangguk paham, detik berikutnya beliau segera melangkahkan kakinya menuju lantai 2, tempat dimana kamar Ardan berada.  Tepat di ujung tangga, Mama mengernyit heran. Terdapat secarik kertas berwarna biru dengan hiasan burung camar di tiap sudutnya menempel di pintu kamar Ardan. Tanpa perlu diberi aba-aba, Mama segera menghampiri dan menyambar kertas tersebut. Detik berikutnya, dahi Mama berkerut keheranan tetapi juga ingin tertawa keras. Ia menahan mati - matian tawanya agar tak terdengar oleh Ardan. Dibawanya secarik kertas tersebut ke meja makan. Ia menghampiri suaminya yang tengah asyik menekuni laptop. “Pa, lihat sini deh!” Ucap Mama. “Apaan, Ma?” Papa Ardan mengalihkan fokusnya pada secarik kertas yang dibawa istrinya itu. “Ardan ngambek sama Mama. Ardan nggak mau makan.” Eja Papa Ardan. Ia membaca tulisan yang berada pada secarik kertas tersebut. Dahi papa berkerut, “Ardan ngambek?” Tanya Papa tak percaya. “Iya.” Jawab Mama di selingi senyuman geli. Kenapa bisa ngambek?” Tanya Papa lagi. “Tadi dia minta PS baru, tapi Mama nggak kasih izin.” Mama tergelak mengingat kejadian tadi sore. “PS baru?” Papa mengulangi ucapan istrinya. Mama mengangguk mantap. “Ada - ada aja kelakuan Ardan. Dia udah besar tapi masih kekanak - kanakan banget.” Ucap Papa. “Iya, padahal dia punya uang sendiri, tapi kenapa dia harus minta izin dulu sebelum beli barang?” Timpal Mama. “Itu artinya Ardan masih menghargai kita sebagai orang tua, Ma. Dia maaih minta izin kita walaupun dia udah punya uang sendiri. Kebanyakan anak kan kalau udah kerja pasti dia akan sombong sama orang tuanya, mereka merasa bahwa mereka sudah pantas membiayai hidup orang tuanya dan merasa bahwa mereka sudah membalas budi kepada orang tua mereka. Tapi Ardan beda. Walaupun ia udah kerja, dan gajinya juga lumayan. Tapi, dia masih meminta izin kita walaupun dia memakai uangnya sendiri.” Terang Papa. “Iya, Pa. Mama juga mikir gitu.” Mama menyetujui ucapan suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD